naya menbeci atasan nya yang bernama raka tapi berujung jadi jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arsifa nur zahra u, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24 * pegang tanganmu tanpa sembunyi *
Hari Jumat sore, kantor mulai lengang lebih cepat dari biasanya. Banyak karyawan yang memilih pulang lebih awal atau memanfaatkan waktu untuk coffee break lebih panjang. Tapi aku masih duduk di meja, memandangi layar laptop yang lebih banyak tampilan Excel ketimbang progres.
Hingga tiba-tiba pesan masuk dari Raka.
Raka: Kamu masih di kantor?
Naya: Masih, kenapa?
Raka: Temani aku sebentar. Tapi bukan di ruanganku.
Aku menatap layar, penasaran. Lima menit kemudian, dia muncul di depan ruanganku. Gak pakai jas, hanya kemeja putih yang lengannya digulung dan jam tangan hitam yang aku suka lihat di pergelangan tangannya.
“Lepas dulu dari data dan rumus Excel itu. Aku pinjam kamu sebentar,” katanya ringan.
“Buat?”
Dia cuma tersenyum misterius. “Kejutan kecil.”
Dan tanpa terlalu banyak tanya, aku menurut. Kami keluar lewat pintu samping kantor, berjalan kaki menyusuri trotoar hingga sampai ke sebuah rooftop café kecil yang baru buka dua blok dari gedung tempat kami kerja.
Café-nya sepi. Hanya ada dua pasangan lain dan musik jazz lembut mengalun dari speaker kecil.
Raka memesan dua kopi, lalu menarik kursi untukku. Ini bukan pertemuan formal, bukan juga pertemuan rahasia. Untuk pertama kalinya, kami seperti pasangan normal yang bisa duduk berdampingan tanpa rasa bersalah.
“Kenapa ngajak aku ke sini?” tanyaku sambil mengaduk kopiku.
“Karena aku tahu kamu suka tempat yang tenang dan gak terlalu ramai. Dan karena... aku pengen kamu tahu, aku serius.”
Mataku bertemu matanya.
“Serius yang gimana?” tanyaku pelan.
“Serius untuk berhenti jadi pengecut. Serius untuk gak biarin kamu bingung sendiri. Dan serius... untuk jadi orang yang bisa kamu andalkan, bukan cuma bikin kamu jatuh tanpa tahu aku bakal nangkep atau enggak.”
Dadaku berdebar. Kata-katanya sederhana, tapi terasa dalam. Terlalu dalam.
Dia lalu menyelipkan jemarinya ke jemariku di atas meja. Hangat. Lembut. Dan lebih dari segalanya—nyata.
“Aku tahu kamu butuh waktu, Nay. Tapi selama kamu izinin aku tetap di sini, deket kamu, aku akan tunggu. Bukan sebagai atasan, bukan sebagai pria yang pernah nyakitin kamu. Tapi sebagai aku, yang jatuh cinta sama kamu.”
Suara jazz, lampu hangat, dan sentuhan jemarinya membuat semuanya terasa terlalu sempurna. Aku ingin menjawab, ingin bilang aku juga jatuh—sudah lama. Tapi bibirku terlalu kaku.
Sebagai gantinya, aku menggenggam balik tangannya.
Dan dia tahu, aku tidak perlu kata-kata untuk menjawab.
Kami duduk lama di sana, bercerita hal-hal ringan. Tentang masa kecil, tentang makanan favorit, sampai tentang rencana liburan yang belum pernah kesampaian. Tidak ada pekerjaan, tidak ada tekanan. Hanya kami berdua.
Dan saat café mulai sepi, Raka mengantar aku pulang.
Di depan pintu apartemenku, dia menatapku lama.
“Naya...” bisiknya.
“Ya?”
“Kalau aku cium kamu sekarang, kamu bakal tampar aku?”
Aku tertawa kecil. “Mungkin... enggak.”
Dia tertawa pelan, lalu mendekat. Tangannya menyentuh pipiku, jemarinya lembut menyapu rambutku ke belakang telinga. Lalu perlahan, bibirnya menyentuh bibirku.
Ciuman itu pelan, tapi jelas. Hangat, tapi penuh perasaan. Bukan karena nafsu. Tapi karena cinta yang akhirnya punya tempat untuk tumbuh.
Saat dia menjauh, aku hampir tak bisa bernapas.
“Selamat malam, Nay,” bisiknya.
Aku mengangguk. “Selamat malam, Ka.”
Dan ketika pintu tertutup di belakangku, aku bersandar dengan senyum lebar yang tak bisa kuhentikan.
Malam ini, aku tahu satu hal: aku tak lagi jatuh. Aku sudah melangkah. Dan langkahku menuju ke dia.
*
Pagi harinya, aku bangun dengan perasaan yang belum sepenuhnya bisa kuterjemahkan. Antara bahagia, canggung, dan… sedikit takut. Aku memandangi ponsel yang sejak semalam diam-diam menyimpan satu notifikasi dari Raka.
Raka: Terima kasih sudah mau hadir kemarin. Aku nggak akan lupa malam itu.
Aku tersenyum. Lalu dengan cepat kuketik balasan.
Naya: Kalau gitu, jangan bikin aku nyesel udah milih kamu.
Pesan itu kukirim dengan jantung sedikit berdebar. Tapi satu menit kemudian, balasannya muncul:
Raka: Gak akan. Aku akan buktiin tiap hari.
Dan anehnya, aku percaya. Untuk pertama kalinya, aku gak merasa takut jatuh terlalu dalam. Mungkin karena aku tahu, orang yang kutuju gak lagi berdiri diam. Dia bergerak ke arah yang sama denganku.
Di kantor, suasana terasa sedikit berbeda. Bukan karena kami sembunyi-sembunyi—semua sudah tahu hubungan kami—tapi karena sekarang aku tak lagi menyembunyikan senyum saat bertemu Raka di pantry, atau saling lempar pandang saat rapat.
Teman-temanku—terutama Rani dari divisi HR—mulai menggoda lebih terbuka.
“Nay, hati-hati lho. Jangan sampai kalian mesra-mesraan di ruang rapat, terus CCTV bocor,” katanya sambil terkikik.
Aku hanya mengangkat alis dan tersenyum. “Kami kan udah legal sekarang.”
“Justru itu! Legal tapi masih seru untuk digosipin,” celetuknya lagi.
Aku tertawa pelan, lalu kembali fokus ke layar. Tapi dalam hati, aku merasa lega. Gak perlu lagi pura-pura dingin, gak perlu lagi lari dari perasaan sendiri.
Saat jam makan siang, Raka mengirimiku chat.
Raka: Makan di luar yuk? Aku tahu tempat baru. Nggak jauh, dan makanannya katanya enak.
Naya: Aku bareng Rani. Tapi kita bisa bareng ke sana kok. Mau sekalian ajak dia?
Raka: Boleh. Tapi aku tetap pengen duduk di sebelah kamu.
Dan benar saja, saat kami tiba di restoran itu, Rani cuma geleng-geleng waktu melihat betapa lembutnya Raka menarik kursi untukku, atau bagaimana tangannya menyentuh bahuku dengan gerakan ringan tapi penuh makna.
“Kalian ini, kayak couple drama Korea,” bisik Rani padaku saat Raka pergi ke toilet.
“Lebih ke couple yang udah pernah perang batin dulu baru bisa begini,” kataku pelan sambil tersenyum.
Sepulang makan siang, kami kembali ke kantor. Di lift, hanya ada aku dan Raka.
“Kalau aku ngajak kamu pergi weekend ini, kamu mau?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh, menatap matanya yang serius.
“Mau ke mana?”
“Tempat tenang. Mungkin vila kecil di puncak. Kita gak usah bahas kerjaan, gak ada email, gak ada rapat. Cuma kamu dan aku.”
Aku menelan ludah pelan. Tawaran itu menggiurkan… tapi juga mendebarkan.
“Kamu gak takut makin sayang?” tanyaku pelan.
Dia tersenyum, wajahnya mendekat. “Justru aku pengen. Karena sekarang aku tahu, aku gak akan lari.”
Pintu lift terbuka. Kami keluar tanpa melanjutkan percakapan itu, tapi dalam hati… aku tahu aku sudah bersiap.
g bertele-tele 👍👍👍👍👍
😘😘😘😘😘😘
gmn klo a ny jdi e😩😩😩😩