Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Perawat bernama Tina itu acuh tak acuh, ia malas menjawab, hanya mengendikkan kedua bahunya.
Nirma bergegas menyelesaikan tugasnya, lalu berpamitan kepada pasien dan keluarganya, berjalan santai, begitu sampai di depan ruang rawat, langkahnya menjadi lebar, ia berlari kecil menuju bangunan bagian depan.
Dadanya begitu sesak mendengar tangisan melengking sang putra yang terus menggeliat di gendongan Wak Sarmi. Tanpa menghiraukan tatapan aneh beberapa rekan kerjanya, ia langsung menghampiri dua sosok beda usia itu.
“Sayang, sini sama Ibuk.” Nirma mengambil Kamal dalam gendongan jarik Wak Sarmi.
Bayi tampan itu semakin menangis kencang, seolah mengadu kalau ia sedang tidak enak badan.
“Maaf, Nirma. Uwak terpaksa bawa Kamal ke sini, tak lama setelah kau berangkat kerja, ia mulai menangis, badannya pun menjadi hangat,” adu Wak Sarmi, wajahnya terlihat letih bercampur cemas.
“Terima kasih banyak ya, Wak. Ayo kita bawa Kamal untuk diperiksa oleh dokter jaga!” Nirma sama sekali tidak mempermasalahkan kedatangan Wak Sarmi, ia sangat bersyukur sang pengasuh begitu tanggap.
Suara tangis Kamal sudah mulai mereda, tapi masih terdengar sedu sedan nya, bayi gempal itu menelusupkan kepalanya pada leher sang ibu, dagunya bertumpu dipundak wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Kelopak penuh air mata itu memandang sekitar, ia sama sekali tidak mengerti arti tatapan tajam menghujam dirinya.
Bisik-bisik sumbang terdengar saling bersahutan, membuat Nirma dan Wak Sarmi menghela napas panjang, mencoba tidak mempedulikan.
Nirma meletakkan sang putra di ranjang periksa, membungkuk mencium bertubi-tubi kening Kamal, berusaha menenangkan kala dokter tengah mengerjakan tugasnya.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Kamal demam disebabkan karena tumbuh gigi seri bagian bawah, gusinya memerah dan sedikit bengkak.
“Terima kasih banyak ya, Dok.” Nirma sedikit menunduk. Ia kembali menggendong Kamal.
“Sama-sama suster Nirma,” balas bu dokter dengan nada begitu ramah.
“Dek, sama Nenek dulu ya? Ibuk hendak menebus obat,” ucapnya lembut, tetapi langsung ditolak oleh Kamal dengan membenamkan wajahnya pada dada sang ibu.
“Biar Uwak saja yang mengambil, Nirma. Kau tenangkan Kamal saja! Sepertinya ia masih ingin didekap oleh ibunya.” Wak Sarmi mengelus sayang pucuk kepala Kamal. “Tak perlu, Uwak ada bawa uang, pakai ini saja dulu!” Ia mengeluarkan dompet yang disimpan pada saku baju kurung.
“Terima kasih, Uwak. Nanti cari kami di taman samping saja ya,” Nirma mengambil kain jarik yang tersampir pada pundak sosok paruh baya, kemudian ia menggendong Kamal dan berjalan ke arah taman.
.
.
“Ya ampun Dek, encesmu udah bisa buat nyiram bunga, Nak.” Nirma mengelap air liur Kamal menggunakan ujung kain jarik.
Seolah mengerti tengah dibicarakan ibunya, wajah Kamal kembali memerah, rautnya terlihat begitu sedih.
Nirma tertawa lirih, hatinya begitu hangat, ada rasa bangga yang tak bisa ditutupi. Dibalik ketidaksempurnaan sang buah hati, Kamal termasuk bayi cerdas dan baik budi.
“Ibuk tak marah, Sayang. Cuma bercanda saja.” Ia cium pipi kemerahan Kamal, tangannya menepuk bokong yang terbungkus kain jarik. “Abis minum obat, tidur ya Nak! Jam kerja Ibuk masih belum selesai.”
.
.
“Apa kalian tak pernah melihat anak yang fisiknya kurang sempurna?”
“Eh ….” Tina dan Dela begitu terkejut. Mereka menatap sungkan sosok yang memandang tajam.
“Kalian ini bukan lagi anak kecil yang bisa dimaklumi bila melihat temannya berbeda fisiknya, meskipun hal tersebut tetaplah tidak sopan.” Wak Sarmi masih belum memutuskan pandangan pada sosok yang diam-diam mengintip interaksi Nirma dan Kamal.
“Namun, bagi kalian yang sudah dewasa, lebih mirisnya lagi berprofesi sebagai tenaga medis, apa ya pantas menghujat bayi lemah itu?” Wak Sarmi menunjuk Kamal dalam gendongan ibunya.
Betapa malunya Tina dan Dela, mereka hanya bisa menunduk. “Maaf, Bu.”
“Mengapa meminta maaf kepada saya?” Wak Sarmi menunjuk dirinya sendiri. “Yang kalian katai bukan saya, tetapi Nirma beserta bayinya. Seharusnya kata itu kalian tujukan kepada mereka! Tapi, saya yakin … kalau tipe orang yang hanya berani berbicara buruk dibelakang, sesungguhnya nyalinya sangatlah kerdil. Pintar mencela kesalahan orang lain, tetapi enggan menilai diri sendiri. Sungguh tak terpuji.”
Wak Sarmi tidak memberikan kesempatan bagi kedua sosok itu membela diri, ia melengos pergi, menghampiri Nirma.
“Ima, ini obatnya! Sebaiknya diminumkan sekarang saja, nanti bila Kamal sudah tidur, langsung Uwak bawa pulang!”
“Terima kasih, Uwak.” Nirma yang sedari tadi berdiri, memilih duduk di pembatas semen yang melingkari pohon. “Anak pintar, minum obat dulu ya Sayang!”
Nirma memberikan Kamal ke Uwak Sarmi, agar dia bisa meminumkan obat.
Belum apa-apa, Kamal sudah kembali menangis, menggeliat mencoba terlepas dari gendongan sang nenek.
“Bismillahirrahmanirrahim.” Telapak tangan Nirma sedikit menekan pipi Kamal agar mulutnya terbuka, lalu meminumkan obat berbentuk sirup.
“Manis ‘kan? Macam tu kok ya berlakon layaknya mau di bedong saja Nak,” gerutu Wak Sarmi, yang langsung disahuti tawa oleh Nirma. Mereka kembali mengingat kala dulu Kamal tidak suka di bedong kain panjang.
Setelahnya, Nirma kembali menggendong Kamal, menimang bayi yang matanya mulai sayu. Tidak butuh waktu lama, sang buah hati sudah tertidur. Begitu pelan ia pindahkan ke dekapan Wak Sarmi, membantu mengikatkan kain jarik.
‘Maafkan Ibuk ya, Nak. Disaat dirimu lagi tak enak badan, seharusnya Ibuk selalu ada di dekatmu.’ Ia kecup lembut ubun-ubun sang anak, berulangkali mengucapkan terima kasih kepada Wak Sarmi.
Nirma masih berdiri menatap kosong pada sosok yang sudah hilang dari pandangan. Rasa bersalah kembali menghinggapi hatinya, ia merasa tidak berdaya oleh keadaan yang membelenggu serta tuntutan pekerjaan.
***
“Suster Nirma, saya perhatikan … semakin hari kinerja mu bertambah buruk saja. Masih jam kerja, bukannya menjalankan tugas, malah menimang anak. Apa kau menganggap kalau rumah sakit ini milik sendiri, sehingga bisa bertingkah laku sesuka hati, iya?!” tanya Nidia, istri dari pemilik rumah sakit.
“Astaghfirullah,” dalam hati, Nirma terus berusaha bersabar.
“Kalimat tuduhan Ibu, sama sekali tidak benar. Saya_”
“Sudah ketahuan pun masih berusaha berkilah. Kau kira saya tak punya mata dan telinga, iya? Berapa banyak orang yang membicarakan sikap sesuka hatimu itu. Tenaga medis lainnya sibuk menjalankan tugas, sedangkan dirimu asik bermain dengan putramu di taman samping rumah sakit ini. Masih juga ingin berkelit kah?” ia tatap nyalang wajah yang sedari tadi menunduk.
Nirma langsung mendongak, memandang muak sosok yang duduk angkuh di kursi singgasananya. “Anak saya datang untuk berobat, kami pun membayar biaya pengobatan itu, bukannya gratisan! Jadi, apa yang saya lakukan tadi sudah termasuk dalam tugas seorang perawat. Menenangkan pasien, mendampingi dokter kala memeriksa keadaannya, membantu minum obat. Lantas, bagian mana yang Ibu anggap bertindak semaunya sendiri?”
Wajah yang tadi begitu pongah, kini memerah menahan malu sekaligus emosi. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nirma berani membalas.
"Kau berani membantah saya? Sudah siapkah diberhentikan secara tidak hormat?!"
.
.
Bersambung.
Alhamdulillah, karya GAMALA ... yang kemarin di plagiat di KBM, sudah di hapus!
Terima kasih banyak ya Kak, bagi yang sudah membantu melaporkan, memberikan bintang buruk🙏❤️
Saya ingin menegaskan, bila karya saya hanya rilis di Novel toon. Cuma di sini saya nulis, nggak ada di platform lainnya🥰
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆