NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya

Pagi itu Nala duduk di pojok kantin, dengan satu earphone di telinga kiri dan tangan sibuk menyusun potongan video pendek. Dia bukan editor profesional, tapi punya rasa tajam untuk memilih bagian paling ‘ngena’ dari podcast mereka. Klip-klip itu akan segera tayang di akun Instagram Generasi Gagal Paham yang diam-diam mulai meledak di kalangan pelajar SMA lain.

“Lo tahu gak,” ujar Nala ke Dita yang baru datang dengan dua es teh manis, “video cuplikan podcast kemarin tuh, udah tembus 14 ribu views. Padahal baru semalam gue upload.”

Dita duduk, agak terkejut. “Loh serius? Gak nyangka ya... padahal awalnya kita cuma mau curhat.”

Nala tersenyum kecil. “Curhat yang ternyata banyak banget yang relate.”

Dia tahu betul, kekuatan internet itu luar biasa. Tapi dia juga sadar, kekuatan itu punya dua sisi. Di satu sisi, mereka bisa menyuarakan isi hati banyak orang yang sebelumnya tak terdengar. Di sisi lain, mereka bisa jadi target siapa pun yang merasa terusik oleh keberanian itu.

Nala bukan orang yang suka cari ribut. Tapi sejak kecil, ia punya prinsip: kalau lo gak bicara, lo akan ditelan diam-diam.

**

Salah satu DM masuk pagi itu adalah dari siswa SMA di luar kota:

> “Kak Nala, gua dikeluarin dari OSIS cuma karena ngelawan pendapat pembina. Podcast kakak bikin gua ngerasa gak sendiri. Makasih ya.”

Nala membaca itu berulang kali. Ada rasa hangat di dada, tapi juga tanggung jawab yang membesar. Ia membalas dengan sederhana:

> “Terima kasih sudah bertahan. Suara lo penting. Jangan berhenti bicara.”

Dan dengan itu, Nala membuka Notes-nya. Ia mulai mengetik:

---

Draft Naskah: “Pemberani Bukan Berarti Tanpa Takut”

> “Gue juga takut. Tiap kali post sesuatu yang mengkritik, ada bagian di hati gue yang gemetar. Tapi yang lebih gue takutin adalah, kita semua jadi terlalu nyaman dalam diam. Terlalu biasa dibungkam. Jadi... kalau lo ngerasa takut, itu normal. Tapi jangan biarin ketakutan itu jadi penjara.”

---

Dia tahu kata-kata itu bukan cuma untuk pengikutnya, tapi juga untuk dirinya sendiri.

**

Beberapa hari kemudian, akun podcast mereka di-mention oleh akun Instagram pendidikan terkenal. Caption-nya singkat:

> “Sebuah podcast berani dari pelajar SMA. Kritis, tajam, dan jujur.”

Itu seperti bahan bakar di tengah kelelahan. Nala, Dita, dan Raka saling kirim screenshot di grup WhatsApp. Suasana jadi meriah.

Tapi, seperti biasa, setiap lonceng popularitas akan membangunkan singa-singa konservatif.

Sore itu, Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Pak Hadi, memanggil Nala ke ruangannya.

“Ini tentang media sosial yang kamu kelola, Nala,” katanya sambil memutar layar laptop yang menampilkan klip podcast mereka.

“Ya, Pak,” jawab Nala, berusaha tenang.

“Kenapa kalian bahas hal-hal sensitif seperti sistem pendidikan dan ketidakadilan di sekolah? Itu bisa dianggap provokatif.”

Nala diam sebentar, lalu menjawab, “Karena itu kenyataan yang kami rasakan, Pak. Kami cuma ingin didengar.”

Pak Hadi menghela napas. “Tapi tidak semua hal harus diumbar ke publik. Sekolah ini punya reputasi.”

Nala menggigit bibirnya. Ia tahu kalimat itu akan muncul cepat atau lambat: “Reputasi.” Kata yang sering jadi alasan untuk membungkam.

Ia menunduk sejenak. Tapi dalam hatinya, justru sebuah keberanian baru tumbuh.

**

Di rumah malamnya, Nala menulis status anonim di Twitter alternatif-nya. Akunnya tak punya nama asli, tapi pengikutnya sudah ribuan.

> “Terkadang yang bikin capek bukan tekanan dari luar, tapi kesadaran bahwa keberanian kita dianggap gangguan, bukan kekuatan. Dunia dewasa itu lucu. Mereka ngajarin kita jujur, tapi marah kalau kejujuran kita menyakitkan.”

Cuitan itu viral. Ribuan likes. Ratusan retweet.

Beberapa guru dari sekolah lain bahkan ikut menyuarakan dukungan.

Salah satu komentar menohok:

> “Anak-anak seperti Nala bukan generasi gagal paham. Mereka generasi yang mulai paham terlalu cepat—dan itu yang menakutkan.”

**

Pagi harinya, Nala berjalan ke sekolah dengan telinga berdenging. Banyak tatapan. Ada yang simpati, ada yang sinis.

Tapi yang membuatnya sedikit tenang, adalah senyum Dita dan tepukan ringan dari Raka.

“Kita harus siap ya,” gumam Dita.

“Siap untuk apa?” tanya Nala, meski dia tahu jawabannya.

“Untuk semua yang datang setelah keberanian.”

**

Di kelas, Bu Sari tak banyak bicara. Tapi saat jam pelajaran hampir habis, dia berjalan ke arah Nala dan meletakkan selembar kertas kecil di mejanya.

> “Saya dengar podcast kalian. Kalian berani. Hati-hati ya, banyak yang tak suka dengan keberanian. Tapi saya bangga, meski saya tak bisa bilang itu keras-keras.”

Nala menatap tulisan tangan itu lama sekali. Mungkin itu bentuk dukungan paling jujur yang pernah dia dapat dari guru.

**

Malamnya, Nala merekam suaranya. Bukan untuk podcast, tapi untuk dirinya sendiri.

> “Ini catatan suara Nala, 17 tahun. Gue gak tahu apa yang akan terjadi minggu depan. Mungkin kami dipanggil ke ruang kepala sekolah. Mungkin podcast ini akan dilarang. Tapi gue cuma mau bilang, gue gak nyesel. Gak nyesel udah ngomong. Gak nyesel udah berani.”

> “Karena kalau gak ada yang mulai, gak akan pernah ada yang berubah.”

**

Dan malam itu, Nala upload video baru di akun IG mereka. Klip singkat. Satu menit. Potongan wajahnya disamarkan. Hanya suara, dan tulisan di layar:

> “Berani bukan berarti tanpa takut. Berani adalah tetap bicara, meski takut. Kalau lo juga merasa gagal paham, mungkin karena dunia ini belum cukup jujur.”

Video itu ditonton puluhan ribu kali dalam sehari.

Dan untuk pertama kalinya, akun mereka diserang.

> “Anak SMA sok tahu.”

> “Didikan siapa ini?”

> “Kalau sekolah gak cocok, minggir aja.”

Namun, bersamaan dengan itu, muncul pula suara-suara dukungan:

> “Lo mewakili ribuan dari kami.”

> “Podcast lo bikin gue ngerasa didengar.”

> “Lanjutkan, Nala. Suara lo penting.”

**

Dan malam itu, Nala menutup laptop-nya. Ia tidak menang, belum. Tapi ia juga belum kalah.

Ia hanya sedang berjalan di tengah jalan panjang yang bernama keberanian.

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!