roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Suara kicauan burung terdengar begitu indah di pagi hari, diikuti oleh suara siulan yang dimainkan oleh Roni yang sedang asyik di dalam kamar mandi. Pagi ini, dia mengawali hari dengan keceriaan karena sudah bertekad untuk terus semangat mengejar mimpinya.
Setelah selesai mandi, dia sarapan, lalu berangkat ke kampusnya. Sementara itu, Mbak Maya masih tertidur pulas karena permainan panas yang dilakukan Roni tadi malam, membuatnya begitu kelelahan.
Seperti biasanya, Roni berjalan kaki dengan tas selempang yang selalu ia bawa saat ke kampus. Dalam perjalanan, ia menyapa setiap orang yang ditemuinya, termasuk teman-temannya di jalan. Kadang, dengan keisengannya, Roni melempar batu kecil ke arah dahi salah satu temannya, lalu berlari dikejar. Bukannya panik, Roni justru tertawa sambil mengejek mereka. Mungkin itu salah satu alasan mengapa Roni selalu ngos-ngosan saat sampai di gerbang kampusnya. Di atas gapura kampus, tertulis: Universitas Bina Bangsa.
"Akhirnya sampai juga," gumamnya sambil menghela napas, kemudian mulai berjalan santai dan menyapa mahasiswa-mahasiswi lainnya.
"Tit... tit..." suara klakson mobil menyapa langkah Roni yang fokus ke depan. Itu suara mobil milik Bobi yang selalu menyapa Roni saat berpapasan di jalan.
"Bagaimana kabarmu, Sobat?" tanya Bobi.
"Ya, seperti biasanya. Kalian sendiri bagaimana?" Roni balik bertanya kepada Bobi, Seli, dan Miya yang ada di dalam mobil.
Miya membuka pintu mobil lalu turun. "Kak, aku turun di sini aja. Kita hari ini satu kelas. Ayo, Roni!" ajak Miya. Sekarang Miya lebih berani menyapa Roni terlebih dahulu, tidak seperti hari-hari sebelumnya.
"Baiklah. Roni, gue titip adikku, ya," pesan Bobi sebelum melanjutkan memarkir mobilnya di tempat parkir.
Kini Miya bahkan berani menggandeng tangan Roni secara terbuka di depan para mahasiswa yang terus memperhatikan mereka sedari tadi. Bobi dan Miya memang selalu menjadi pusat perhatian setiap sampai di kampus, karena mereka begitu populer.
Tidak lama, mobil Jack datang setelah Bobi pergi. Ia membunyikan klakson untuk menyapa Miya.
"Pagi, cantik. Kamu apa kabar?" sapa Jack.
"Halo, Jack," bukannya Miya yang menyahut, melainkan Roni dengan ramah.
Jack menatap Roni, lalu pandangannya turun ke arah tangan mereka yang bergandengan. Melihat itu, Jack menjadi kesal.
"Sialan, pria ini lagi! Apa dia ada hubungan dengan Miya? Kenapa mereka selalu bersama, gandengan tangan lagi," gumam Jack kesal, lalu pergi.
Jack tidak punya keberanian untuk bertindak lebih jauh selama Bobi masih ada di kampus ini. Ia memilih bersabar menunggu Bobi lulus agar bisa lebih agresif mendekati Miya. Alasannya sederhana: Bobi dikenal dengan kelompoknya yang menguasai kampus.
Di kampus ini, mahasiswa rata-rata memiliki kelompok atau geng, dan geng Bobi adalah yang paling ditakuti. Sementara geng Jack berada di posisi kedua. Meskipun begitu, kelompok Jack sering membuat masalah dan keributan. Jika tidak ada geng Bobi, mungkin kampus ini sudah dikuasai geng Jack. Oleh sebab itu, Jack menunggu para anggota senior geng Bobi lulus terlebih dahulu sebelum bertindak.
"Kenapa kamu diam saja saat disapa olehnya?" tanya Roni kepada Miya, yang tadi tidak membalas sapaan Jack.
"Dia itu Jack, orang yang tidak disukai oleh Kakak karena selalu membuat onar di kampus. Jadi, jangan bergaul dengannya," jawab Miya sambil memperingatkan Roni.
"Tenang saja. Aku memang orang yang mudah bergaul, tapi aku juga tidak sembarangan mempercayai orang," jawab Roni sambil terus berjalan, masih dengan tangan digandeng Miya.
"Halo, tampan, kenalan dong. Hai, tampan..." sapa segerombolan mahasiswi ketika Roni dan Miya melewati mereka.
Roni hanya tersenyum sambil berkata, "Hai." Respons itu membuat Miya merasa cemburu.
Namun, karena Roni terus membalas sapaan setiap perempuan yang menyapanya, Miya menjadi tidak tahan dan bertindak lebih agresif.
"Kamu tidak perlu menyapa mereka balik!" ucap Miya sambil menggenggam sesuatu yang penting milik Roni. Hal itu membuat Roni langsung terdiam dan menatap Miya.
"Miya, kenapa kamu malah menyentuhnya di sini? Tolong jangan diulangi lagi. Kalau tidak, aku tidak bisa menahannya," pesan Roni memperingatkan.
"Makanya, jangan menyapa mereka. Apa kamu tidak sadar, setiap kali kamu membalas mereka, mereka jadi baper," jawab Miya dengan nada kesal.
"Tapi, mereka kan niatnya baik mau menyapa. Aku harus balas dong," kata Roni dengan polos.
"Iya, tapi tanpa kamu sadari, mereka jadi terobsesi sama kamu. Kamu itu tampan dan menarik, Roni. Astaga..." gumam Miya sambil menggelengkan kepala.
Inilah salah satu kekurangan Roni. Ia tidak menyadari betapa banyak perempuan yang tertarik padanya, sampai-sampai mereka menjadi terobsesi.
Contohnya, Miya. Awalnya ia perempuan yang kalem dan pendiam, tetapi kini ia menjadi lebih cemburuan dan bahkan berani secara terang-terangan menyentuh sesuatu milik Roni di depan orang ramai.
Mereka akhirnya sampai di kelas dan memilih tempat duduk kosong untuk mereka tempati.
Sementara itu, di tempat lain, yaitu di kampung, terlihat Reza dan keluarganya telah tiba di rumah keluarga Ayu. Tuan Hasan, ayah Ayu, menyambut kedatangan Reza dan ayahnya, Juragan Said.
"Silakan masuk, Tuan," sambut Tuan Hasan dengan ramah.
"Terima kasih, Pak Hasan. Bapak tahu kan alasan kami datang? Saya tidak bisa lagi menahan keinginan putra saya. Dia bercerita tentang putri Anda dan meminta saya untuk datang meminangnya. Namanya juga anak muda, tapi niatnya baik, jadi saya tidak bisa melarangnya," kata Juragan Said menjelaskan alasan kedatangannya.
"Saya sudah tahu maksud Juragan. Reza sudah memberitahu saya sebelumnya bahwa Anda akan datang. Saya senang sekali Anda berkunjung ke tempat kami," jawab Tuan Hasan dengan ramah.
"Bu, tolong panggil Ayu turun. Keluarga Reza sudah datang," pinta Tuan Hasan kepada istrinya.
"Baik, Pak. Tunggu sebentar ya, Juragan," jawab istrinya sambil naik ke atas untuk memanggil Ayu agar turun.
"Sayang... Nak, ayo keluar. Di bawah sudah ada Reza dan keluarganya. Ayo, Sayang," panggil ibunya dari luar kamar, karena pintu kamar Ayu terkunci dari dalam.
"Sudah berapa kali Ayu katakan kalau Ayu tidak mau menikah kecuali dengan Abang Roni," balas Ayu dari dalam kamar. Untungnya, suara itu tidak terdengar sampai ke bawah.
"Astaga, Sayang. Tidak apa-apa kamu menolak, tapi turun dulu ya, Nak. Gak enak, loh. Mereka sedang menunggu," bujuk ibunya sambil terus mengetuk pintu kamar.
"Bilang saja kalau Ayu lagi gak enak badan. Buat apa juga Ayu turun? Ibu saja yang turun," jawab Ayu, bersikeras tidak mau keluar.
Melihat situasi itu, Tuan Hasan merasa tidak enak melihat Juragan Said yang menunggu. Dia pun naik ke atas untuk membantu membujuk Ayu.
"Maaf, Juragan. Saya naik sebentar untuk memanggilnya dulu. Biasa, anak gadis saya pemalu. Harus dibujuk dulu. Tunggu sebentar ya, Juragan," kata Tuan Hasan.
"Silakan, Pak," jawab Juragan Said. Sementara itu, Reza merasa gelisah. Dia tahu Ayu pasti menolak, tapi dia tetap bertekad untuk terus berusaha mendapatkan Ayu bagaimanapun caranya.
Obsesinya terhadap Ayu begitu besar. Selain cantik dan lembut, Ayu adalah satu-satunya wanita dengan postur tubuh yang diidamkan para pemuda di kampung. Apalagi, Reza sudah berkali-kali membayangkan bisa meniduri Ayu, yang membuatnya semakin bersemangat untuk menjadikan Ayu sebagai istrinya.
Tuan Hasan naik ke atas dan mendapati istrinya masih berada di depan pintu kamar Ayu.
"Kenapa dia belum keluar juga?" tanya Tuan Hasan kepada istrinya.
"Bapak tahu sendiri Ayu bagaimana. Malah nanya lagi! Aku saja bingung bagaimana menghadapinya. Sana, kamu saja yang bujuk," jawab istrinya, putus asa.
"Anak ini... Ayu! Ada apa denganmu? Apa kau akan terus seperti ini mempermalukan bapakmu? Sudah berapa banyak pria yang kau tolak demi pemuda miskin itu? Jangan buat aku murka, Ayu! Cepat buka pintunya!" kata Tuan Hasan, sedikit emosi sambil mengetuk pintu.
"Sekeras apa pun Bapak memaksa, aku tidak akan mau! Kalau Bapak merasa aku mempermalukan Bapak, maka biarkan aku pergi. Aku akan menemui Abang Roni!" teriak Ayu dari dalam.
"Setidaknya kamu turun dulu temui mereka. Kamu ini membuat malu bapak saja!" kata Tuan Hasan. Namun, Ayu tetap bersikeras tidak turun dan akhirnya memilih diam.
"Ayu... Ayu..." panggil bapaknya lagi, tetapi tidak ada jawaban.
Dengan kepala pusing, Tuan Hasan kembali turun dan terpaksa membuat alasan kepada Juragan Said.
"Maaf, Juragan. Sepertinya anak gadis saya sedang tidak enak badan. Dia berpesan akan menemui Anda beberapa hari lagi. Jadi soal perjodohan putri saya dengan putra Anda tetap terlaksana. Maaf untuk hari ini," jelas Tuan Hasan.
"Baiklah, tidak apa-apa. Yang penting Anda sudah mengerti maksud saya. Setelah pertemuan saya dengan putri Anda, kita tentukan tanggal pernikahannya," ujar Juragan Said. Ia tidak mempermasalahkan Ayu tidak turun menemuinya hari ini.
"Baiklah kalau begitu. Saya masih banyak urusan, jadi saya akan datang lagi besok," pamit Juragan Said.
"Baik, Juragan. Sekali lagi, saya minta maaf untuk hari ini. Tapi tenang, soal perjodohan tetap berlangsung. Saya sangat bangga jika Reza menjadi menantu saya yang bisa menjadi suami yang baik bagi Ayu," kata Tuan Hasan.
"Bapak pulang saja duluan. Nanti Reza belakangan. Reza mau berbincang sebentar dengan Tuan Hasan," kata Reza.
"Baiklah, saya tinggal dulu ya, Tuan Hasan," pamit Juragan Said, lalu pergi.
"Pak, benar Ayu sedang tidak enak badan?" tanya Reza kepada Tuan Hasan.
"Bukan, itu cuma alasan agar tidak mengecewakan ayahmu. Kamu tahu sendiri Ayu itu seperti apa. Dia memikirkan pemuda miskin itu terus. Cobalah kamu bantu saya agar dia bisa menerimamu dan melupakan pemuda miskin itu," pinta Tuan Hasan.
"Baiklah, saya akan usahakan nanti, Pak. Saya benar-benar menginginkan putri Anda. Kalau saya bisa menikahinya, saya akan memberikan Anda banyak keringanan dalam bisnis Anda. Anda tahu sendiri kan soal kemampuan saya," kata Reza, meyakinkan Tuan Hasan agar mau melepas Ayu untuknya.
Sementara itu, kembali ke kota, terlihat semua mahasiswa dan mahasiswi begitu serius mendengar penjelasan dosen mereka. Sesekali mereka mencatat hal-hal penting yang dijelaskan.
Di situ, ada juga Roni dan Miya yang duduk bersebelahan, fokus mendengarkan materi yang dijelaskan.
"Roni, apa yang sedang kamu tulis? Sepertinya sebuah surat?" tanya Miya, memperhatikan Roni yang sibuk menulis sesuatu di luar materi pembahasan.
"Aku menulis surat untuk seseorang di kampung. Sudah lama dia tidak mendapat kabar dariku," jelas Roni.
"Begitu ya," balas Miya, tidak ingin bertanya lebih jauh. Dia belum tahu bahwa surat itu dibuat Roni untuk kekasihnya, Ayu, di kampung.
"Hai, kamu yang di sana! Dari tadi sibuk sendiri. Tolong jelaskan ulang apa yang tadi saya jelaskan," tunjuk sang dosen kepada Roni, yang sedari tadi terlihat sibuk sendiri.
Roni langsung berdiri dan dengan santai menjelaskan kembali materi yang tadi dijelaskan dosennya. Penjelasannya sangat tepat, bahkan lebih ringkas dan jelas, sehingga sang dosen memberinya jempol. Dosen tersebut tidak menyangka bahwa ada mahasiswa yang begitu pintar dan mampu menjelaskan materi dengan begitu baik, bahkan menambahkan beberapa contoh.
"Tolong sebutkan siapa namamu?" tanya sang dosen.
"Saya Roni, Pak," jawab Roni.
"Habis ini temui saya di kantor. Ada sesuatu yang penting untukmu," kata sang dosen.
Miya, yang duduk di samping Roni, merasa semakin terkesima. Apalagi, dosen yang dikenal pintar dan disiplin bisa dibuat takjub oleh Roni.
"Tampan, pintar, dan cerdas. Siapa yang tidak tertarik dengan Roni?" pikir Miya, yang memang sudah jatuh cinta, semakin berbunga-bunga.
Dalam perjalanan pulang, Roni mampir terlebih dahulu ke kantor pos untuk mengirim surat yang sudah dia buat untuk Ayu di kampung. Dia tidak lupa menambahkan dalam surat itu bahwa dia tadi mendapatkan hadiah khusus dari dosennya dan diminta menjadi murid khususnya.
"Semoga kau menerima dan membaca suratku, Ayu. Aku merindukanmu. Semoga kamu juga selalu baik-baik saja di sana. Kalau kita berjodoh, kita pasti bertemu. Tapi apakah kamu masih mau menunggu dan menerima pria kotor sepertiku?" ujar Roni dalam hati, sebelum berbalik pergi meninggalkan kantor pos setelah memberikan suratnya untuk dikirimkan ke alamat di kampung yang telah dia tulis.
Dalam perjalanan pulang, Roni menghadapi sedikit masalah. Beberapa mobil yang tidak dia kenal tiba-tiba menghadang jalannya. Orang-orang di dalam mobil itu mengelilinginya sambil tertawa, mengejek, dan mengatai Roni sebagai anak kampung yang tidak tahu malu.
"Lihat anak kampung itu! Sepertinya dia sedang ketakutan, haha... Ayo kita buat dia menderita agar menyadari dirinya yang hanya anak kampung yang tidak tahu malu," kata salah satu dari mereka.
Roni yang diprovokasi hanya diam dan sadar diri. Tapi itu bukan berarti dia hanya diam membiarkan mereka seenaknya.
"Walaupun saya anak kampung, saya tidak berperilaku memalukan seperti kalian yang hanya bisa menindas saya sebagai orang miskin," balas Roni dengan tenang.
Mereka mendengar perkataan Roni sambil tertawa. Setelah itu, mereka mulai melempari Roni dengan telur satu per satu, membuat seluruh pakaian dan wajah Roni kotor oleh pecahan telur yang mereka lemparkan.
Roni tidak mengenal mereka dan tidak tahu apa salahnya sampai mereka melakukan itu kepadanya. Dia berpikir mungkin itu hanya ulah orang-orang iseng saja. Oleh sebab itu, Roni hanya membalas mereka dengan senyuman dan membiarkan mereka pergi begitu saja.
Namun, perbuatan itu ternyata bukan semata-mata tanpa alasan. Tindakan tersebut adalah hasil perintah Jack, yang meminta gengnya untuk mempermalukan Roni.
"Bagus, Sobat. Biar dia tahu bahwa anak kampung jangan sok tampan di sini. Lihat saja, rekaman ini akan aku sebar besok biar semua siswa melihat dan menertawakannya," kata Jack sambil tersenyum puas ke arah ponselnya, yang berisi rekaman Roni dipermalukan oleh anggota gengnya tadi.
Sementara itu, Roni berjalan pelan di trotoar sambil membersihkan sisa telur yang mengotori pakaiannya. Dia sama sekali tidak marah, bahkan dia tampak biasa-biasa saja. Sebab, hinaan seperti ini sudah sering dia rasakan di kampung. Kalau di sini dia hanya menerima lemparan telur, sedangkan di kampung dia pernah dilempari lumpur bahkan batu yang bisa melukai tubuhnya.
Sering kali Roni pulang dengan wajah terluka, tapi dia tidak pernah mengeluh atau mengadu kepada siapa pun. Sebab, dia tidak punya tempat untuk mengadu. Dia hidup sebatang kara dan hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri.
Itulah sebabnya ketika dia bertemu dengan teman baik seperti Bobi dan Mbak Maya, Roni selalu merasa tidak enak dan sangat berterima kasih. Sudah lama dia tidak merasakan kebaikan seperti itu. Satu-satunya orang yang selalu menjadi penyemangatnya di kampung adalah Ayu.
Namun, bahkan Ayu sering mendapatkan omelan dari bapaknya karena mendekati dirinya yang miskin itu.