Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Opera Tuhan
Emi pun pergi, hari ini ia mendapatkan jadwal kuliah sore. Jadi, sedikit bersantai walau sebenarnya tidak dengan hati kecilnya itu.
Di luar.
“Bu, hari ini cuacanya begitu terik. Namun, kenapa ibu bisa melewatinya dan sedangkan aku tidak bisa.”
Emilia menatap sinar matahari, lalu menutup separuh penglihatannya. “Sekuat apa hatimu, bu. Sampai bisa menerimaku meski aku adalah wanita simpanan suamimu,” gumam Emi dalam hati.
Namun, semua itu sudah terlanjur. Di hatinya tak ada lagi nama lelaki lain selain Arindra. Lelaki yang hadir dan masuk ke hatinya untuk pertama kalinya hingga sulit digantikan.
Selang beberapa lama. Terdengar suara langkah kaki dari arah belakang. Ia yakin jika pemiliknya adalah Arin, benar saja. Lelaki itu pun menghampiri Emilia.
“Em,” sapa Arindra.
“Mas, kamu belum berangkat bekerja?” tanya Emi beberapa detik kemudian.
“Akan segera berangkat. Aku sudah mengajukan cerai pada Luna, tetapi dia menolak. Semua ini atas dasar kesalahanku, tapi kenapa sedikitpun dia juga tidak memperlihatkan kekecewaannya padaku.” Arindra pun sedikit menyatakan isi hatinya, merasa jika sosok yang dinikahinya sungguh tidak bisa ditebak.
Sesaat, Emi pun memikirkan perkataan Arindra juga. Jika itu orang lain, kemungkinan akan marah dan memakinya. Mengurus dokumen perceraian karena sudah melakukan pengkhianatan, tapi Luna … justru Luna sebaliknya dan benar-benar tidak bisa ditebak oleh siapa pun.
“Entahlah Mas, aku pun tidak tahu isi hatinya seperti apa. Berpura-pura baik-baik saja rasanya sulit untuk aku pahami,” jawab Emi.
“Seharusnya aku tidak menikahinya, aku jatuh cinta padanya karena kerendahan hatinya, prilakunya yang membuatku yakin untuk mempersuntingnya juga, tapi siapa sangka jika sebuah luka telah kutaburkan ke dalam hatinya.”
Siapa yang mengira jika harus berakhir seperti ini. Bahkan ia pun tak menyangka kisahnya berujung pengkhianatan dilakukan oleh dirinya sendiri.
“Sudahlah, lebih baik kamu segera pergi.”
Arin mengangguk dan segera meninggalkan rumah.
\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_
Sinar matahari mulai redup, dan sang sinarnya perlahan bersembunyi. Ketika langkahnya menuju ke arah parkir, di situlah seseorang yang tak asing memanggilnya. Beliau adalah guru senior di tempatnya mengajar.
“Bu Luna, sudah selesai makannya?” tanya senior Luna.
“Sudah Bu, Ibu sendiri bagaimana?” tanya balik Luna dengan sopan.
“Ini juga mau masuk, tapi kebetulan kita bertemu di sini.” Jawab senior.
Terlihat dari raut wajahnya tengah menyimpan sesuatu untuk dibicarakan. Laluna yang sadar akan keadaan tersebut, akhirnya menawarkan untuk mengobrol sebentar.
“Jika ada yang ingin dibahas, kita bisa masuk!” ajak Luna.
“Uhm, karena ini adalah waktu yang tepat.” Jawab senior Luna.
Keduanya sudah masuk, hening untuk saat dan dengan hati-hati senior Luna pun mencairkan suasana, karena sebelumnya terasa amat canggung.
“Bu Luna, maaf.”
Setelah mengotak-atik ponsel. Sang senior pun menyodorkannya pada Luna, bahkan sebelumnya tidak mengerti dengan maksud tersebut. “Bu, apa ini?” tanya Luna dengan polosnya.
“Lihat saja, Bu Luna akan tahu isi dari ponsel ini.” Kata senior yang mana tidak ingin memberi tahu secara langsung.
Luna berhasil melihatnya, tak ada adegan terkejut seperti di film-film. Sebelum seniornya memberikan bukti itu, ia sudah dulu mengetahui potret di ponsel seperti apa.
“Bu, kenapa Ibu tidak terkejut ketika melihatnya?” tanya senior dengan heran, karena Luna sama sekali tidak bereaksi.
“Apa yang membuatku terkejut dengan gambar-gambar ini. Aku percaya jika suamiku tidak melakukannya, jadi Ibu tenang saja.” Ucapan Luna membuat sang senior menggeleng.
Sungguh tidak percaya jika seorang istri terus saja menutupi perselingkuhan suaminya. Di mana itu benar dan nyata adanya.
“Bu, apa Ibu tidak percaya dengan gambar yang aku tunjukan? Bu Luna bisa mengecek tanggal pengambilannya, itu sudah jelas di mana tanggal dan hari ulang tahun pernikahan kalian!”
Merasa disepelekan, hingga membuat senior itu marah. Mengira jika gambar yang diambil tepat di hari Anniversary Luna dan Arindra adalah rekayasa.
“Bukan tidak percaya, biarkan aku yang menanganinya sendiri.” Jawab Luna, baginya. Aib suaminya tak perlu diumbar meski faktanya begitu menyakitkan.
“Bu, jika Ibu ingin bercerita. Aku bisa menjadi teman, bukan menjadi rekan kerja. Jika terus menyembunyikannya, apa Ibu yakin untuk mengatasinya sendiri? Terkadang kita butuh seseorang sebagai sandaran dan mendengar keluh kesah kita juga.”
Luna terdiam, ucapannya bak tamparan karena ternyata ia tak sekuat yang dikira. Berusaha mengatasi rumah tangganya sendiri, tetapi hatinya selalu perih ketika Arindra menaburkan garam pada lukanya.
“Maaf Bu, aku ada urusan mendadak dan harus segera diselesaikan.” Pergi begitu saja tanpa ada jawaban, membuat sang senior semakin kesal karena menolak bantuannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Namun, Luna tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan datang ke tempat Aruna berada.
Belum sampai di rumah Runa, tiba-tiba hujan turun dengan begitu deras. Luna pun berdiri dan menatap lain lalu di sinilah ia menangis tersedu-sedu. Meski raganya hidup, seolah tidak memiliki nyawa karena perasaannya sudah mati.
“Tuhan, jika aku bukan satu-satunya di dalam hidupnya. Maka aku ikhlaskan untuk melepaskannya,” batin Luna dengan diiringi tangisan.
“Aku pernah mencintainya, aku pernah memujanya. Aku pernah menomor satukan dia, tetapi aku hanyalah sebatas persinggahan baginya. Tak berarti apa-apa selama lima tahun ini,” ungkap Luna lagi.
Pada akhirnya, kisah mereka harus kandas karena adanya rumah baru. Ketika dia–sosok yang sudah ditunggu-tunggu pulang, maka kisah ini tak lagi bermakna.
“Mas, apa kamu benar-benar sudah menghapus namaku di dalam doamu? Apa bagimu aku selama ini, mencoba menerima, tetapi aku tak sanggup.”
Hujan semakin deras. Tidak peduli jika harus berakhir sakit. Namun, ketika Luna berjongkok dan menenggelamkan kepalanya pada kedua lututnya. Ada rasa aneh karena tidak merasakan air dari langit jatuh menimpanya.
“Jika kamu sakit, orang pertama yang khawatir adalah Aruna. Kamu boleh menjadi wanita lemah tanpa harus berpura-pura tegar, karena itu sama saja menyakiti hatimu.”
“Aku lelah, aku lelah dengan takdirku. Kenapa Tuhan memberiku jalan sempit seperti sekarang, apa dosaku di masa lalu sampai harus menanggung rasa ini. Katakan, kenapa harus menjalani semua ini!” Luna semakin sesenggukan, entah siapa yang harus disalahkan atas nasibnya.
“Lun, kamu hanya perlu menyayangi dirimu sendiri. Aku bangga padamu, bangga dengan keikhlasan hatimu ketika seseorang yang kamu perjuangkan memiliki ruangan lain.”
Tawa itu, tawa yang diselingi oleh tangisan. Membuat Luna terlihat seperti orang gila.
“Aroon, opera Tuhan itu sangat lucu, ya?”
Wajah yang berhiaskan air hujan. Matanya yang sembab. Masih saja mencoba kuat meski harus menaruhkan sebagian kebahagiaan.
“Seandainya aku tahu di akhir episode seperti apa, maka aku juga akan mengubah alurnya sesuai keinginanku.