"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan.
"Belum siap Abang, mu?" tanya Umi Zalianty pada Dinar yang menuruni tangga lantai dua.
"Belum mandi kayaknya, Mi. Masih rembes." Dinar mencemooh sambil mendongak ke lantai dua, tepatnya pada pintu yang dihuni mahluk tampan yang selama ini di anggap abangnya itu.
Umi Zalianty tertawa kecil mendengar putrinya yang selalu meledek Hassan. Meski begitu, Umi Zalianty tahu baik Hassan maupun Dinar saling menyayangi.
Dengan pengawasannya sendiri, Umi Zalianty memastikan kedua anak nya tidak pernah di bedakan. Hassan sendiri yang kerap kali menolak pemberiannya dengan dalih, sudah besar, bisa beli sendiri nanti.
"Biar Umi jewer telinganya. Sana! Ajak Ilyas dan Abunya bersiap!" titah Umi Zalianty yang langsung di sambut angkatan jempol dari Dinar.
"Siap, Bu komandan!" tegasnya sambil berlalu dari hadapan Uminya yang menggeleng tak percaya dengan tingkah polah putrinya yang cantik.
"Mas sudah siap?" Dinar masuk ke kamar mereka yang berada di rumah Kiai Ahmad Sulaiman.
"Tinggal pakai ini.." Irham mengangkat ikat pinggangnya.
"Sini, biar Dinar bantu." Dinar menawarkan bantuannya pada sang suami.
Saat tangannya membantu memasangkan ikat pinggang di celana suaminya, Irham mengambil kesempatan itu untuk mencuri kecupan di pipi istrinya yang tampak menggemaskan.
"Mas, pingin. Dinar." deru nafas Irham memberat.
Dinar mengangkat wajahnya. Matanya beradu pandang dengan mata suaminya yang mendamba.
Ia buang pandangan ke arah jam dinding. Masih ada sisa waktu dua jam untuk mereka bersiap.
"Bisakah kita bercinta, sebentar?" Hijab Dinar sudah di lepas pelan, tengkuk Dinar dirambati bibir suaminya. Karena Dinar hanya diam, Irham menghentikan tindakannya. "Ya udah kalau nggak mau, mungkin kamu sedang lelah. Maaf..." Ucapan Irham tak usai karena bibirnya langsung di bungkam oleh Dinar dengan bibirnya sendiri.
"Jangan disini! Biarkan Ilyas terlelap tanpa mendengar suara aneh dari kita." bisik Dinar yang menyuntiknya senyum di bibir laki-laki bercambang tipis itu.
*********
"Tolong ya, disini aku yang harusnya kalian tunggu, karena aku calon pengantin. Tapi lihatlah, justru pasangan ini yang kita tunggu lama keluar dari kamarnya." Suara Hassan membuat Dinar dan Irham salah tingkah.
Entah bagaimana ceritanya, sehabis bercinta mereka malah ketiduran.
Andai saja suara tangis Ilyas tak terdengar, mereka bisa saja terlena dan berakhir melupakan niat lamaran ke Jakarta .
Irham hanya memeluk tubuh kecil Ilyas yang berada di gendongannya. Sementara Dinar sedang berusaha menyembunyikan rona wajahnya karena malu.
Mereka semua sudah siap menuju bandara.
"Kenapa kok segitunya lihatin rumah?" tanya Kiai Ahmad Sulaiman yang melihat tingkah aneh putrinya.
Dinar berdiri di sisi mobil tapi tidak langsung masuk, malah terus menatap rumah abahnya.
"Ndak tahu kenapa, Dinar ingin mengenang momen ini, melihat rumah masa kecil Dinar, Abah."
Hassan yang sudah masuk kedalam mobil keluar lagi. "Kamu kayak nggak bakal datang lagi ke rumah Abah." Hassan sudah berdiri di samping Dinar yang masih memandang ke rumah yang hendak ia tinggalkan. Di sampingnya juga ada Irham yang ikut melihat keanehan istrinya.
"Biar aku sudah menikah nanti, setiap kali Umi dan Abah rindu aku akan berkunjung, kamu juga harus begitu, Dek."
Dinar menoleh ke arah suaminya. Irham hanya tersenyum menenangkan. "Apa yang dikatakan Bang Hassan benar. Bilang sama Mas kalau kamu rindu Abah, Umi. Kita bisa datang kesini kapan saja."
Di tengah rasa bahagia dan harunya sebab kebahagiaan mereka akan terasa lengkap setelah Hassan menikah, Dinar juga merasa ada yang aneh dengan perasaannya. Seperti dia akan asing dengan ini semua.
Perasaannya tak tenang. Tapi bingung bagaimana mengungkapkannya.
*****
Jakarta sedang di guyur hujan deras ketika keluarga Kiai Ahmad Sulaiman menginjakkan kaki mereka di halaman rumah Ustadz Salim.
Mereka di sambut hangat oleh keluarga besar Ustadz Salim. Yang menjadi tanya besar adalah adanya seorang penghulu di sana.
Dinar agak bingung, pasalnya abahnya bilang, ini hanya rangkaian acara lamaran, tapi kok sudah ada penghulunya?
Tapi melihat abahnya bicara serius pada sahabatnya. Dinar berpikir bahwa abahnya juga tidak tahu soal semua ini.
"Untuk itu kita tanya langsung saja pada Hassan." tegas Kiai Ahmad Sulaiman. Setelah hampir lima belas menit bicara pada sahabatnya.
"Bagaimana, Nak Hassan." tanya Ustadz Salim.
Hassan melihat Ning Risma yang duduk tak jauh dari mereka sambil meremas tangan.
Ia memang berniat serius dengan perempuan itu. Tapi seharusnya tidak terlalu buru-buru begini. Tapi apa boleh buat, ia juga tak ingin sahabat abahnya malu jika nantinya acara pernikahan yang mereka siapkan tertunda.
"InsyaAllah ana siap Abah."
Terlihat wajah-wajah lega mereka semua termasuk Dinar dan Irham.
Tak sedetik pun Irham melepaskan genggaman tangannya pada tangan Dinar meski tangannya yang lain mengelus Ilyas yang duduk di pangkuannya.
Waktu terus bergulir, hingga waktu sakral itu tiba.
Setelah belajar beberapa kali, akhirnya Hassan bisa mengucapkan janji nikah itu dengan lantang.
"Bagaimana?"
"Saksi?"
"Sah?"
"Sah!"
"Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakumaa fii khair."
Semua mendoakan kebahagiaan pasangan pengantin baru, tak terkecuali Dinar dan Irham.
"Titip Dinar, jaga dia dengan sebaik-baiknya." pinta Hassan pada Irham ketika mereka hendak pamit pulang lebih dulu.
"Insyaallah." jawab Irham membalas pelukan Hassan ala laki-laki.
"Irham.." panggil Hassan.
"Ya?"
"Tolong cintai adikku, sebagaimana dia mencintaimu." mata Hassan berkaca-kaca. Ia akan belajar mengikhlaskan Dinar, demi kebahagiaan wanita itu juga karena kini dia harus menjaga hati lain.
"Aku akan mencintainya sampai mati." jawab Irham penuh keyakinan.
"Terima kasih." Hassan menepuk pundak Irham dan mulai melangkah menghampiri adiknya.
"Jangan sungkan hubungi Abang kalau kangen. Biar sudah menikahi Ning Risma, kamu tetap cinta kedua Abang setelah Umi."
Bulir bening di pipi Dinar di hapus oleh Hassan. Pipi mulus itu senantiasa basah karena merasa setelah ini akan ada jarak tak kasat mata di antara mereka.
"Udah dong nangisnya." hibur Hassan.
"Bang." cicit Dinar.
"Hum?"
"Dinar boleh minta sesuatu?"
"Apa?"
"Peluk Dinar, mau?"
Hassan menggeleng. Tapi tangannya yang panjang langsung menarik Dinar kedalam pelukannya.
Ini jugalah yang sedang ingin Hassan minta pada Dinar. Tidak menyangka Dinar yang justru memintanya lebih dulu.
"Jaga diri. Abang akan pulang secepatnya."
Dinar mengangguk sambil melonggarkan pelukannya.
"Terima kasih."
"Aku yang harusnya berterima kasih, kamu memenuhi keinginan hati ku untuk memelukmu untuk yang terakhir kali." sayangnya jawaban itu hanya mampu Hassan ungkapkan dalam hati.
Akhirnya Dinar, Irham dan Ilyas lebih dulu pulang ke Jawa Timur. Sementara Kiai Ahmad Sulaiman dan Umi Zalianty pulang esok harinya.
Baru sekitar tiga puluh menit yang lalu sopir Ustadz Salim mengantarkan anak, menantu, serta cucunya ke bandara.
Tapi kabar buruk membuat tubuh Kiai Ahmad Sulaiman langsung terduduk lemas.
Mobil yang membawa Dinar, Irham, serta Ilyas dan sopir Ustadz Salim, mengalami kecelakaan. Dipastikan seluruh penumpang tewas karena mobil tertabrak kereta api, dan terseret beberapa meter, dengan keadaan rusak parah.
"Tidaaaaaaaak!!!!!"