Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalau Minum Ini Besok Masih Hidup Ga?
Zhen menoleh pelan, terkejut.
Tabib kekaisaran juga menatap sejenak—menilai, lalu mengangguk.
“Kau dari ruang dalam?”
“Ya. Saya... biasanya membantu bagian minuman herbal,” jawab Ling Xi sambil membungkuk manis.
“Kalau ada yang dibutuhkan... teh, atau makanan ringan, atau rebusan untuk memulihkan tenaga—saya akan siapkan.”
Zhen memandangnya aneh. Tapi terlalu bingung untuk bicara.
Tabib menepuk gulungan resep kecil di tangannya.
“Kalau begitu, siapkan ini.
Tumbuk akar sharen, campur daun bai hua, dan rebus selama dua jam dengan api kecil.
Tiga hari sekali, pagi sebelum matahari naik.”
Ling Xi menerima resep itu dengan dua tangan, sopan sekali.
"Tentu, Tabib. Akan segera saya siapkan.”
Ia bahkan menoleh ke Zhen dan tersenyum manis—senyum yang rasanya belum pernah keluar dari wajah itu sebelumnya.
“Kalau Dayang Yu Zhen butuh sesuatu... tinggal panggil saya, ya.
Saya akan siap di dekat dapur herbal.”
Lalu ia membungkuk dan melangkah keluar.
Begitu pintu tertutup, ia menggigit bibir pelan sambil menunduk.
Senggolan tadi... tidak pernah terjadi.
Senyum hari ini... adalah awal dari keselamatan.
Zhen menatap pintu yang baru saja tertutup perlahan.
Beberapa detik sebelumnya, Ling Xi berdiri di situ—tersenyum manis, berbicara lembut, bahkan membungkuk penuh sopan.
Dan sekarang?
Zhen masih mematung, satu alisnya perlahan naik.
Tunggu dulu...
Itu... Ling Xi, kan...? Yang semalam melengos padaku...
dan tadi pagi menyenggolku pakai lengan sengaja di tempat aku luka supaya vasnya jatuh dan aku kena hukum?
Ia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih dibalut.
Dan sekarang dia yang bikin... obatnya?
Wajahnya memucat setengah.
Kalau aku minum... aku masih bisa hidup gak ya besok?
Tabib kekaisaran tampak sibuk membereskan peralatannya. Tak menyadari gejolak batin di wajah Zhen yang mulai ragu seperti anak ayam dikelilingi rubah bermake-up.
Zhen bahkan sempat menoleh ke arah pintu seolah mau lari, tapi terlalu sopan untuk melakukannya.
Apa aku boleh nolak? Tapi... ini tabib kekaisaran...
dan yang bikin... Ling Xi.
Ia memegang perutnya pelan.
Aduh... mendadak mual bukan karena luka... tapi karena takut.
Dan saat momen panik itulah... pintu kembali terbuka.
Zhen menoleh cepat, takut mendapati wajah Ling Xi muncul lagi—
tapi justru...
Wajah bulat dan lembut Qin Er muncul, lengkap dengan nampan kecil dan handuk bersih.
“Zhen...!”
Zhen membelalak.
"Qin Er...? Kamu... di sini?”
Qin Er tersenyum penuh semangat, seperti biasa.
"Aku disuruh bantu jagain kamu. Katanya... biar kamu gak kesulitan ambil air atau buka pintu.”
“Oleh siapa?”
Qin Er mengangkat bahu, seolah gak tahu betapa penting jawabannya.
“Katanya sih... Kediaman Xuan yang minta. Tapi aku disuruh masuk lewat pintu belakang dapur. Aneh ya? Hihi!”
Zhen makin bingung.
Kenapa... semuanya makin rumit...?
Tapi... tiba-tiba hatinya lebih tenang. Karena ada satu orang di dunia ini yang bisa ia percaya bulat-bulat.
“Qin Er... tolong ya,” bisiknya.
“Kalau aku pingsan abis minum obat Ling Xi...
bawain surat wasiat aku ke barak barat.”
Qin Er langsung mematung.
“Surat... apa?!”
Zhen hanya menatap langit-langit.
"Yang isinya... kalau aku mati... tolong jangan lupa bawakan seragam lamaku saat aku masih dayang baru ikut ke pemakaman."
Qin Er melongo.
"Kau... mau bunuh diri hanya karena mau minum obat pahit?!”
Zhen mendesah, setengah lelah, setengah ngantuk.
"Bukan teh pahitnya... tapi yang bikinnya.
Tadi dia nyenggolku sampai aku mau dihukum Selir Kehormatan karena memecahkan vas, aku juga sampai berdarah. Dan sekarang... dia yang bikin obatku.”
Qin Er ikut melirik ke pintu, lalu menunduk pelan.
“Eh... jangan-jangan kau sengaja ingin mati indah, ya?”
Zhen menoleh pelan. “Apa maksudmu?”
“Ya... biar bisa masuk ke legenda istana...
Dayang yang mati karena jamu beracun... setelah menarik hati Pangeran Keempat.”
Zhen menepuk jidat pelan.
"Tolong ya... akal sehatmu jangan ikut pindah dari barak.”
Qin'er hanya berusaha menghibur. Ia sih tidak ragu Zhen serius soal ingin mati. Hari pertama dia datang sudah hampir terbunuh bahkan tersangkut skandal perebutan tahta. Hari kedua sudah hampir kena 100 pukulan Selir Kehormatan Ji'an. Zhen memang beda.
Qin'er masih ikut tertawa tapi sebenarnya ada getir di sana.
---
Dan tepat saat itu...
Pintu diketuk. Sekali. Lalu dibuka pelan.
"Maaf. Obatnya sudah siap.”
Ling Xi masuk, langkahnya ringan seperti angin musim semi, membawa semangkuk kecil air rebusan herbal berwarna gelap.
Senyum di wajahnya begitu... ramah.
Zhen dan Qin Er sama-sama diam.
Ling Xi melangkah mendekat dan meletakkan mangkuk di meja kecil, dengan tangan dua-duanya.
“Diminum hangat-hangat, ya.
Tadi saya pastikan semua takaran sesuai.
Kalau masih sakit, boleh panggil saya kapan saja.”
Zhen hanya menatap mangkuk itu.
Qin Er menatap Zhen.
Zhen menatap Qin Er.
Dan keduanya bersamaan berpikir:
Tolong Tuhan, jangan biarkan ini jadi akhir cerita novel tragis kami.
--
Qin'er POV (20 menit yang lalu)
Sebelum matahari naik penuh, di lorong samping Kediaman Xuan,
seorang dayang muda tampak berdiri gugup—Qin Er, dengan nampan di tangan dan sehelai gulungan surat kecil bersampul merah pucat di dalam saku dalam bajunya.
Ia menggigit bibir. Tak tahu harus menyapa siapa.
Karena dayang di ruang utama menatapnya tajam, seperti hendak bertanya:
"Siapa kamu, dan kenapa kamu di sini?”
Namun sebelum suara tuduhan keluar, Salah sath dayang yang tadinya ikut menjemput Zhen Yu muncul dari balik pilar, dan alisnya mengernyit melihat wajah Qin Er yang ia kenal. Di sampingnya berdiri Liao Shi, kepala pelayan mereka.
“Kau dari barak barat, bukan?”
Qin Er mengangguk cepat.
Lalu, dengan tangan bergetar sedikit, ia mengeluarkan surat kecil dan lencana kayu bulat dari dalam bajunya.
Lencana itu bersimbol Kediaman Barat, disegel benang emas, dan di sisi gulungan surat tertempel stempel segel pribadi Pangeran Keempat—berpola petir dan bunga pinus.
“Saya diminta menyampaikan ini...
hanya kepada Selir Xuan. Tidak boleh dibuka oleh siapa pun.”
Nada suaranya tak setegas biasanya, tapi cukup jelas.
Liao-shi yang ada di sana juga itu diam sejenak.
Ia tahu simbol itu. Dan segel itu.
Ia mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara lebih lembut:
“Ikut aku.”
---
Di dalam ruang dalam, Selir Xuan sedang duduk membaca laporan.
Rambutnya sudah diangkat sebagian, hanya mengenakan jubah dalam,
santai namun tetap rapi.
Saat Liao-shi masuk dan membisikkan sesuatu, Xuan menoleh—lalu mengangguk cepat.
“Biarkan ia masuk. Tutup pintu.”
Qin Er masuk perlahan, lalu membungkuk sangat dalam.
Dengan dua tangan, ia menyodorkan surat dan lencana.
“Titah dari Kediaman Barat.
Tapi... menurut pesan pelayan mereka, mohon dianggap... berasal dari Anda.”
Xuan mengangkat alis.
Membuka gulungan itu perlahan. Matanya membaca cepat.
Satu permintaan pribadi:.
izinkan dayang ini merawat Yu Zhen sementara ia sakit,
karena lukanya cukup merepotkan gerak tangan.
Mohon dianggap sebagai titah dari Kediaman Xuan.
Dan... agar tidak menimbulkan rumor.
Tertanda,
Lian He
~ atas nama Pangeran Keempat
Xuan mendesah pelan, mengangguk.
“Sudah kuduga anak itu belum selesai memikirkan gadis satu itu.”
Tapi ia tetap tersenyum kecil.
“Baiklah. Kita ikuti permainannya sementara ini sampai dia pulih. Lagj pula aku berhutang padanya. "