Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antagonis Sesungguhnya
Tangisan Laura semakin menjadi, padahal dari sudut pandang Jelita, air matanya terasa seperti senjata. Air mata yang tahu kapan harus keluar dan kapan harus menjadi perisai.
Laura yang melihat itu malah semakin menangis, memohon, "Kak, jangan... tolong."
Willy melangkah maju, “Udah jelas dia nyakitin kamu, Laura. Gak usah kamu belain dia!”
Harry ikut-ikutan, “Iya. Gak usah kamu belain, benar kata Willy. Lagian si Mey itu emang nyebelin dari dulu! Selalu bully kamu, tapi kamu masih mau belain dia.”
Reza dan Raza juga terlihat hendak ikut memihak Verrel, tapi Jelita langsung memotong langkah mereka.
“Kalian mau kemana? Kalian berdua kalau ikut-ikutan, aku gak bakal ngobrol sama kalian lagi.” Suaranya tajam dan dingin.
Reza dan Raza langsung saling pandang, keringat dingin mengalir di pelipis mereka.
“Eh, yaudah-yaudah,” gumam Reza sambil mundur.
“Kita mundur aja, Rez. Jelita mode singa.” bisik Raza panik.
Jelita berbalik menatap Verrel. Matanya menusuk seperti belati.
“Lepasin gak tangan kamu dari Mey, Verrel Jatmiko,” tegasnya, dengan penekanan di nama lengkap Verrel.
Semua yang mendengar itu refleks menahan napas. Bahkan Meyriska yang masih menahan sakit pun mendadak diam, hanya mampu menatap Jelita dengan pandangan penuh harap.
Namun Verrel membalas dengan tatapan dingin. “Gak usah ikut campur urusanku, Jelita.”
Jelita menaikkan alisnya. “Sudah kubilang, lepasin tanganmu. Ini peringatan kedua.”
“Halah, gak usah sok bela-bela sahabat kamu itu. Mey itu sudah salah, udah ngebully Laura sampai jatuh! Jangan mentang-mentang kamu sahabat kang bully, kamu bela terus.” timpal Willy.
Jelita langsung menoleh tajam ke arah Willy. Langkahnya perlahan namun pasti menuju pria itu.
Willy mulai gelagapan, langkahnya mundur hingga punggungnya menyentuh tembok.
“Mau... mau apa kamu, Lita? Aku bener kok ngomongnya... Jangan mendekat, Lit. Aku masih perjaka loh!”
Jelita berhenti tepat di depannya.
Lalu,
BREEK!
Kakinya menginjak kaki Willy dengan keras.
“Aaaakh!!” Willy mengerang, tapi buru-buru menahan suara.
“Berhenti ngomong kosong. Kamu baru dateng, gak tau apa-apa. Kalau ngomong asal lagi, mulut kamu bakal aku sobek.”
Suaranya dingin. Tegas. Tak terbantahkan.
Willy mengangguk cepat, ketakutan. “I-iya.”
Tiba-tiba...
"Aaaaakhhh!!"
Meyriska kembali menjerit. Cengkeraman Verrel semakin kuat.
Jelita langsung menoleh, wajahnya merah padam.
“Dasar cowok brengsek!” bentaknya. “Udah aku kasih tahu, LEPASIN TANGAN KAMU DARI MEYRISKA!”
Dengan langkah lebar, Jelita mendekat dan—
DUG!!
Menendang punggung Verrel sekuat tenaga hingga Verrel terlempar ke depan dan jatuh tersungkur.
Semua siswa menahan napas.
Verrel berusaha bangun, tapi tak sempat. Jelita sudah di depannya.
“Aku udah peringatkan dua kali. Tapi kamu masih nekat. Kalau memang udah gak mau sama Mey, PUTUSIN. Jangan bikin anak orang menderita!!”
Dan tanpa menunggu reaksi,
BUG!
"Lagipula, kamu gak tau yang sebenarnya terjadi!"
BUG!
"Dasar, kamu buta. Baru datang asal nyambat!"
BUG!
Jelita meninju wajah Verrel bertubi-tubi, darah mulai menetes dari bibir dan hidung cowok itu. Pukulan terakhir menghantam matanya.
“Lita, cukup.” lirih Verrel, namun Jelita tak mendengarnya.
Setelah Jelita puas, ia kembali berdiri dengan gagah dan meniup poni nya yang kini basah oleh keringat.
Para siswa di sekitar mulai menangis, saling berpelukan ketakutan.
Reza dan Raza mencoba maju, "Dek, sabar dek, berhenti."
Namun...
“DIAM GAK KALIAN BERDUA?!” bentak Jelita sambil menunjuk dan menatap tajam si kembar.
Mereka langsung mengangguk, mundur dan tak berani berkata apa pun lagi.
"Bikin tambah emosi saja!" dumel Jelita.
Meyriska kini ditenangkan oleh Tiara dan Dara.
Verrel terkapar di lantai, tubuhnya gemetar.
Tapi belum selesai.
Jelita menatap Laura yang masih terduduk di lantai sambil gemetaran.
Langkah kakinya menghantam lantai, satu per satu. Suara hak sepatunya bergema, mendekat.
“Ja... jangan, Lita.” kata Verrel lirih, panik. Tapi tubuhnya tak mampu bangun.
Laura mendongak, menangis. “Mau, mau apa kamu, Lita?”
Jelita menyeringai.
Tangannya langsung menarik rambut Laura hingga kepala gadis itu mendongak paksa.
“Katakan yang sebenarnya pada semua orang. Sekarang.”
“A-a-aku... aku...” Laura terbata-bata.
“AKU AKU, AKU APA, HAH?!” Jelita membentak. “Karena kamu cuma tau bicara kata 'aku,' sekarang aku bakal tunjukin kalian semua apa itu arti sebenarnya dari bully.”
“Mey, Tiara, Dara. Kalian lihat baik-baik. Ini yang dinamakan bully.”
Dan...
PLAK!
"Teh hijau menyebalkan."
PLAK!
"Padahal kamu berlari kencang tadi, dan ingin menabrak Mey."
PLAK!
"Mey sudah aku peluk, kamu malah jatuh sendiri."
PLAK!!
"Malah menangis mencari simpati,"
PLAK!!
"Padahal kita gak ngapa-ngapain, disangka bully."
Tangan Jelita menghantam pipi Laura berkali-kali. Bekas telapak tangannya membekas jelas, dan darah mengalir dari hidung Laura.
Laura menjerit, tapi tak bisa lari.
Akhirnya, Jelita menarik rambut Laura sekali lagi dan...
BRUK!
Melemparkannya ke lantai.
Semua diam. Tak ada yang berani bergerak.
Laura terisak di lantai dengan pipi merah membara dan darah menetes dari hidungnya. Tangisannya makin Keras, namun tak satu pun berani menghampiri. Semuanya hanya bisa menatap dengan ngeri. Mata Jelita masih menyala seperti bara api yang tak padam. Dia melangkah pelan ke arah Laura, aura gelap menguar dari tubuhnya.
"Ini... peringatan pertama ku padamu, Laura."
Suara Jelita terdengar dingin, tajam seperti pisau yang menusuk tulang. Telunjuknya mengarah lurus ke wajah Laura yang pucat ketakutan. "Kalau aku lihat kamu melakukan hal itu lagi, apalagi dengan sengaja, habis kamu."
Laura menelan ludah, tubuhnya bergetar hebat. Tatapan Jelita seperti maut yang siap mencabut nyawa kapan saja.
"Aku bisa lebih sadis dari ini. Tamparan? Itu belum seberapa. Sekali tinju dariku, tulangmu bisa remuk. Jangan paksa aku untuk membuatmu benar-benar cacat atau lebih parah lagi, mati."
Kata 'mati' itu keluar dengan nada setenang air dan sedingin es.
Hening. Semua siswa menahan napas. Suasana terasa seperti di ujung tanduk. Bahkan suara cicak pun tak terdengar.
Kalian pernah dengar suara cicak belum guys?
"Uh, Jelita. Dia cantik tapi juga galak. Dia iblis yang menyamar jadi manusia." bisik batin salah satu siswa sambil bergidik.
"Dulu kupikir Jelita hanya cewek ceria, terus jadi pendiam yang galak sedikit. Tapi sekarang, dia bisa saja jadi tokoh film laga atau pemimpin geng bawah tanah. Atau jadi tokoh Antagonis yang sesungguhnya." ucap Reza yang sedang menatap adiknya, antara bangga dan ngeri.
"Kalian pikir karena aku diam selama ini, kalian terlalu santai. Jangan pernah remehkan aku." ucap Jelita dalam hati sambil menatap sekitar dengan tatapan dingin yang membuat siapapun yang bersentuhan pandang dengan matanya, langsung menunduk.
Setelah puas mengintimidasi, Jelita perlahan menghampiri sahabatnya.
Dukung karya ini dengan like, komen, dan berikan rating ya. Jangan lupa vote juga. Ditunggu.
gak rela rasanya harus terpisah sama kak jordi nya 🥺