"Si4l, apa yang wanita itu rencanakan?
Mengapa setelah surat cerai kutandatangani, dia justru ... berubah?”
...
Lyara Elvera, seorang gadis yang tak merasakan keadilan di keluarganya. Kedua orang tuanya hanya memusatkan kasih sayang pada kakaknya, sementara Lyara tumbuh dengan rasa iri dan keinginan untuk di cintai
Namun, takdir berkata lain. Sebelum kebahagiaan menyentuhnya, Lyara meregang nyawa setelah terjatuh dari lantai tiga sebuah gedung.
Ketika ia membuka mata, sosok misterius menawarkan satu hal mustahil, kesempatan kedua untuk hidup. Tiba-tiba, jiwanya terbangun di tubuh Elvera Lydora, seorang istri dari Theodore Lorenzo, sekaligus ibu dari dua anak.
Namun, hidup sebagai Elvera tak seindah yang terlihat. Lyara harus menghadapi masalah yang ditinggalkan pemilik tubuh aslinya.
“Dia meminjamkan raganya untukku agar aku menyelesaikan masalahnya? Benar-benar jiwa yang licik!”
Kini Lyara terjebak di antara masalah yang bukan miliknya dan kehidupan baru yang menuntut penebusan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menempati Raga Elvera
Lyara menatap ke arah seorang pria yang kini tengah duduk di sofa. Kedua kakinya bersilang santai, sementara lengannya terhampar di sandaran dengan sikap tenang yang anehnya justru memancarkan wibawa kuat. Kemeja hitam yang dikenakannya terbuka di bagian atas, memperlihatkan sedikit kulit d4danya yang bidang.
Pandangan Lyara seolah terperangkap di sana, pada sosok itu. Pria tampan itu ... sungguh membuat jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas.
"Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, tapi kenapa jantungku terus berdebar kencang? Apakah ini yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama pada suami orang? Atau ... ini perasaan si pemilik tubuh ini?" batin Lyara, mencoba berpikir jernih di tengah kegelisahannya.
“Rencana apa lagi yang sedang kau pikirkan, hah?” Suara berat pria itu memecah lamunan Lyara, membuatnya terlonjak kaget.
“Rencana apa? Baru juga bangun tidur,” balas Lyara asal, berusaha menutupi kegugupan yang merayap.
Pria itu mengerutkan kening dalam. Tatapannya tajam, seolah mencoba membaca isi kepala Lyara. “Ada yang salah dengan otakmu?”
“Enggak ada, aku masih waras Om,” jawab Lyara spontan.
“Om?” alis pria itu terangkat tinggi. “Om?! Elvera! Apa yang sedang kau rencanakan lagi, hah? Jangan bilang kamu jadi gila setelah bangun tidur!” Nada suaranya meninggi, memancarkan frustasi yang nyata.
“Masalah apa lagi yang kau buat kali ini?!”
Lyara hanya bisa terdiam. Ia menggenggam ujung dressnya erat-erat, tubuhnya menegang. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapi situasi ini. Semua terasa asing, bahkan tubuh yang ia tempati pun bukan miliknya sendiri.
Pria itu berdiri, langkahnya berat dan mendekat. Bayangan tubuhnya yang tegap menutupi cahaya lampu, membuat Lyara merasa terpojok. “Jangan buat aku semakin marah El,” bisiknya pelan tapi tegas, suaranya berat dan dalam. “Aku akan mengabulkan keinginanmu ... jika memang itu yang kamu mau.”
Tanpa menunggu jawaban, pria itu berbalik dan pergi, meninggalkan Lyara yang masih terpaku di tempat. D4da Lyara terasa sesak, seperti direemas dari dalam. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi, tapi perasaannya kacau.
"Apakah pria itu benar-benar ... suami Elvera? Setampan itu ... tapi tutur katanya begitu tajam," gumamnya dalam hati, mencoba mencerna situasi yang tak masuk akal ini.
Sementara itu, pria bernama Theodore Lorenzo itu melangkah masuk ke ruang kerjanya. Ia berdiri di depan jendela besar, menatap rembulan yang tergantung indah di langit malam. Tapi pikirannya jauh dari tenang. Wajahnya tegang, sorot matanya dingin namun menyimpan gejolak yang sulit dijelaskan.
Tok! Tok!
“Masuk,” ucapnya singkat, tanpa menoleh.
Seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah ragu. “Tuan Theo, saya menemukan botol ini lagi di kamar Nyonya. Beliau belum keluar kamar sejak kemarin siang.”
Theodore menoleh perlahan, menatap pembantunya dengan sorot mata tajam. Ia mengambil botol itu dari tangan si wanita dan memperhatikannya. “Obat tidur,” gumamnya lirih. Genggamannya menguat. Rahangnya menegang.
“Jadi ini, El? Kau benar-benar tak akan berhenti menyakiti dirimu sendiri sampai aku menceraikanmu?”
Ia mengembuskan napas panjang, lalu berjalan menuju meja kerjanya. Di sana, ia duduk dan menarik selembar berkas dari dalam map. Dengan tangan bergetar, ia mengambil pena, lalu menorehkan tanda tangannya pada kertas itu.
Namun, sesaat setelah tinta mengering di atas kertas, d4danya terasa berat. Ia menutup mata, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dalam dirinya.
“Tuan,” panggil Bi Nina pelan, “Nyonya ... tampak aneh setelah bangun tidur.”
Theo membuka mata. “Aneh? Maksudmu?”
“Iya, Tuan. Seperti kehilangan ingatan. Biasanya beliau marah kalau saya membangunkannya, tapi tadi ... beliau justru tampak bingung, seperti orang linglung. Apa mungkin beliau overdosis obat tidur?”
Theo menatap botol itu lagi, alisnya berkerut dalam. “Linglung? Bersikap aneh?” batinnya. “Tapi itu bukan efek samping obat ini,” gumamnya.
.
.
.
.
Keesokan paginya, Lyara memberanikan diri keluar kamar. Rumah itu begitu besar dan sepi, udara paginya terasa kaku dan berjarak. Ia melangkah menuju dapur, di mana beberapa wanita paruh baya tengah sibuk memasak.
Ketika ia berdehem pelan, ketiganya sontak menoleh dan seketika, suasana berubah kacau. Mereka tampak panik, seperti ketakutan akan sesuatu yang tak terlihat.
“Maaf, Nyonya! Sebentar lagi sarapan akan kami siapkan! Maafkan kami, kami terlambat bangun!” ujar salah satu dari mereka, suaranya bergetar.
Lyara melirik jam dinding. “Baru jam tujuh pagi, kok sudah panik begitu? Tenang saja. Apa yang bisa aku bantu?”
“JANGAN!” seru ketiganya serentak, membuat Lyara tertegun.
“Kenapa? Aku bisa masak, kok,” ucapnya bingung.
Bi Nina melangkah maju, menunduk takut. “A-aanuu .... nanti tangan Nyonya terluka. Kami akan siapkan semuanya, janji ... lima menit lagi.”
Lyara hanya menghela napas. Ia kemudian mendekati panci di atas kompor, mencicipi kuah sup yang baru matang. “Ladanya kurang,” gumamnya, lalu dengan spontan menambahkan bumbu lain, tangannya cekatan seperti seorang koki profesional.
Ketiga wanita itu mel0ng0 melihatnya. Biasanya, Elvera tak pernah menyentuh dapur, apalagi tersenyum seperti itu.
“Coba ini,” Lyara menyendokkan sup dan menyuapkannya pada Bi Nina. Dengan ragu, wanita itu mencicipinya dan matanya langsung membesar.
“Ini ... enak sekali!” serunya tak percaya.
Lyara tersenyum puas. “Benar, kan? Aku memang jago masak walau masih kecil eh, maksudku ... wanita cantik sepertiku harus bisa masak!” ujarnya, cepat-cepat meralat ucapannya. Ketiganya tertawa kecil, untuk pertama kalinya melihat sisi lembut sang Nyonya.
Tiba-tiba, terdengar suara lembut dari arah pintu. “Bi Ninaa ... cucu Eila mana? Kok belum di bawa ke kamal?"
Seorang gadis kecil muncul dengan rambut acak-acakan, mengenakan piyama kebesaran. Bi Nina segera menyerahkan botol susu padanya.
"Makacih," ucapnya. Namun, langkah kecil anak itu terhenti ketika sudut matanya melihat Lyara di dapur. Matanya membesar, wajahnya memucat. Ia langsung menoleh cepat menatap Lyara yang tersenyum gemas menatapnya.
“Mama lampiiil cudah tibaa,” gumamnya ketakutan, sebelum berlari sekencang mungkin ke arah kamar. Bahkan, ia hampir menabrak pintu.
Lyara tertegun. “Lampil? Apa itu artinya?” tanyanya bingung. Tapi ketiga wanita di dapur hanya terdiam, wajah mereka kaku.
Lyara membatin lirih sambil berlikir keras. “Segalak apa sih Elvera ini sampai semua orang di rumah takut padanya? Jangan-jangan ... dia psikopat?”
Ia menatap bayangan dirinya di permukaan sendok, wajah cantik dengan tatapan dingin memantul balik. “Atau mungkin ... srigala dalam wujud manusia? Tapi enggak ada taringnya kok,”
Sementara ketiga wanita paruh baya itu menatap bingung pada Lyara yang berkaca pada sendok sambil memegangi wajahnya dengan gerakan aneh.
_______________________________
Maaaap lama yah munculnya😆
Gimana perasaannya setelah sampai sini🤩
apa lagi anak bryan 🤦♀️
masih mblundeeetttt
apalagi ini ditambah kondisi Ara yg menimbulkan tanda tanya
semoga saja gak isi
klo isi bisa jadi masalah besar
takutnya di curigai anak orang lain
q yakin El tidak seburuk ituuuu
pengakuan Bryan cuma untuk memprovokasi Theo