Hilya Nadhira, ia tidak pernah menyangka bahwa kebaikannya menolong seorang pria berakhir menjadi sebuah hubungan pernikahan.
Pria yang jelas tidak diketahui asal usulnya bahkan kehilangan ingatannya itu, kini hidup satu atap dengannya dengan status suami.
" Gimana kalau dia udah inget dan pergi meninggalkanmu, bukannya kamu akan jadi janda nduk?"
" Ndak apa Bu'e, bukankah itu hanya sekedar status. Hilya ndak pernah berpikir jauh. Jika memang Mas udah inget dan mau pergi itu hak dia."
Siapa sebenarnya pria yang jadi suami Hilya ini?
Mengapa dia bisa hilang ingatan? Dan apakah benar dia akan meninggalkan Hilya jika ingatannya sudah kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STOK 15: Pertama
Beberapa bulan ini, kehidupan Hilya benar-benar dipenuhi dengan warna dan banyak sekali kejutan. Bagaikan kado ulang tahun, setiap hadiah yang dibuka tidak bisa diprediksi dan ditebak seperti apa isinya.
Hilya Nadhira, gadis biasa yang hanya ingin mendedikasikan ilmunya untuk kepentingan keluarga tiba-tiba berurusan dengan orang yang tidak ia kenal dan kini dia diminta menjadi istri yang sebenarnya. Bukan lagi hanya sekadar untuk status atau sebuah pertolongan, tapi sungguh sebagai pendamping hidup yang sesungguhnya.
" Hilya, bagaimana keputusanmu. Aku udah nunggu sampai 3 hari tapi kamu belum ngasih jawaban."
Tara kembali mengulang pertanyaannya. Ya setelah waktu itu dirinya meminta Hilya untuk menjadi istri sesungguhnya, Hilya belum memberikan jawaban sama sekali.
" A-aku nggak tahu Mas. Aku masih bingung. Ini semu dadakan banget." Jawaban Hilya yang kikuk dan mata yang tidak menatap wajah Tara, membuat pria itu malah tersenyum simpul.
Mungkin ini memang terkesan terburu-buru dan pastinya tidak ada dalam rencana kedepannya dari Hilya. Tara ingat saat Hilya dan Yani berbicara soal bagaimana kalau ia sudah bisa mengingat, di sana Hilya berkata bahwa ia siap jika Tara meninggalkannya dan menceraikannya.
" Aku suka kamu Hilya Nadhira, aku ingin kamu jadi istriku."
Shaah
Hilya yang sedari tadi sibuk menghindari tatapan Tara kini langsung melihat wajah pria itu. Sorot mata Tara sama sekali tidak ada kebohongan di dalamnya.
" Aku hanya perlu tahu, apa kamu punya rasa yang sama dengan ku atau tidak? Jika tidak maka aku akan berhenti jika ya, maka aku akan terus maju."
Degh degh degh
Jantung Hilya berdegup kencang, seperti sebuah drum yang di pukul keras sehingga ia sendiri pun bisa mendengarnya. Suka? Apakah dia juga menyukai Tara? Tapi apakah benar jika dia mengatakan itu kedepannya akan baik-baik saja.
" Baiklah, diamnya kamu aku anggap kamu punya rasa yang sama denganku. Jadi mari bersiap untuk menikah 3 hari lagi."
" Ya?"
Tara melemparkan senyum dan melenggang pergi meninggalkan Hilya yang saat ini diliputi rasa bingung. Gadis itu mengusap wajahnya kasar. Jika benar dia akan menikah nanti, maka segalanya akan berubah. Jabatan istri yang akan ia terima haruslah dilaksanakan beserta hak dan tanggungjawabnya.
" Apa Mas Tara sungguh serius denganku," gumam Hilya lirih.
Disisi lain Tara benar-benar lega. Meskipun Hilya sama sekali tidak menjawab mengenai ungkapan perasaannya, Ia tahu bahwa gadis itu punya rasa yang sama dengannya. Dan ini cukup membuatnya untuk terus berstatus suami istri dengan Hilya tentu akan ia resmikan nanti di kantor urusan agama setempat.
Tara kembali ke kamar, ia lalu memeriksa kabar terkini tentang apa yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Sebuah senyuman melengkung di bibir pria itu ketika ia membaca akun media sosial resmi milik keluarga Dwilaga yang mengungkapkan kondisi Raka Pittore.
Hanya ada unggahan gambar berwana hitam dan sebuah caption bertuliskan, " Mohon doanya untuk kesembuhan putra kami."
Satu kalimat tapi memiliki efek yang luar biasa. Unggahan itu banyak diunggah ulang di beberapa portal berita. Orang yang menyukai dan berkomentar pada unggahan tersebut pun sangat banyak.
" Bagus, semuanya berjalan lebih lancar dari yang ku duga. Sekarang aku hanya perlu mengingat siapa orang yang terakhir mengundangku itu."
Tara mencoba untuk menyibak ingatannya kembali. Ia memejamkan matanya dan berpikir keras, namun sungguh tidak ada yang keluar barang sekelebat pun.
Ia merasa aneh, memori yang sama sekali tidak bisa ia temukan hanya pada bagian itu. " Huh, kalau gini ceritanya, aku harus nunggu kabar dari Nizam dan Nayaka."
Bruk Tara menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Ia melihat ke arah langit-langit kamar milik Hilya yang sudah 2 bulan lebih itu ia tempati. Rasa dingin malam itu yang semakin menyeruak membuatnya terasa sepi.
" Kalau Hilya di sini, pasti jadi lebih anget kan?" Gumam Raka lirih.
Di tempat lain, tepatnya di ruang tengah, Hilya masih setia duduk di depan televisi. Entah apa acara yang ditampilkan itu, tapi jelas Hilya sama sekali tidak menontonnya. Matanya menatap lurus ke televisi, tapi isi kepalanya tidak sama sekali.
Hilya mengeratkan selimut tebal yang membalut tubuhnya. Entah mengapa malam ini udara dingin begitu sangat terasa. Padahal malam sebelumnya tidak seperti ini.
" Bikin mie enak kali ya, tapi males," celetuknya. Ya, ia berbicara sendiri. Ingin pegi tidur tapi dari tadi tidak kunjung bisa tidur.
Hilya melihat jam yang tergantung di dinding, rupanya malam benar-benar telah larut karena jarum pendek pada jam menunjuk ke angka satu. Bahkan sudah boleh dibilang menuju dini hari.
Tap tap tap
" Lho Hilya, kamu belum tidur apa kebangun dari tidur.
" Mas, kamu kok bangun. Apa kepala Mas sakit lagi?"
Pertanyaan yang dijawab pertanyaan kembali oleh Hilya. Dan hal itu membuat Tara tersenyum. Ia yang ingin pergi ke dapur untuk mengambil minum akhirnya urung dan memilih untuk duduk di sebelah istrinya.
" Aku baik-baik aja, cuma pengen minum. Kamu lagi nonton apa, apa ada acara yang bagus?"
" I-ini, itu ... ."
Hilya tidak bisa menjawab pertanyaan dari tara karena dia sendiri tidak tahu acara apa yang saat ini dia tonton. Dan pada akhirnya dia memilih diam. Dirinya kini merasa canggung jika dekat dengan Tara. Semenjak pria itu mengatakan bahwa ingin menikahinya secara resmi, dada Hilya akan berdebar setiap kali berdekatan dengan Tara.
" Apa kau lagi mikirin aku?"
" Eh? bu-bukan begitu."
" Aku seneng kalau kamu mikirin aku. Tapi bukan berati kamu harus bergadang seperi ini. Kesehatanmu penting Hilya, dan aku nggak mau kamu sakit nantinya."
Wajah Hilya memerah ketika Tara mengucapkan kalimat itu, ditambah tangan pria itu mengulur dan menyentuh pipinya. Hangat, itulah yang saat ini Hilya rasakan. Dan semua kegundahan yang ia rasakan tadi seakan menghilang.
" Pipi kamu dingin banget Hil," tukas Tara.
" Mas, aku baik-baik saja kok. Begini ini kan emang biasa," sahut Hilya cepat. ia ingin mengalihkan wajahnya ke arah lain tapi oleh Tara ditahan.
" Hilya, meskipun mungkin ingatanku belum sepenuhnya memenuhi kepalaku, tapi bisa ku pastikan kamu adalah wanita pertama dalam hidupku."
Cup
Mata Hilya membelalak saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Tara. Jujur saja ini adalah kali pertama untuknya.
" Bolehkah ku lanjutkan?"
Tentu saja Hilya tidak bisa menjawab apa yang Tara tanyakan. Saat ini tubuh Hilya sedang terpaku dengan ulah Tara yang tiba-tiba.
Sedangkan Tara, pertanyaannya yang tidak dijawab oleh Hilya tapi ia tahu bahwa reaksi tubuh Hilya tidak menolak, tentu saja harus melanjutkan aksinya. Bagaimanapun bukankah mereka sudah menikah, tapi tetap saja Tara akan melakukan hal yang lebih jauh nanti ketika mereka meresmikannya di kantor urusan Agama.
Tara kembali menempelkan bibirnya, kini dia menggigit kecil bibir Hilya agar bisa terbuka dan saat Hilya membuka aksesnya, Tara langung menelusupkan lidahnya. Cecapan terdengar samar karena beradu dengan suara televisi yang entah apa acara yang sedang berlangsung sekarang.
" hosh hosh hosh"
Nafas keduanya terengah, Tara mengusap bibir Hilya dengan ibu jarinya. Ia lalu mendaratkan sebuah kecupan di kening Hilya dan berkata, " Aku cinta kamu Hil, sungguh."
TBC