Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
nabil mau di wawancara
Setelah menyerahkan uang empat puluh juta kepada Bayu—sisa hasil penjualan mobil kesayangannya—Laras duduk sendirian di sudut sofa apartemen mereka. Semalam Bayu tak pulang. Tak ada kabar. Tak ada pesan.
Matahari pagi menyelinap dari celah tirai jendela, tapi sinarnya tak mampu menghangatkan tubuh Laras yang menggigil oleh kecewa dan kecemasan.
Ia memeluk lututnya, membenamkan wajah di sana. Demi gengsi Bayu, ia rela menjual mobil satu-satunya—mobil yang selama ini ia rawat sendiri, simbol kemandirian dan kebebasannya. Dan kini, mobil itu sudah tak ada. Ruko yang dibelinya demi menyelamatkan harga diri Bayu kini menyisakan uang empat puluh juta, yang juga sudah ia berikan… pada suaminya sendiri. Bukan karena diminta terang-terangan, tapi karena Laras tahu—jika ia tak memberi, maka ia akan kehilangan Bayu sepenuhnya.
Ia mencintai Bayu dengan cara yang diam-diam menyakitkan. Cinta yang berisi pengorbanan diam. Cinta yang membuatnya merasa harus terus memberi, karena takut ditinggalkan. Mungkin karena ia lebih tua sepuluh tahun. Mungkin karena ia lebih mapan. Tapi cinta yang timpang itu, pagi ini terasa seperti luka yang terbuka, menganga, dan tak henti berdarah.
Bayu tak mengabari apa pun sejak menerima uang itu. Laras mencoba menelepon. Sekali, dua kali, sepuluh kali—hingga akhirnya di panggilan ke-21, sambungan tersambung.
“Mas… kamu di mana?” suara Laras serak, menahan tangis yang sudah mengendap sejak malam.
“Aku di rumah ibu. Ibu lagi sakit,” jawab Bayu, datar.
Laras menelan ludah. “Aku mau kerja, Mas. Aku mau pakai mobilku…”
“Kamu naik taksi online aja,” sahut Bayu cepat, seolah urusan itu tak penting.
Laras terdiam. “Mas… aku nggak biasa naik kendaraan umum. Aku takut. Aku trauma…”
Bayu tertawa kecil, dingin. “Kamu itu udah tua, masih aja penakut. Lagian, supir taksi juga ogah kali ya sama kamu.”
Deg.
Ucapan itu seperti cambuk di dada Laras. Dua hal yang paling ia takutkan—tua dan tak menarik—dilontarkan begitu saja oleh orang yang ia sebut suami.
“Kenapa kamu nangis?” tanya Bayu, seolah tak paham luka yang baru saja ia gores.
“Enggak, Mas… Ya, aku memang sudah tua,” jawab Laras lirih. Suaranya pecah.
“Mas… jemput aku. Aku harus kerja…”
“Ibuku sakit! Aku mau bawa ibu ke rumah sakit! Kamu nggak peduli ya sama ibu aku?! Aku bisa ninggalin siapa pun demi ibu aku, termasuk kamu, Laras! Jangan pernah pikir kamu bisa gantikan ibu di hidupku!” bentaknya keras.
Klik.
Sambungan diputus. Tanpa ampun. Tanpa ruang untuk bicara.
Laras masih menggenggam ponselnya. Tangannya gemetar. Matanya memanas. Aku nggak peduli sama ibumu? Bukankah aku yang merenovasi rumah ibumu tahun lalu? Bukankah setiap bulan aku yang mengirim uang untuk kebutuhan beliau—bahkan lebih dari yang aku beri pada ibuku sendiri?
Tapi semua itu, ternyata… tak berarti apa-apa.
“Mentang-mentang aku 42 tahun dan Bayu baru 32, dia pikir dia bisa semena-mena?” batinnya pedih. Tapi Laras terlalu lelah untuk marah. Ia hanya bisa menangis—diam-diam. Seperti biasa.
Ia takut. Bukan takut pada Bayu. Tapi takut pada kemungkinan gagal. Takut pada cibiran orang-orang jika rumah tangganya hancur. Takut pada pertanyaan “Kok nggak bisa mempertahankan suami sih?” dari keluarga dan teman-temannya.
Padahal, ia yang selalu mengalah. Ia yang selalu memberi. Tapi kenapa ia juga yang selalu disakiti?
Tangisnya pecah. Perempuan sekuat apa pun bisa runtuh kalau cintanya hanya dipakai, bukan dijaga.
Laras memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menenangkan gemuruh dalam dada. Tapi tetap saja, kepalanya pening, napasnya sesak. Ia tidak punya pilihan. Ia tak mungkin naik kendaraan umum. Trauma lamanya masih menghantuinya—kejadian buruk belasan tahun lalu yang membuatnya takut naik kendaraan asing seorang diri.
Akhirnya, ia mengambil ponsel dan menelepon satu-satunya orang yang tak pernah pergi darinya.
“Bang… ada di mana?” suaranya pelan.
“Di rumah. Kenapa, Dik?” suara kakaknya, Lukman, terdengar tenang.
“Antar aku kerja, ya Bang…”
Hening sejenak. Lalu suara Lukman terdengar lebih serius, “Emangnya ke mana suami tercinta kamu itu?”
“Katanya ibunya sakit. Mobilku dia pakai buat nganter ibunya ke rumah sakit…”
Lukman tertawa pendek. Pahit. “Dia bohong, Laras. Paling juga lagi ngelayap atau sama cewek lain.”
Laras menahan napas. “Bang, tolong antar aku. Aku nggak punya pilihan lain…” ucapnya sambil terisak. Air matanya tak bisa ditahan lagi.
“Iya, iya. Abang ke sana sekarang. Kamu tunggu di dalam apartemen. Jangan ke mana-mana, ya.”
Sambungan terputus. Laras memeluk ponselnya. Di tengah semua luka, masih ada satu cinta yang tulus—cinta seorang kakak yang selalu menjadi pelindung, bahkan saat dunia terasa ambruk.
Berbeda dengan Bayu. Lelaki yang hanya datang saat butuh, dan menghilang saat Laras butuh sandaran.
Laras menatap langit-langit apartemen. Pandangannya kosong. Hidup yang dulu terasa indah kini seperti ruang asing tanpa dinding pengharapan. Ia menjual mobil, membeli ruko senilai 400 juta demi gengsi Bayu, dan menyerahkan sisa uangnya demi kelangsungan pernikahan mereka.
Tapi semua itu… seolah tak berarti apa-apa di mata Bayu.
Dan pagi itu, Laras tahu… yang lebih menyakitkan dari kehilangan harta benda adalah kehilangan harga diri di depan orang yang kita cintai.
Ponsel Laras berdering.
“Abang sudah di bawah,” suara Lukman terdengar dari seberang sana.
Laras segera berdiri. Senyum getir mengembang di wajahnya. Abangnya memang selalu ada untuknya. Pasti dia langsung meluncur begitu tahu Laras akan naik kendaraan umum. Dalam hati, Laras sempat berharap Bayu yang datang. Tapi ternyata, yang datang seperti biasa adalah Lukman—lelaki yang tak pernah lelah menjaganya, bahkan ketika semua orang menjauh.
Tanpa perlu diminta, Lukman mengambil tas Laras dari tangannya. Laras hanya membawa beberapa dokumen penting, sementara pikirannya masih dipenuhi bayangan semalam. Ia masuk ke mobil tanpa banyak bicara.
Mobil melaju perlahan. Tak seperti biasanya, suasana di antara mereka terasa canggung. Biasanya, Laras cerewet jika sudah bertemu sang kakak. Tapi kali ini, lidahnya kelu. Ia masih merasa bersalah karena sempat ingin menampar ibu mereka hanya karena sang ibu tak bersedia membantu membeli ruko. Saat itu, Lukman marah besar.
Namun sekeras apa pun kemarahan Lukman, jika Laras meminta tolong, dia tak pernah menolak.
“Bang, kenapa berhenti di sini?” tanya Laras pelan dari kursi penumpang.
Lukman tidak menjawab langsung. Ia menunjuk ke arah taman kota di sisi jalan. “Kamu lihat ke sana.”
Laras menoleh. Di tengah kerumunan ibu-ibu yang sedang senam pagi, matanya langsung tertumbuk pada satu sosok yang sangat ia kenal. “Itu… Ibu Sinta,” gumamnya pelan.
“Baguslah. Berarti matamu masih berfungsi,” sahut Lukman, nadanya dingin tapi tak bisa menyembunyikan amarah yang dipendam.
Tanpa menunggu reaksi Laras, Lukman kembali melajukan mobil. Suasana kembali sunyi, hanya suara mesin yang terdengar samar.
“Bayu bilang ibunya sakit, kan?” ucap Lukman kemudian. “Tapi nyatanya, ibunya sehat bugar, ikut senam pagi. Dia bohong, Laras. Lagi-lagi bohong.”
Laras menunduk. Matanya mulai basah. “Berarti Mas Bayu bohong lagi, Bang…” isaknya, tak tahan lagi.
Lukman menghela napas. “Dari awal, aku dan Ibu gak pernah setuju kamu nikah sama dia. Karena dia… dari dulu, pembohong.”
......
Pagi itu, Santi baru saja membuka pintu ruko kecilnya ketika sebuah mobil putih berhenti di depan. Di sisi pintu mobil tertera jelas logo stasiun televisi Inspiratif TV. Santi memicingkan mata, bingung. Dari dalam mobil, dua orang turun—seorang wanita muda membawa mikrofon, dan seorang pria mengangkat kamera besar di bahunya.
“Bu Santi?” sapa wanita itu ramah, mendekat sambil tersenyum.
Santi yang masih memegang nampan berisi kue baru matang, mengangguk pelan. “Iya, saya. Ada apa ya?” tanyanya waspada.
“Kami dari stasiun televisi Inspiratif TV. Nama saya Dian,” ucap wanita itu sambil menunjukkan ID pers. “Kami ingin mewawancarai Ibu dan anak Ibu—Nabil.”
Santi mengerutkan dahi. “Saya... tidak merasa melakukan hal aneh, kenapa saya dan anak saya mau diwawancarai?”
Dian tertawa kecil, sopan. “Justru karena keunikan itulah kami datang, Bu. Video tentang Nabil—yang bisa menebak hari dari tanggal dan tahun secara acak—sudah viral di media sosial. Banyak yang terinspirasi. Kami ingin mengangkat kisahnya, agar lebih banyak orang tahu.”
Santi terdiam. Ia menoleh ke dalam ruko, ke arah Nabil yang sedang duduk di sudut ruangan, menyusun puzzle angka sambil bersenandung pelan. Hatinya ragu. Nabil memang istimewa, tapi ia juga sangat sensitif dan belum terbiasa berinteraksi dengan banyak orang.
“Nabil itu anak yang pintar, tapi dia masih takut bergaul. Dunia sosial belum ramah untuknya,” ucap Santi pelan.
“Kami akan sangat hati-hati, Bu,” jawab Dian lembut. “Kalau Nabil belum siap, kami tidak akan memaksa.”
Santi menarik napas panjang. “Baiklah... tapi saya ingin Nabil diperlakukan sebagai anak biasa, bukan tontonan.”
mantap sekali bu laras..😘😘😘