Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Manusia Satu Perasaan
"Lo tuh nggak punya taste" Untuk entah yang ke berapa kalinya kata-kata itu Kama dengarkan. Mulai dari nada yang serius, nada mengejek, nada menyebalkan, nada memelas, dan nada-nada yang lainnya sampai membuatnya muak. "Tas tes tas tes, lagu lu pake taste segala, nyatanya malah gue yang bisa dapetin nomer dan nama Hara dengan natural" Lanjut Rio kembali meledek Kama yang sedang duduk bersandar di sofa apartemennya. Wajahnya kusut masam.
Setelah kejadian pagi tadi di pengadilan, Rio tidak membiarkan sedetik pun telinga Kama merasa tenang. Ada saja bahasan untuk mengejeknya.
"Udah gue bilang, nggak semua itu perlu taste, yang klasik-klasik aja. Noh contohnya gue, lagu lama yang di puter lagi, tapi berhasilkan?" Rio kembali memberikan wejangan yang tidak di minta kepada Kama. Sesumbar karena bisa membuktikan teorinya benar, bahwa yang klasik tetap yang terbaik.
Kalau saja Rio bukan teman sejawat seperjuangannya sewaktu sekolah kepolisian dulu, mungkin sekarang dia sudah menyumpal mulutnya dengan entah apa saja yang terlihat di depan matanya.
"Tapi ya gue nggak heran sih lu segitunya ngebet pengen kenalan sama Hara, ternyata memang cantik anaknya. Mata lu tuh tau aja barang bagus" Lanjut Rio tetap saja nyerocos meski sudah mendapat wajah bodo amat dari Kama. "Kalau sekarang gue kirim pesan ke Hara, kira-kira di bales nggak ya?" Rio telah kembali ke mode mengejeknya.
Kama yang tak habis pikir itu pun memejamkan matanya. Pikirannya kalut. Untuk apa semua ini dia lakukan, kenapa sampai segitunya dia berusaha berkenalan dengan Hara? Apa yang membuat cewek itu spesial? Wajahnya? Ya, harus di akui, wajah Hara cantik natural, tipe yang tidak akan membuat bosan meski di pandang seharian. Tapi bukankah cewek cantik juga banyak? Apa lagi yang spesial darinya? Di ajak bercanda susah, tidak terpengaruh pada pesonanya, dan pikirannya selalu tidak bisa di tebak. Untuk apa repot-repot mendekati cewek yang hanya akan membuat lelah? Siapa sih di dunia ini yang mau milih jalan susah kalau ada yang gampang? Pikiran-pikiran seperti itu terus saja bergulung di kepala Kama, berputar-putar tanpa bisa menemukan jawabannya.
"Kam, Kama!" Panggil Rio, kali ini dia melemparkan bantal ke arah Kama yang sedang memejamkan mata itu.
"Apaan sih bangsat" Maki Kama kesal lalu membuang bantal kursi itu dengan kasar.
"Gue kira lu tidur, abis di panggilin dari tadi nggak nyaut-nyaut" Jawab Rio juga ikut kesal karena sedari tadi Kama tidak memperhatikannya. "Mikirin apaan sih, serius amat. Nggak cocok sama muka lu tuh" Lanjutnya ngomel.
"Mikirin cewek mana yang ada jadwal kencan sama gue hari ini" Balas Kama asal. "Jadi mending buruan lu pulang dah, gue mau ajak tuh cewek kesini, ganggu aja lu dari tadi ngintilin kesini" Sungut Kama kesal. Suasana hatinya benar-benar kacau cuma karena seorang Hara.
"Ngusir nih ceritanya?" Tanya Rio santai, dia tau meski kata-kata Kama tidak enak di dengar, tapi dia tau Kama tidak pernah bermaksud jahat padanya. "Ya udah kalau gitu gue ngapel aja lah ke rumah Hara, bosen gue gak ada temennya" Kembali Rio meledek Kama, serasa mempunyai kelemahan dari cowok yang terlihat sempurna itu.
"Berisik banget sih lo dari tadi, Hara Hara Hara terus yang lu omongin, kalau mau ya lu ambil tu cewek, kayak gue kekurangan cewek aja, sebiji doang, gue bisa cari ganti seratus cewek kalau gue mau" Lepas sudah amarah Kama yang sedari tadi di tahannya, Hara sepertinya menjadi pengaruh buruk untuk mood-nya.
Rio yang terkejut mendapati Kama marah karena candaannya itu pun cuma bisa diam. Selama tujuh tahun mereka saling kenal, tidak pernah sekali pun Kama marah padanya, mau separah apapun candaan yang di lontarkan Rio, Kama hanya akan menanggapinya dengan candaan balik atau hanya cuek bebek masa bodo. Salah tingkah sendiri karena suasana canggung, Rio pun berinisiatif pergi saja sesuai keinginan Kama.
"Sorry deh Kam kalau gue udah keterlaluan. Gue nggak bermaksud gitu" Ucap Rio pelan, menjaga intonasi suaranya agar ketegangan di antara mereka sedikit mencair. "Gue balik dulu deh kalau begitu" Lanjutnya, kemudian bangkit dari duduknya dan bergegas menuju pintu keluar. Tidak ada penahanan atau tanggapan dari Kama, yang artinya dia benar-benar ingin Rio segera pergi.
Brengsek si Hara. Kama kembali menutup matanya. Tapi bayangan wajah Hara terus saja muncul di ingatannya.
Dengannya Hara sama sekali tidak tersenyum, bahkan sekedar senyum sopan santun saja tidak, terus kenapa dengan Rio dia bisa tersenyum. Apa yang membuatnya berbeda dari Rio? Mereka juga memakai seragam yang sama, tapi pandangan Hara kepadanya hanya tentang "uang" padahal tawaran bantuan yang dia berikan gratis. Apa wajahnya kelihatan seperti wajah-wajah yang sedang kepepet masalah keuangan? Sedangkan kepada Rio dia bisa berterima kasih penuh syukur meskipun bantuan Rio tidak gratis.
Dia mengingat-ingat kembali kejadian yang mengguncangkan harga dirinya itu. Setelah Rio berhasil dengan adegan klasik "tabrakan tidak di sengaja" itu, mereka pergi ke ruang sidang bagian tilang bersama-sama. Kama hanya bisa mengikuti mereka dengan menjaga jarak aman.
"Mbak disini mau ngurus tilang juga?" Tanya Rio, kala itu.
"Iya, tadi udah di panggil, terus tau-tau ada polisi gitu mau ngurusin berkas-berkasnya" Jelas Hara, kebiasaan menjelaskan secara detail itu ternyata berlaku ke siapa saja yang bertanya padanya. Tidak peduli meskipun mereka baru kenal.
"Loh kenapa nggak jadi? Ini saudara saya aja minta tolong urusin ke saya. Kan enak mbak nggak perlu capek-capek kesini, ngantri juga" Rio yang berpura-pura tidak tau masalah Hara itu pun berhasil dalam acting-nya.
"Kayaknya sih nggak gratis, tapi di tanya mau uang berapa nggak jawab juga. Saya takut deh sama yang nggak pasti-pasti begitu. Kayaknya orangnya memang lagi butuh uang" Jawab Hara menjelaskan.
"Oh gitu" Rio hampir saja tertawa mendengar penjelasan Hara. Seorang Kama butuh uang, kalau saja dia baru mengenal Kama, sudah barang pasti dia tidak akan menahan tawanya seperti sekarang. Tapi Kama yang dia kenal bukan tipe anak yang memusingkan masalah uang. Di lihat dari apartemen yang dia tinggali, juga dari setiap harinya dia di traktir makan, maka uang bukan tujuan utamanya menjadi polisi. Bukannya tidak pernah penasaran dengan kehidupan Kama, tapi Kama selalu saja mengelak kalau pertanyaan itu sudah menjurus ke ranah privasi.
"Bapak gue dukun, makanya bisa gandain uang, jadi lo nggak usah khawatir masalah uang kalau sama gue, udah pake duit gue aja" Begitu jawab Kama saat Rio bilang ingin mentraktir ganti Kama. Sungkan karena terus saja dirinya yang di traktir.
"Hmmm... Mbak" Rio menghentikan langkah Hara saat mereka telah dekat ke ruangan yang mereka tuju. "Mau nitip saya aja nggak? Biar saya urusin sekalian sama punya saudara saya" Tawar Rio kemudian. Sebenarnya dia hanya basa basi, toh Hara mau menerimanya atau tidak, tidak ada untungnya untuk dia. Kalau beruntung dan Hara mau menerimanya, dia tetap akan menyerahkan urusan itu pada Kama, kalau tidak ya sudah, dia akan berpura-pura kalau punya saudaranya ternyata sudah lebih dulu di urus orang lain. Mau Hara pikir dia berbohong atau tidak, Rio tidak peduli.
"Berapa biayanya?" Tembak Hara langsung. Mengingat sudah dua orang yang menawarinya bantuan begitu, sudah jelas kalau masalah beginian bisa untuk di wakilkan pengurusannya.
"Biasanya sih sekitar dua lima puluh" Jawab Rio santai. Dia tau Kama sedang mengikuti mereka dan menguping pembicaraan mereka.
"Saya transfer sekarang aja bisa nggak?" Jawab Hara tanpa basa-basi. "Nanti suratnya gampang lah, saya lagi banyak urusan sekarang" Lanjutnya sembari melihat jam di tangannya. Dia tidak ingin gara-gara urusan ini sampai harus membuatnya lembur.
"Tunai aja bisa nggak mbak? Kalau pake transfer kesannya saya nerima suap" Jawab Rio asal. Tapi mungkin memang ada benarnya juga. Mereka tidak saling kenal, untuk apa Hara mentransfernya uang.
"Oh sorry sorry" Hara terkejut dan buru-buru merogoh tasnya. "Bukan maksud saya begitu, sorry pak..." Hara melirik ke arah name tag Rio.
"Rio" Balas Rio cepat sembari mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
"Saya Hara" Balas Hara cepat-cepat menerima uluran tangan Rio sambil tersenyum. Semudah itu saling memperkenalkan nama masing-masing. "Jadinya saya boleh nitip kan pak Rio?" Lanjut Hara saat tangan mereka yang bertaut sudah lepas.
"Iya boleh, terserah mbak Hara aja" Jawab Rio.
"Kalau gitu... Sebentar ya Pak Rio" Hara memalingkan tubuhnya membelakangi Rio.
"Santai aja mbak Hara, saya nggak buru-buru kok" Jawab Rio sembari menoleh ke arah Kama sementara Hara sibuk mencari dompet di tasnya. Dengan senyum mengejek dia menuding ke arah Hara dan ke arah Kama secara bergantian kemudian tertawa mengejek tanpa suara. Yang di ejek di ujung sana sudah panas dengan wajah cemberutnya.
"Ini pak biayanya" Ucap Hara setelah berbalik dari urusannya. Dia menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan dan sebuah kertas persegi panjang mengkilap.
"Uang pas aja mbak" Jawab Rio ketika melihat uang yang ada di tangan Hara.
"Nggak apa-apa pak, saya nggak ada uang pas" Hara kemudian meraih tangan Rio dan memberikan uang tersebut secara paksa. "Sekalian ini kartu nama saya, ada alamat kantor juga nomor telepon saya. Kalau suratnya sudah selesai, bapak bisa gojekin suratnya ke alamat ini, nanti biar saya yang bayar biaya gojeknya" Jelas Hara panjang lebar.
Rio yang di todong seperti itu hanya bisa melongo bingung. Ternyata Hara sangat tidak menye-menye jadi cewek. Nyatanya dia tidak ingin urusan ini berlanjut jadi acara ketemuan untuk serah terima surat tanda nomor kendaraan miliknya yang di tahan, sambil makan malam atau sambil nonton, atau hanya sekedar sambil ngobrol untuk saling kenal menambah teman gitu. Padahal secara wajah, Rio percaya diri, tidak jelek-jelek amat.
"Oh i-iya" Jawab Rio terbata masih belum hilang dari rasa syoknya.
"Kalau begitu terima kasih ya pak, saya permisi dulu" Lagi-lagi tanpa basa basi Hara sudah langsung pergi dari hadapan Rio, benar-benar seperti urusan selesai ya sudah.
Kama membuka matanya, menoleh ke arah meja kecil di samping sofa tempatnya duduk, dia menatap tiga lembar uang seratus ribuan serta kartu nama Hara yang di berikan oleh Rio. Kekesalannya benar-benar tak mau hilang bagaimanapun Kama berusaha menepisnya. Apa seterluka itu harga dirinya?
TIDAK.
Dia adalah Kama Nayrendra, tidak ada kata galau dalam kamusnya. Dia berdiri dan meraup barang milik Hara yang ada di apartemennya itu, meremasnya menjadi satu dan kemudian melemparnya asal ke pojok ruangan, dekat tempat sampah. Ya, di situlah barang itu seharusnya berada, pojok dekat tempat sampah.
Kama mengeluarkan ponsel dari saku celananya, mencari secara acak di dalam kontaknya, menscroll-nya cepat dan membiarkannya berhenti dengan sendirinya, kemudian menekan icon gagang telepon di nama mana saja yang terlihat. Begitulah seharusnya memilih wanita, tanpa perlu berpikir, tanpa perlu perasaan, dan tanpa perlu usaha berlebih.
"Kamaaaa" Teriak suara centil di ujung sana begitu panggilannya tersambung.
"Ke apartemen gue yuk, lagi pengen nih" Saut Kama cepat tanpa basa basi dan kemudian menutup sambungannya. Ya begini baru benar.
Dia melempar asal ponselnya dan beranjak pergi ke kamar mandi, bersiap-siap menyambut salah satu kesenangan dunianya yang pasti sebentar lagi akan datang.
...****************...
Hara yang baru saja sampai di kamarnya setelah umpet-umpetan dari Pak Mul beserta istrinya itu pun langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Lelah jiwa raga, kalau dia bisa menjabarkan keadaannya saat ini. Dia menatap nanar langit-langit kamarnya yang warna putihnya sudah memudar.
Hari ini menjadi salah satu hari terberatnya setelah putus dari Nael, nama yang beberapa hari ini terus berputar di kepalanya. Sepulang dari kantor pengadilan tadi, bu Inggar meneleponnya dan memintanya langsung saja pergi meeting di cafe biasa. Hanya mendengar kata "cafe biasa" saja sudah membuat Hara kehilangan lima puluh persen semangat kerjanya. Karena "cafe biasa" itu adalah tempat pertama kali dirinya dengan Nael bertemu, juga tempatnya kencan selama dua tahun terakhir. Dan sekarang dia harus bertemu dengan Nael saat hatinya belum siap.
Hara bolak balik memeriksa dirinya di dalam toilet cafe, memastikan dia tampak baik-baik saja dan terlihat, setidaknya, cukup cantik hari ini untuk bertemu Nael. Mungkin saja hubungannya dengan Nael bisa di bicarakan kembali, tapi kalaupun tidak, setidaknya mereka bisa tetap berhubungan baik sebagai teman. Tidak muluk-muluk keinginan Hara.
Setelah merapikan kembali make up-nya dan memastikan dirinya cukup oke, dia keluar dari toilet. Tapi tidak sengaja bertabrakan dengan seorang cewek yang baru akan masuk ke sana. Untungnya saja tabrakan itu hanya pelan yang tidak sampai menimbulkan kecelakaan jatuh atau lain sebagainya. Dua kali tabrakan di hari yang sama, lagi musim atau gimana.
Setelah saling say sorry dan tersenyum sopan kedua cewek itu pun pergi menuju urusan mereka masing-masing.
Hara yang akan menuju meja yang telah di pesan atas nama Bu Inggar itupun melihat Nael yang sudah lebih dulu duduk disana. Mungkin dia datang saat Hara merapikan diri di toilet. Dari jauh Hara memandangnya. Jantungnya berdetak cukup cepat. Rupanya masih ada sisa rasa yang tertinggal untuk Nael meski perbedaan di antara mereka bukan perbedaan biasa.
Nael, cowok biasa pekerja kantoran yang semua tentangnya sangat normal. Makanan kesukaannya normal, selera berpakaiannya normal, kepribadiannya normal, pokoknya Nael hanya gambaran dari laki-laki normal pada umumnya. Mungkin itu juga yang membuat Hara semakin jatuh cinta padanya. Cowok normal.
Tapi kenapa hubungan normal yang di inginkan Hara terasa sulit untuk di jalani? Hara menyentuh dadanya, menenangkan rasa nyeri yang muncul. Dia bertekad mantap, mungkin mereka masih bisa di usahakan kembali, yakinnya sekali lagi.
Nael yang tadi sedang memeriksa sesuatu di laptop-nya itu mendadak mendongak dan menoleh ke arah Hara yang sedang menatapnya dengan sendu. Dia melambaikan tangannya, seperti memberitahukan posisinya saat ini. Hara tersenyum, dia masih Nael yang Hara kenal.
Saat Hara akan membalas lambaian tangannya, mendadak dari belakangnya muncul seorang cewek yang memanggil nama Nael.
"Nael" Serunya sembari berjalan melewati Hara dan menuju ke meja tempat Nael berada.
Hara tertegun oleh kenyataan yang baru saja dia lihat. Itu adalah perempuan yang tadi bertabrakan dengannya di toilet. Siapa perempuan itu? Apa hubungannya dengan Nael? Kenapa mereka ada disini? Bukankah hari ini dia ada meeting dengan Nael? Lalu kenapa ada ada orang luar dalam urusan pekerjaan mereka? Sederet pertanyaan langsung membanjiri pikiran Hara. Apakah dia bisa tetap bersikap profesional setelah ini?
HARUS.
Hara membulatkan tekadnya, mengatur napasnya dan merilekskan otot-ototnya yang tegang dan tersenyum. Kemudian berjalan menuju dua orang yang sedang menatap laptop bersama-sama itu.
"Selamat siang" Sapa Hara saat dia sampai di mejanya.
Nael dan cewek di sebelahnya itu mendongak bersamaan. Cewek di hadapan Hara itu kemudian tersenyum dan berdiri.
"Mbak Hara ya?" Tanyanya sembari mengulurkan tangan. "Saya Nisa, sekertaris barunya bu Helena" Dia menjelaskan secara singkat tentang dirinya.
Hati Hara mencelos kecewa, tapi lebih kepada dirinya sendiri, karena telah berburuk sangka kepada Nael juga kepada cewek yang baru pertama di lihatnya itu. Sungguh, kebiasaan berprasangka itu harus di hilangkan.
Nael yang juga melihat kedatangan Hara itu bersikap cuek, seperti mereka tidak pernah saling kenal secara pribadi kecuali untuk masalah pekerjaan.
"Kalau udah kenalannya, mari silahkan membahas masalah kerjaan. Meeting-nya jadi mundur satu jam nih. Saya banyak kerjaan" Gerutu Nael sembari melihat jam tangannya. Nah kalau ini baru Nael yang Hara kenal.
Hara dan Nisa pun duduk bersamaan. Hara memilih untuk duduk berhadapan dengan Nael yang masih saja cuek melihat layar laptop-nya. Segera setelahnya mereka mulai membahas masalah pekerjaan seperti layaknya klien. Tanpa basa basi ataupun bahasan lainnya, pure membahas masalah keuangan tempat Nael berkerja. Pun begitu urusan mereka selesai, Nael buru-buru membereskan barang-barangnya dan kemudian pamit pergi, bahkan tanpa bersalaman atau hanya sekedar senyum sopan formalitas.
Sepertinya hubungan mereka tidak terselamatkan lagi. Benar-benar berakhir.
Hara memejamkan matanya dan setetes air mata meleleh turun ke pelipisnya. Inilah kedua kalinya Hara menangisi patah hatinya lengkap dengan air matanya.
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????