Kisah bermula dari seorang mahasiswa yang tiba tiba batal menikah, penyebab batal, tunangannya memilih membatalkan pernikahan karena mencintai pria lain dan sudah berselingkuh lama dengan pria itu.
Walau hatinya hancur, sang mahasiswa mengijinkan tunangannya pergi dan tentu saja tunangan nya langsung pergi dengan laki laki barunya tanpa mengetahui kalau sebenarnya dia salah memilih dan salah mengambil keputusan.
Alasannya karena sang mahasiswa yang di hina bukanlah mahasiswa dan pemilik kafe biasa, dia memiliki rahasia yang tidak pernah terbayangkan siapapun di belakang layar.
Genre : Urban, fiksi, komedi, drama, healing, psikologi, ceo.
100% fiksi ya, murni hasil pemikiran author.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mobs Jinsei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Liam mengajak Luna dan Laura makan dulu di lantai atas, keduanya masih nampak sangat senang dan menggandeng lengan Liam sambil berjalan. Liam agak kesulitan karena dia membawa banyak kantung dari toko dan menggendong tas punggungnya,
“Um...bisa lepas dulu, susah nih jalannya,” ujar Liam.
“Enggak mau,” balas keduanya bersamaan.
“Haaah...aku memang sudah menganggap kalian keluarga, tapi peresmian di atas suratnya pelan pelan ya,” ujar Liam.
“Ngerti, kamu udah nganggep kita keluarga saja udah seneng,” ujar Luna.
“Hehe iya, seneng banget,” tambah Laura.
“Ok lah, yuk naik,” balas Liam.
Mereka naik menuju ke lantai lima, di sana ada beberapa restoran yang lumayan mewah dan tertutup dengan segala hidangan dari berbagai negara. Liam mengajak Luna dan Laura ke sebuah restoran steak yang sudah terkenal enak dengan harga yang lumayan mahal. Ketiganya berjalan menuju restoran, tapi tiba tiba langkah Liam terhenti,
“Kenapa ?” tanya Luna.
“Iya, kok berhenti mendadak ?” tanya Laura.
Liam menatap seorang petugas kebersihan yang memakai seragam mall dan topi sedang mengepel lantai. Luna dan Laura menoleh melihat ke arah yang di lihat oleh Liam, wajah mereka langsung berubah seketika karena mereka mengenal petugas kebersihan itu. Liam langsung melepaskan tangannya, dia melangkah maju ke depan menghampiri petugas kebersihan di depannya.
“James ?” tanya Liam.
Sang petugas kebersihan menoleh, matanya membulat seketika ketika melihat Liam berdiri di sebelahnya, kemudian dia melihat Luna dan Laura yang berada di belakang Liam, matanya kembali melihat Liam,
“Li...Liam ?” tanya James.
“Lo jadi petugas kebersihan ?” tanya Liam.
“Ya, sekarang ini hidup gue, tolong menyingkir, gue masih harus melakukan tugas gue,” jawab James.
James menunduk, dia menurunkan topinya untuk menutupi wajahnya dan melanjutkan mengepel lantai, dia memindahkan embernya dan terus maju masuk ke dalam gang toilet. Liam, Luna dan Laura melihat James yang sedang membungkuk mengepel dari belakang,
“Dia kerja di sini ?” tanya Luna.
“Sepertinya begitu,” jawab Liam.
“Dulu kayak pangeran...sekarang jadi petugas kebersihan,” tambah Laura.
“Yah, masih untung dia tidak di penjara seperti ayahnya, dia sudah menerima hukuman secara sosial, biarkan saja,” balas Liam.
“Iya, dia pantas jadi seperti itu dan seharusnya dia bersyukur masih ada kesempatan buat dia hidup bener,” tambah Luna.
“Dah yu, jangan di liatin mulu,” ajak Laura.
Ketiganya melangkah menuju ke restoran, sampai di pintu dan ketika mau masuk, seorang pelayan yang berjaga di depan mencegah mereka, matanya melihat Liam dari atas ke bawah kemudian ke atas lagi. Dia nampak meremehkan Liam yang memakai kemeja kotak kotak kebesaran, kacamata tebal dan jeans sobek,
“Maaf, apa kalian mau makan di sini ?” tanya sang pelayan.
“Iya benar, tolong siapkan ruangan vip untuk kita bertiga ya,” jawab Liam santai.
Mata sang pelayan kembali memindai Liam dan kali ini dia juga memindai Luna juga Laura di belakang Liam, senyum tipis meremehkan muncul di wajahnya,
“Maaf, harga makanan di sini, paling murah saja 500 dolar, gimana menurut anda ?” tanya sang pelayan meledek.
“Hmm ? aku sudah pernah kok makan di sini, tolong ya, siapkan uang vip untuk tiga orang,” balas Liam santai.
“Mohon maaf, mungkin pertanyaan saya agak kasar, tapi apa anda punya uang ?” tanya sang pelayan sambil melirik Liam dengan sebelah mata.
Liam tersentak kaget mendengar pertanyaan sang pelayan, Luna dan Laura juga memiliki reaksi yang sama, “haaaa,” Liam mengambil dompet nya dari kantung belakang celana. Dia menarik sebuah kartu kredit berwarna hitam dan bertuliskan emas, kemudian dia memberikan kartu itu kepada sang pelayan. Tentu saja sang pelayan mengambil kartu itu dari tangan Liam. Kemudian dia menatap kartu itu sampai memicingkan matanya dan kembali melihat Liam.
“Ini black card dari Remington Bank,” ujar sang pelayan kaget.
“Yap, jadi bisa tunjukkan ruang vip untuk kita bertiga ?” tanya Liam.
“Tu..tunggu sebentar,” balas sang pelayan.
Sang pelayan lari ke dalam meninggalkan Liam, Luna dan Laura yang saling menoleh melihat satu sama lain. Tak lama kemudian, sang pelayan datang bersama dengan seorang pria paruh baya berpakaian jas berwarna biru dengan dasi biru dan bertubuh kurus. Liam melihat name tag yang di pakai oleh sang pria paruh baya, “Manager Clive Werner.” Liam menatap Clive dan tersenyum,
“Jadi bisa tunjukkan ruangan vip nya ?” tanya Liam sambil membuka ikat rambut dan kacamatanya.
Wajah Clive langsung berubah dan menjadi merah, dia langsung menoleh melihat pelayan yang berdiri di sebelahnya dan memegang kepalanya, kemudian dia menunduk dan menekan kepala sang pelayan agar menunduk,
“Maafkan ketidaksopanan pelayan saya tuan Vargas, dia masih baru dan belum mengenal tuan,” ujar Clive.
“Iya, biasanya saya kemari sama ibu Monica dan bapak Robert, maaf kita belum buat reservasi,” ujar Liam.
“Tidak masalah tuan, mari silahkan, biar saya antar anda ke ruangan anda,” ujar Clive tersenyum.
Liam, Luna dan Laura masuk ke dalam mengikuti Clive yang menunjukkan ruangan mereka. Di dalam ruang vip, ada sebuah jendela besar yang tidak bisa di lihat dari luar dan sebuah jendela dengan view kota. Di tengah ruangan ada sebuah meja panjang dengan delapan kursi mengelilingi nya. “Plok...plok,” Clive menepuk tangannya, beberapa pelayan datang, mereka membawa meja yang lebih kecil kemudian menggotong meja besar keluar, mereka menempatkan tiga buah kursi, memasang taplak meja, menaruh bunga dan lilin dan peralatan makan berserta serbet nya.
“Um...pak Clive, kita hanya mau makan biasa saja kok namun tidak mau di ganggu orang lain,” ujar Liam.
“Tidak apa apa tuan, semua ini servis dari kita sebagai pemohohan maaf karena kesalahan di depan tadi, silahkan tuan,” ujar Clive sopan.
“Hmm ok deh,” balas Liam yang melangkah ke meja kemudian duduk dengan santai.
Liam menoleh melihat Luna dan Laura yang masih berdiri, dia melambaikan tangannya meminta keduanya duduk. Dengan perlahan keduanya melepaskan tas mereka dan duduk di kursi masing masing, keduanya terlihat grogi seperti merasa kalau mereka salah tempat,
“Mustinya kita makan di food court di bawah aja,” ujar Luna.
“Iya, di sini terlalu mewah...walau romantis,” tambah Laura.
“Loh gimana sih, aku ajak kalian kemari kan untuk mempertegas yang tadi kalian memeluk ku,” ujar Liam.
Luna dan Laura mengangkat kepala mereka melihat Liam di depan mereka, kemudian mereka tersenyum lebar,
“Ok, di mengerti,” ujar keduanya.
“Jedug,” tiba tiba terdengar suara dari kaca, ketiganya menoleh melihat, tongkat pel James mengenai kaca yang dari luar terlihat sebagai dinding. Liam menoleh melihat Luna,
“Gimana perasaan mu melihat dia ?” tanya Liam.
“Entahlah, ini perasaan baru, seperti lega, tenang, bebas dan damai menjadi satu, tapi tidak kosong,” jawab Luna tenang.
“Bagus, itu artinya kamu sudah move on,” ujar Liam.
“Tentu saja udah move on, sekarang kita bahagia, benar tidak kak Luna ?” tanya Laura.
“Iya, hanya saja aku merasa hidup itu lucu, waktu aku tahu dia selingkuh beberapa kali, aku merasa sangat hancur, merasa di khianati, merasa tidak berarti dan sedih, sampai aku merasa mati rasa dan tidak bisa merasakan apa apa, tapi sekarang aku sadar, kalau aku tidak bersama orang itu dulu, aku tidak sebahagia sekarang, jadi dia cuman pelajaran hidup buat ku,” ujar Luna menoleh melihat ke jendela sambil tersenyum.
“Yap, sama, aku pun merasakan hal yang sama ketika berhadapan dengan Grace tadi, padahal kalau boleh jujur, aku ingin merasa malah, sedih, benci dan bahkan cinta, tapi tadi yang ku rasakan hanyalah kosong, bersih dan seperti kalau kita bertemu dengan orang lain yang tidak ada artinya sama sekali,” balas Liam.
“Hehehe itu artinya kalian sudah move on kan, bagus dong,” ujar Laura sambil memegang tangan Liam dan Luna di sebelahnya.
“Haha benar,” balas Liam dan Luna.
Liam menjulurkan tangannya memegang tangan Luna yang langsung menyambutnya dan menggenggamnya, ketiganya menoleh melihat James yang terlihat sudah tidak punya ekspresi apa apa sedang mengepel lantai penuh konsentrasi tanpa bisa melihat mereka.
αყσ ƚɾιρʅҽ ʅ ʅαɳʝυƚƙαɳ...
ʂҽɱαɳɠαƚ υρ ɳყα ƚԋσɾ