NovelToon NovelToon
Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikahmuda / Single Mom / Nikah Kontrak / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 - Kepergian Yang Disayang

Kaki Jenar terasa layu untuk dilangkahkan. Beberapa kali ia nyaris terjatuh kalau saja Hana tidak memeganginya. Hari ulang tahun Astri yang harusnya menjadi hari bahagia untuk iparnya itu, kini berganti menjadi hari penuh tangisan.

Baru saja, Astri selesai melakukan operasi pengangkatan bayi dalam perutnya. Dan hal yang paling membuat Jenar terluka adalah ... Astri tidak bisa diselamatkan.

Pecah sudah tangisan Jenar di depan ruangan operasi tersebut. Bagaimana bisa bayi yang baru lahir itu kehilangan ibunya? Membayangkan nasib si kecil itu saja membuat Jenar tidak sanggup.

“Sabar ya, Je...”

Hana, sahabatnya sejak lama itu selalu mendampingi Jenar. Tadi Jenar langsung menghubungi Hana karena tidak tahu harus menghubungi siapa lagi.

“Gue harus gimana, Han? Ini terlalu mendadak buat gue. Gue nggak siap,” kata Jenar terisak.

Di tengah suasana duka itu, datang seorang lelaki berseragam kepolisian menuju ke arah mereka.

“Permisi, Mbak. Apa benar anda keluarga dari saudara Leknor dan istrinya?”

Jenar menoleh sejenak. “Saya adiknya, Pak.”

Lantas polisi itu menyerahkan barang-barang Leknor. Berupa dompet dan ponsel. “Ini kepunyaan Bapak Leknor.”

Tangan Jenar gemetaran menerima benda itu. Ponsel Leknor ternyata sudah retak. Pantas saja tadi ia hubungi tidak bisa.

“Kenapa Kakak saya bisa kecelakaan, Pak? Kenapa?!” jerit Jenar pilu.

“Menurut keterangan yang saya dapatkan dari saksi, mobil Bapak Leknor baru keluar dari supermarket yang ada di seberang jalan. Ada truk yang lewat dari arah berlawanan, dan remnya blong. Sopir truk itu sudah kami bawa ke kantor polisi untuk diperiksa.”

Perih sekali hati Jenar menerima fakta itu. Gadis itu menjerit, menyalahkan keadaan, menyalahkan si sopir truk tersebut dengan kata-kata penuh umpatan. Hana berusaha menenangkan. Namun karena terbawa emosi, manalah Jenar mau mendengarkan? Kesedihan menyelimuti Jenar hingga ia tidak bisa mengendalikan diri sendiri.

Klek! ... suara pintu ruang operasi nomor dua pun terdengar dibuka. Jenar menoleh ke belakang dan menemukan dua suster mendorong brankar yang menjadi tempat berbaring Leknor. Jenar segera menghampiri kakaknya itu. Alangkah terkejutnya Jenar saat melihat sekujur badan kakaknya itu ditutupi oleh kain putih hingga kepala. Perasaan Jenar tidak tenang. Genangan di matanya semakin menumpuk. Pedih, sakit, hancur. Jenar tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya saat ini.

“Kenapa ... kakak saya ditutup mukanya, sus?” tanya Jenar lemah.

Suster tersebut tampak menatap Jenar dengan sorot bersedih. Katanya, “mohon maaf, Mbak. Nyawa pasien tidak dapat ditolong. Ternyata pasien sudah meninggal saat di perjalanan menuju rumah sakit. Benturan di kepalanya sangat fatal dan tidak bisa diselamatkan. Kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya....”

Detik itu juga tubuh Jenar luruh ke badan sang kakak. Isak tangis menghiasi koridor kala itu. Siapa pun yang mendengar pasti merasakan getaran pilunya. Termasuk Hana yang air matanya ikut tumpah melihat sang sahabat menangis terisak.

“Mas! Bangun, Mas! Ini nggak lucu!” pekik Jenar seraya mengguncang badan Leknor.

“Katanya Mas mau ketemu aku, ‘kan? Ini aku datang. Tapi kenapa kita ketemunya di sini? Ayo bangun. Aku janji bakal pindah lagi ke rumah Mas. Aku janji bakal makan malam tiap hari sama Mas....”

“Mas, anak Mas udah lahir. Mbak Astri pergi. Dan Mas juga ikutan? Terus aku sama siapa? AKU SAMA SIAPA MAS?!”

“Mas ... bangun ....”

Air mata Jenar turun tak terbendung membasahi kain putih itu. Bahkan suster pun tidak bisa mengangkat tubuh Jenar untuk menjauh dari jenazah sang kakak. Suara Jenar perlahan menghilang. Hanya gerak tangannya yang tidak bisa diam mengguncang-guncang badan sang kakak.

Dulu Jenar pernah berduka kehilangan ayahnya. Dan sekarang, keluarga satu-satunya yang ia punya ikut meninggalkannya. Rasanya Jenar ingin menyusul mereka saja. Tidak ada guna hidupnya di dunia ini jika ia hidup sebatang kara ....

“Aku sendirian, Mas,” bisik Jenar parau.

“Nggak, Sayang. Ada gue di sisi lo,” kata Hana. “Jangan gini, Beb. Mas Leknor pasti sedih lihat lo gini. Lo harus tetap kuat. Demi keponakan lo ....”

Keponakan? Otak Jenar yang kalut itu bisa menangkap apa yang Hana katakan. Ia lupa jika anak kakaknya itu baru lahir ke dunia hari ini. Peninggalan satu-satunya Astri dan Leknor yang mau tak mau harus Jenar jaga untuk melanjutkan peran dua orang itu sebagai orang tua.

Sakit Tuhan ... aku nggak sanggup ....

Jenar ingin berteriak, tapi tenaganya terkuras habis. Dan pada akhirnya, perlahan kesadaran Jenar menipis.

Dan pada akhirnya tubuh ringkih itu tumbang ke lantai. Jenar terlalu sulit menerima kenyataan menyakitkan itu ....

Aroma tanah pemakaman yang begitu lembab dan bau hujan menusuk penciuman Jenar. Tadinya ia pikir ini semua hanya mimpi belaka. Akan tetapi, melihat di mana ia berada, dan seberapa banyak sejak tadi yang mengucapkan turut berbela sungkawa, Jenar sadar bahwa ini semua merupakan takdir yang harus ia terima.

Astri dikuburkan di sebelah Leknor. Kuburan mereka berdampingan, membuat siapa pun iri dengan hal tersebut. Ya. Leknor dan Astri berjodoh sehidup semati. Sampai mati pun mereka bersama tanpa peduli bagaimana bayi mereka yang baru lahir.

“Han, itu bukan Mas gue kan? Mas gue pasti sekarang di kantor. Mas gu—“

“Beb, udah ya? Tenangin diri lo. Gue nggak mau lihat lo gini,” kata Hana menahan tangis. Sejak semalam ia dampingi sahabatnya itu. Tak pernah Hana pergi dari sisi Jenar sedetik pun.

Jenar sangat drop. Bahkan tadi sewaktu Leknor dimasukkan ke liang lahat, Jenar sempat melarang para pemuda yang membopong jenazah kakaknya itu. Jenar bilang Leknor belum meninggal. Jenar hampir tumbang karena fisiknya yang sangat lemah saat ini.

“Han, bawa Jenar pulang.”

Suara seorang lelaki di samping mereka terdengar begitu pelan. Meski tidak menoleh, Jenar tahu itu suara siapa. Itu adalah Hanif—cinta pertamanya—sekaligus menjadi kakak dari sahabatnya.

Fyi, Hanif menyempatkan hadir ke pemakaman sebelum ia berangkat dinas.

“Iya, Mas,” angguk Hana. “Beb, pulang yuk? Istirahat. Kasihan gue lihat lo gini,” ajak Hana.

“Gue mau di sini sama Mas dan Mbak. Lo pulang aja duluan ....”

“Nggak!” geleng Hana. “Gue yakin banget Mas Leknor lagi lihatin lo sekarang. Bayangin betapa sedihnya dia lihat adiknya begini. Mas Leknor udah bahagia sama Mbak Astri di atas sana, Beb. Jangan bebani mereka sama kesedihan lo. Lo boleh sedih, gue paham perasaan lo. Tapi tolong peduliin diri lo sendiri. Apa nggak makin sedih Mas Leknor pas tahu lo nggak ingat sama anaknya? Mas Leknor nitipin anaknya buat lo rawat. Lo harus bertahan demi keponakan lo....”

Jenar tersentak. Teringat olehnya bayi yang baru lahir ke dunia itu dan masih tertinggal di rumah sakit sampai saat ini. Dan di saat seperti ini, Jenar teringat pada Gena. Lelaki itu tidak terlihat sejak tadi pagi. Bahkan dihubungi pun tidak bisa.

Jenar tahu Gena di Hawai dari informasi yang ia dapatkan dari sepupu-sepupu jauh Astri. Dan rasanya akan sangat lama menunggu kedatangan Gena untuk menguburkan Astri. Oleh karena itulah pihak keluarga besar memutuskan menguburkan Astri dan Leknor tepat di sore ini.

“Gue mau hubungin Gena dulu ...” ujar Jenar lemah.

Dengan tangannya yang gemetaran, ia hubungi Gena sekali lagi. Dan ternyata ponsel Gena masih tidak aktif. Jenar semakin menangis karena bingung menghadapi situasi ini sendiri. Bagaimana pun hubungannya dengan Gena, masalah anak dari kakak-kakak mereka tentu harus ia rundingkan dengan pria itu.

“Nggak aktif,” keluh Jenar.

“Masih di pesawat kali. Kita pulang aja yuk? Lo udah mau pingsan itu,” kata Hana khawatir.

Pada akhirnya Jenar menurut. Ia memasrahkan tubuhnya dibopong oleh Hanya menjauh dari pemakaman.

***

Hari sudah mau malam saat Gena sampai di kuburan. Lelaki itu baru saja mendarat di Bandara Internasional Soekarno Hatta satu jam lalu, dan langsung pergi ke kuburan ini usai membaca semua rentetan pesan tentang kakaknya yang meninggal.

Tidak bisa dijelaskan bagaimana perasaan Gena saat ini. Hancur, syok, sedih, semuanya menjadi satu. Di tangannya, Gena membawa bingkisan berisi baju yang kakaknya minta waktu itu. Ini adalah kado ulang tahun Astri yang harusnya Gena beri malam ini di perayaan ulang tahun sang kakak. Dan ternyata, bukannya ke perayaan, Gena malah melesat ke kuburan ini.

Dua makam dengan nisan bertuliskan nama Astri dan Leknor itu menjadi objek pandang Gena saat ini. Badan Gena bergetar hebat. Ia terjatuh di atas tanah makam nan basah itu, tak peduli baju dan celananya yang kotor terkena tanah merah.

“Kak,” panggil Gena seraya mengusap makam kakak tercintanya. Sudut mata Gena mengeluarkan cairan bening. Bibirnya berkedut hendak menangis. “Aku pulang. Katanya kita mau rayain ulang tahun bareng. Tapi kenapa rayainnya di sini?”

Bahu Gena bergetar. Kepalanya tertunduk lemas bersamaan air mata yang terjun bebas menuruni pipi.

“Maafin aku telat datang, Kak. Kita jadi nggak ketemu,” bisik Gena berat. “Aku nyesal pergi ke Hawai kalau gini ceritanya. Aku nyesal ....”

Namun nasi sudah menjadi bubur. Astri pergi untuk selamanya, dan ini di luar kuasa Gena.

Tiba-tiba Gena teringat dengan anaknya Astri yang kabarnya sudah lahir. Gena ketinggalan banyak informasi karena ia di atas pesawat selama 18 jam lebih. Dan ini adalah penyesalan terbesar dalam hidup Gena. Tak akan ia lupakan rasa bersalah ini sampai kapan pun.

Lama Gena di kuburan itu, sampai akhirnya ia memutuskan pulang ke rumah Astri. Gena teringat pada Jenar. Alhasil, setelah menabur bunga, mencium nisan sang kakak dan pamit pada Leknor, Gena pun pergi dari makam itu dengan hati yang luar biasa sakit ....

Gena turun dari mobil dengan langkah gontai. Rumah besar yang dipasangkan bendera kuning di pagar itu menjadi tujuannya kali ini. Didampingi Fadlan—sang sahabat—Gena melangkah masuk ke rumah tersebut.

Di pekarangan terlihat banyak sekali pelayat yang duduk di kursi di bawah tenda. Kepala Gena berdenyut dibuatnya. Bisa ia rasakan aura duka yang sangat kuat menyelimuti rumah itu. Rumah di mana seharusnya malam ini mereka akan merayakan hari ulang tahun Astri. Tetapi jadinya malam ini Gena bertakziah mendoakan kedua pasutri yang telah berpulang itu.

Setibanya di pintu rumah, Gena mengedarkan pandangannya ke dalam. Ia mencari Jenar, sosok yang terlibat secara langsung dengannya saat ini untuk urusan ahli waris. Namun dari semua pelayat yang mengenakan selendang itu, tak ia temui Jenar di sana.

Sementara itu, dari dalam rumah, tanpa Gena sadari, Hana menyadari kehadirannya. Gadis itu menaruh yasin yang ia baca kemudian bangkit dari dudukannya. Ia hampiri Gena yang terlihat linglung itu.

“Hai. Mas Gena ya?” tanya Hana, membuat Gena menoleh ke arah gadis itu dengan kernyitan dahi.

“Iya, saya Gena. Adiknya kak Astri.”

Mereka lantas saling berjabat tangan.

“Gue Hana, sahabatnya Jenar. Ayo tunggu di dalam aja. Tadi Jenar udah ke rumah sakit duluan lihat keadaan babynya Mas Leknor. Paling bentar lagi pulang.” Hana memberi tahu.

“Kalau gitu saya nyusul ke rumah sakit aja,” putus Gena. Ia juga paman dari bayi itu. Tentu saja Gena harus memprioritaskan anak dari kakaknya tersebut.

“Gue ikut,” kata Fadlan.

Gena menggeleng. “Jangan. Lo di sini aja wakilin gue. Kalau nanti ada yang tanya tentang gue, siapa yang bakal jawab kalau lo nggak di sini?”

Fadlan mengembuskan napas pasrah. Pada akhirnya lelaki itu mengangguk setuju. “Ya udah gue di sini aja.”

Dan setelahnya Gena pun berpamitan pada Hana dan Fadlan. Lelaki itu melangkah buru-buru menuju mobil. Dalam hitungan detik saja, mobil yang terparkir di halaman itu sudah keluar dari area halaman rumah, meninggalkan Hana dan Fadlan yang masih berdiri di tempat—belum beranjak.

Di detik yang sama, tanpa sengaja Fadlan dan Hana menoleh. Mereka mendadak kikuk saat memandangi wajah satu sama lain. Fadlan akhirnya mengulurkan tangan, berniat mengenalkan diri secara personal pada wanita cantik di depannya itu.

“Fadlan.”

Dan seolah gayung bersambut, Hanya membalas uluran tangan itu. “Hana.”

Dua insan itu sama-sama cantik dan tampan. Tentu saja wajar bagi keduanya memiliki debaran yang asing saat mata mereka bersirobok di satu titik. Hati mereka sama-sama memuji. Dan jantung mereka sama-sama berdetak kencang.

****

Gena mempercepat langkahnya begitu sampai di lobi rumah sakit. Tujuannya saat ini adalah ruangan NICU, tempat di mana bayinya Astri dan Leknor dirawat saat ini. Ruangan itu terletak di lantai tiga. Oleh karenanya Gena menaiki lift menuju ruang tersebut.

Setibanya di lantai tiga, jantung Gena semakin tidak beraturan. Tidak sanggup rasanya ia melihat wajah bayi tak bersalah yang lahir ke dunia tanpa ayah dan ibu itu. Membayangkan nasibnya saja sudah membuat Gena merinding duluan.

Ya Tuhan, Nak ... uncle nggak tega sama kamu. Tuhan, kenapa Engkau mengambil nyawa Kakak hamba dan suaminya? Lantas bagaimana nasib bayinya nanti?

Gena berhenti sejenak untuk menopang pada dinding. Kakinya terasa lemah, sulit diajak melangkah ke ruangan itu. Berkali ia coba menghirup napas dalam. Dan setelah ketenangan itu ia dapatkan, barulah Gena melangkahkan kakinya kembali menuju ruangan tersebut.

Langkah Gena terhenti begitu melihat Jenar berdiri di depan jendela ruangan NICU dengan tatapan nanar. Bisa Gena perhatikan pakaian gadis itu dipenuhi tanah makam. Melihat hal itu membuat dada Gena bergetar. Ia hampiri gadis itu sehingga Jenar menoleh ke arahnya saat menyadari kehadirannya.

Kini Gena tepat berdiri di samping Jenar. Tatapan mereka mengarah pada satu objek, yaitu bayi yang berada dalam inkubator.

Jenar merasakan matanya kembali panas. Gena menyadari perubahan raut wajah Jenar itu. Dan di saat bersamaan mereka menoleh, sehingga Gena bisa melihat bahwa Jenar kembali menangis.

“Gena ....” lirih Jenar.

Tubuh perempuan itu terhuyung. Perlahan kesadaran Jenar menipis. Kepalanya terasa berputar karena pening. Dan dalam hitungan detik saja, tubuh gadis itu ambruk ke pelukan Gena.

Gena mengusap jemari lembut yang terasa dingin itu. Satu helaan napas lelah terhela dari bibirnya. Saat ini Jenar berada di ruang inap karena semalam kondisinya menurun. Dan Gena selalu setia menungguinya. Lelaki itu tidak pulang ke rumah sejak semalam.

Tatapan Gena tak lepas dari wajah pucat itu. Ia bergumam pelan, “pasti berat buat kamu ya? Sama. Ini juga berat buat aku. Aku masih nggak nyangka Kakak semata wayangku pergi secepat ini.”

Kalau dipikir nasib mereka memang sama. Entah ini kebetulan atau memang sudah garis takdir, sejak pertama kali Jenar menceritakan tentang keluarganya di pantai Pangandaran waktu itu, Gena merasa kisah mereka begitu mirip. Sama-sama ditinggal orang tua, sama-sama tinggal dengan kakak, dan kini kakak mereka sama-sama meninggal pula.

Jemari Gena tergerak mengelus wajah cantik Jenar. Seketika debaran di dada Gena kembal hadir. Debar yang sama dengan yang ia rasakan di pantai pangandaran dulu.

“Nghh ....” Tiba-tiba Jenar mengerang, yang mana hal itu membuat Gena buru-buru memperbaiki posisi duduknya. Mata Jenar mengerjap-ngerjap hendak bangun.

Gena langsung berdiri dari dudukannya dan berlari keluar ruangan untuk memanggil suster—memberitahu bahwa Jenar sudah siuman.

Setelah memanggil suster, Gena kembali masuk ke ruangan Jenar. Akan tetapi, saat ia kembali ternyata sudah ada seorang dokter tampan yang tengah memeriksa kondisi Jenar. Jenar yang diperiksa itu pun menyadari kehadiran Gena. Gadis itu tampak terkejut melihat Gena berjalan masuk ke ruangannya.

“Lho, kamu semalaman di sini?” bingung Jenar.

Gena menjawab singkat, “ya,” lalu pandangannya beralih ke dokter tersebut. “Jadi gimana keadaan Jenar, dok?”

Hanif, dokter yang menjadi cinta pertama Jenar itu mengerutkan dahi menatap Gena. Ia toleh kembali Jenar, lantas bertanya, “dia siapa?”

Jenar menyahut, “Ah, ini adiknya Kak Astri, Mas.”

Mas? Gena memicingkan mata mendengar Jenar memanggil dokter itu dengan sapaan akrab.

“Dan Gena ... kenalin, ini Mas Hanif, kakaknya Hana,” Gantian, Jenar mengenalkan Hanif pada Gena.

Tiba-tiba Jenar merasakan aura yang tidak enak di antara mereka berdua. Terutama saat Gena menatap tajam sosok hanif layaknya menatap seorang rival.

1
Wirda Wati
😇😇😇😇😇😇
Wirda Wati
😭😭😭😭😭😭
Wirda Wati
semoga mereka bersatu
Nur Adam
lnjur
Wirda Wati
😂😂😂😂
Wirda Wati
nikah aja Jenar sama gena kan aman
Wirda Wati
cari baby siter aja....dan pembantu
Wirda Wati
🥰🥰🥰🥰
Wirda Wati
😂😂😂😂😂😂
Wirda Wati
senang dg ceritamu thort
Wirda Wati
semoga baik baik saja
Wirda Wati
😂😂😂😂
Wirda Wati
ya kamu juga sih ngomongnya sembarangan.
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
Wirda Wati
sebenarnya mereka serasiii...
Wirda Wati
cepat kali....
cinta atau obsesi
😇😇😇
Wirda Wati
cinta kilat namanya😂
Wirda Wati
semoga hubungan mereka berkelanjutan..
Wirda Wati
kereeen thort
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!