Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10.
Saat ini Samudera dan Zahra tengah menikmati hidangan di pesawat. Zahra yang tengah menikmati makanannya seketika langsung berhenti mengunyah saat Samudera bicara.
"Nanti saat di Jogja, kau jaga sikapmu jangan sampai rekan-rekanku curiga" pinta Samudera dengan tegas.
"Iya Samudera, " jawab Zahra.
"Jangan panggil Samudera, mulai sekarang panggil mas. Akan aneh jika orang mendengarnya kalau kau memanggil namaku saja" tukas Samudera mengingat kan Zahra lagi.
"I.. iya mas, nanti aku bakal menjaga sikap. Aku juga sudah menghafalkan apa yang mas Samudera berikan kemarin" ucap Zahra pada Samudera.
"bagus kalau begitu, dan apa yang terjadi dengan kita atau apa yang terjadi di Jogja nanti jangan kau ceritakan pada adikmu" ucap Samudera memberitahu Zahra.
"kenapa? "
"Bego saja kalau kau memberitahu dia, hubungan kita hanya hubungan kontrak kau ingin bilang padanya" ucap Samudera yang sedikit tersulut emosinya.
Zahra yang mendengar ucapan yang sedikit kasar itu agak terkejut.
"Maaf, aku tidak sengaja bicara begitu" ucap Samudera kemudian, entah mengapa ada rasa bersalah saja dia bicara kasar. Tapi ia juga menyesali permintaan maafnya barusan, kenapa hatinya bisa lemah dan bilang maaf.
"iya nggak pa-pa mas, aku nanti nggak akan bilang ke Zera. Hubungan ku dan Zera juga tidak sedekat itu" ucap Zahra lirih.
Samudera menatap Zahra lekat,
"Kenapa? " tanya Samudera.
"Nggak pa-pa, hanya nggak dekat saja mas" ucap Zahra lirih, dia lalu diam tak melanjutkan.
Samudera hanya memperhatikan nya saja, ia penasaran dengan apa yang di bilang Zahra tersebut.
"Dia tidak dekat dengan perempuan penipu itu" batin Samudera sambil sesekali melihat kearah Zahra yang kembali menikmati makanannya.
Zahra yang merasa di perhatikan terus oleh Samudera langsung menoleh kearah calon suaminya itu.
"a.. ada apa mas? " tanya Zahra dengan takut-takut. Karena takut Samudera akan kesal saat dia bertanya seperti itu.
"nggak pa-pa, lanjut saja makan" jawab Samudera dan dia juga kembali memakan makanannya.
"Mas.. " Tanya Zahra pelan.
Samudera yang merasa terpanggil langsung melihat kearah Zahra.
"ada apa? " Tanya Samudera sambil menatap datar Zahra.
Zahra diam tak kunjung menjawab, dia sedikit ragu untuk bertanya.
"nggak pa-pa mas" ucap Zahra kemudian, dia langsung menggeleng kan kepalanya.
"aneh, manggil orang tapi nggak jadi bicara" ucap Samudera cukup pedas. Lalu dia mengabaikan Zahra begitu saja, Samudera kini hanya fokus dengan makanannya.
Zahra diam tapi sesekali dia memperhatikan Samudera.
"Kenapa aku merasa Mas Samudera dan Zera saling mengenal" batin Zahra, dia sebenarnya ingin menanyakan itu tapi hatinya cukup ragu.
...............
Kini mereka sudah sampai di Jogja dan mereka di jemput oleh salah satu rekan dari Samudera.
Letda Yanuar rekan Samudera di Batalyon, dia merupakan orang kepercayaan Samudera.
"Ini calon istrimu bang? " Tanya Letda Yanuar setengah berbisik di sebelah Samudera.
"iya, ayo masuk mobil jangan banyak Tanya" jawab Samudera lirih.
"Nanya aja masa nggak boleh bang" pukas Yanuar sambil sedikit tersenyum pada Zahra yang melihat nya.
"kau juga kenapa masih diam disitu, ayo masuk. Kau pikir tuan putri harus di bukakan pintu" ketus Samudera pada Zahra.
Yanuar yang akan membuka pintu depan, karena dia yang akan menyetir sedikit kaget mendengar ucapan Samudera pada Zahra.
"galak banget bang sama calon istri" tukas Yanuar.
Samudera mengabaikan nya saja, dia langsung masuk duduk di kursi penumpang sebelah Yanuar sedang Zahra duduk di belakang bersama dengan koper mereka.
"Gimana tugas Fazar menjalankan tugas saya" Tanya Samudera.
"dia melakukan tugas dengan baik bang, Bang Samudera tenang saja. Kepercayaan mu itu menjalankan tugasmu dengan baik" ucap Yanuar menenangkan Samudera soal tugas yang ia tinggal selama cuti.
"Baguslah"
"bang, maaf sebelumnya. Abang nanti ya mau nikah di Jogja? kok barang bawaan banyak banget" Tanya Yanuar yang sudah menjalankan mobil sesekali dia juga melihat kebelakang.
"nggak nikah di Jakarta, bawa barang banyak biar nanti enak nggak ribet lagi" jawab.
Samudera menjawab singkat tanpa ekspresi, membuat suasana di dalam mobil kembali sunyi.
Zahra hanya menunduk menatap jemarinya yang saling meremas di atas pangkuannya. Ia merasa canggung, apalagi setelah mendengar nada bicara Samudera yang ketus tadi. Di sisi lain, Letda Yanuar justru tampak santai, sesekali bersiul pelan sambil menyetir.
Beberapa menit berlalu, mobil mulai meninggalkan jalanan utama kota Jogja dan memasuki daerah yang lebih sepi.
"Kita langsung ke penginapan, Bang?" tanya Yanuar sambil melirik Samudera.
"Iya," jawab Samudera pendek.
Tak lama, Yanuar kembali membuka pembicaraan, mencoba mencairkan suasana.
"Calon kakak ipar, namamu siapa?" tanya Yanuar sambil tersenyum lewat kaca spion ke arah Zahra.
Zahra sedikit terkejut, lalu mengangkat wajahnya dan menjawab pelan, "Zahra."
"Wah, namanya bagus. Zahra, semoga betah ya di Jogja. Di sini santai, beda lah sama Jakarta yang padet," ucap Yanuar ramah.
Zahra hanya mengangguk kecil. Senyum tipis mengembang di bibirnya, walau masih kaku.
Sementara itu, Samudera melirik ke arah Yanuar sekilas, seakan memberi kode supaya jangan terlalu banyak bicara dengan Zahra. Tapi Yanuar hanya pura-pura tak paham dan malah terus berbicara, berusaha membuat Zahra lebih nyaman.
Setelah perjalanan sekitar tiga puluh menit, akhirnya mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah penginapan sederhana namun bersih dan rapi.Samudera memang sengaja menaruh Zahra di penginapan untuk sementara daripada ia mengajak Zahra ke Batalyon malah berabe nanti.
"Nah, sampai. Ini penginapan yang abang minta," ujar Yanuar.
Samudera segera turun dari mobil, membuka pintu bagasi, lalu mengangkat koper mereka tanpa meminta bantuan Yanuar. Zahra buru-buru menyusul, ingin membantu, tapi Samudera sempat melirik tajam seolah berkata: "Diam saja."
Zahra mengurungkan niatnya dan hanya mengikuti dari belakang.
"Ini kamarnya," ujar Samudera sambil menunjuk salah satu pintu di penginapan itu.
Zahra melangkah masuk. Kamarnya sederhana, ada satu ranjang besar di tengah, meja kecil di samping tempat tidur, dan sebuah lemari kayu di sudut ruangan.
"Besok pagi aku jemput dan kita ke Batalyon untuk pengajuan. Aku sudah mengatur semuanya. Kau tinggal membawa diri saja," kata Samudera dingin setelah meletakkan koper Zahra.
Zahra hanya mengangguk pelan.
"Kalau ada apa-apa, telepon saja aku atau Yanuar," tambah Samudera tanpa menatapnya.
Kemudian, tanpa menunggu respon Zahra, Samudera berbalik keluar kamar, menutup pintu pelan.
Zahra berdiri mematung di tengah kamar, memandang koper dan seisi ruangan kecil itu. Rasa asing mulai menyelimuti dirinya. Ia menghela napas berat. Ini baru awal dari semua perjalanan panjang yang akan ia jalani bersama Samudera — pria yang bahkan belum bisa bersikap hangat padanya, calon suaminya... setidaknya, di atas kertas.
***