Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.
Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.
"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."
Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Rahang Kai mengatup erat saat mendengar suara Eka memanggilnya, "Patkai."
Julukan itu menghantam egonya seperti pukulan telak. Patkai—tokoh dalam legenda Sun Wukong, makhluk setengah manusia setengah babi yang rakus, malas, dan sering tenggelam dalam godaan duniawi.
Bagi seorang pria seperti Kai, yang terbiasa dihormati dan ditakuti, dihina seperti itu jelas bukan sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja.
Tatapan matanya menggelap. Sorotnya tajam, penuh perhitungan, seperti macan yang baru saja disulut amarahnya. Rendi, yang masih fokus pada kemudi, tampak berusaha menahan tawa, tapi Kai bisa melihat bahu pria itu sedikit bergetar.
Itu membuatnya semakin geram.
"Ulangi," kata Kai, suaranya dalam dan berbahaya.
Eka mendengus, kepalanya sedikit menoleh ke arahnya, tapi tak benar-benar menatap. Ada letih yang menggantung di matanya, tetapi juga nyala api yang belum padam.
"Apa? Telingamu bermasalah?" suara Eka terdengar tajam, meski samar-samar bergetar. Sisa emosi dari pertemuannya dengan Adit dan Nadin masih mengendap di hatinya.
Kai menghela napas panjang. Namun, tak ada kesabaran di sana—hanya kontrol yang nyaris lepas.
"Berani sekali kamu," katanya, dingin. "Masuk."
Eka diam sejenak sebelum akhirnya benar-benar menatapnya. Ada kemarahan di sana. Kebencian. Kekecewaan.
"Apa lagi sekarang?" suaranya melemah, tapi tetap menusuk. "Apa kamu sudah membuat keputusan untuk menikah denganku? Kalau iya, aku akan masuk. Kalau tidak, kita bicarakan nanti. Aku sudah cukup lelah."
Kai tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Eka—lama, tajam, seolah sedang menelanjangi setiap lapisan pertahanan yang wanita itu coba pertahankan.
Lalu, tiba-tiba saja, ia membuka pintu mobilnya dan turun.
Tanpa aba-aba, tangannya terulur, mencengkeram pergelangan tangan Eka dengan kuat hingga tubuh wanita itu sedikit tersentak ke depan.
"Patkai! Lepas—"
"Masuk," potong pria itu, dingin.
Eka menatapnya, rahangnya mengeras. "Tidak. Sebelum kamu jawab."
Kai mendekat, berdiri begitu dekat hingga Eka bisa merasakan panas tubuhnya. Suaranya turun menjadi bisikan yang mengandung ancaman terselubung.
"Kamu berani sekali memanggilku Patkai?" katanya, matanya menelusuri wajah Eka dengan penuh penghinaan. "Untuk menikah dengan babi sepertiku, kamu harus punya sesuatu yang menarik dalam dirimu. Tapi lihat..." matanya bergerak menelusuri sosok wanita itu dari ujung kepala hingga kaki. "Dari ujung rambut sampai kaki, aku tidak melihat satu pun yang menonjol."
Kata-katanya tajam, menusuk seperti pisau yang mengiris perlahan-lahan.
Eka mengepalkan tangan. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin berteriak, menangis, atau mungkin tertawa pahit. Tapi yang keluar dari bibirnya hanyalah satu kalimat pelan yang begitu lirih.
"Kalau begitu... kenapa kamu masih di sini?"
Kai membeku. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak bisa langsung menjawab.
Eka masih menatap Kai dengan sorot mata penuh kebencian, dadanya naik turun menahan emosi. Tapi sebelum ia sempat melangkah mundur lagi, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Dalam satu gerakan cepat, Kai meraih pinggangnya dan mengangkat tubuhnya dengan mudah.
"Hei! Apa yang kamu—"
Kata-kata Eka terputus ketika ia merasakan tubuhnya terangkat dari tanah. Tangannya secara refleks mencengkeram bahu pria itu, matanya melebar karena terkejut.
Kai tidak memberi kesempatan untuk melawan. Dengan langkah tenang namun pasti, ia membawa Eka ke mobil dan membukakan pintu dengan satu tangan, lalu mendudukkan wanita itu di kursi penumpang dengan mulus.
"Diam." Suaranya datar, tapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Eka sulit menolak.
Kai menunduk, kedua tangannya bertumpu di sisi Eka, membuat wanita itu terkurung dalam jarak yang begitu dekat. Matanya menelusuri wajahnya, dari mata yang masih menyala karena marah hingga bibirnya yang sedikit bergetar.
Eka menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Kenapa perasan jatuh cinta yang pernah ia alami bersama Adit kini muncul setelah mendapatkan perlakuan dadakan seperti ini dari Kai?
"Apaan sih, aku bisa masuk sendiri kalau kamu jawab pertanyaanku," gumamnya, suaranya lebih lemah dari yang ia harapkan.
Kai tidak langsung menjawab. Sebaliknya, pria itu mengulurkan tangan, ibu jarinya menyentuh sudut bibir Eka dengan gerakan lambat, seolah meneliti sesuatu.
"Kamu keras kepala," bisiknya. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja."
Eka menahan napas. Ia bisa mencium aroma parfum Kai yang khas, hangat dan sedikit maskulin. Posisinya terlalu dekat, terlalu berbahaya.
Kai menyeringai tipis, seolah menikmati kebisuan Eka yang jarang terjadi. "Kali ini, kamu menurut saja."
Sebelum Eka sempat membalas, pintu mobil tertutup, mengurungnya bersama pria yang baru saja membuat dunianya berantakan.
"Jalan," perintah Kai pada Rendi.
Mobil melaju, menyusuri aspal hitam di tengah gelapnya malam, hanya ditemani kelap-kelip lampu kota dan bintang yang bertaburan di langit. Suasana di dalam mobil begitu sunyi dan tegang.
Eka, yang tidak pernah tahan berada dalam keheningan seperti ini, akhirnya membuka suara.
"Kita mau ke mana?" tanyanya, nada suaranya penuh kecurigaan.
"Mencari kitab suci," jawab Kai santai.
Rendi, yang sedari tadi tegang dan fokus mengemudi, tak kuasa menahan tawa. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa bosnya bisa bercanda. Namun, tawa itu segera lenyap saat suara Kai kembali terdengar, lebih dingin dan tajam.
"Sepertinya dokter di rumah sakit banyak yang menganggur, jika mulutmu tidak bisa diam, aku tidak akan segan menyuruh mereka menjahitnya."
Rendi langsung diam, meneguk ludah dengan gugup. "Maaf, Pak."
"Otoriter sekali. Lagian, apa salahnya tertawa? Di negara ini belum ada peraturan yang melarang orang tertawa," sahut Eka dengan nada sinis.
Kai menatap Eka, matanya tajam, dingin, dan penuh tekanan. "Selama ini, selain ibuku, tidak ada yang berani melawan aku. Tapi kamu… sepertinya punya nyali yang cukup besar."
"Kenapa harus takut?" balas Eka, matanya menantang.
Kai mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat, suaranya turun menjadi bisikan yang berbahaya. "Kamu tahu siapa aku?"
Eka terdiam. Kata-kata Ita tentang Kai berputar kembali di kepalanya. Saat itu juga, ia sadar bahwa dirinya telah melangkah terlalu jauh ke dalam masalah yang besar.
Matanya melebar seketika.
"Takut?" tanya Kai, bibirnya melengkung tipis, melihat perubahan ekspresi wanita itu.
Namun, Eka tahu, sudah tidak ada jalan untuk mundur. Ia sudah kehilangan segalanya. Dan jika ia harus hancur di tangan Kai, maka biarlah begitu, anggap saja ia benar-benar sial dalam hidup ini.
Perlahan, Eka menghembuskan napas, menegakkan tubuhnya, senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya, penuh tantangan, penuh godaan.
"Sama calon suami sendiri, kenapa harus takut?" bisiknya lembut, matanya menatap Kai dengan penuh arti. "Lagi pula… aku sudah menaklukkanmu di atas ranjang, kan?"
Keheningan menyelimuti mereka. Namun, bukan lagi keheningan yang dingin, melainkan sesuatu yang lebih berbahaya—lebih membakar.
Seketika, hawa dalam mobil terasa lebih pekat.
Kai menatapnya lama, matanya menyipit, seolah sedang menilai apakah wanita ini benar-benar berani atau hanya ingin bermain api. Rahangnya mengencang, napasnya sedikit lebih dalam dari biasanya.
Lalu, tanpa peringatan, Kai bergerak. Dengan gerakan tegas, ia meraih tengkuk Eka, menariknya mendekat dalam satu tarikan kuat.
"Deklarasi yang menarik," gumamnya rendah, tepat sebelum bibirnya menabrak bibir Eka.
Ciuman itu bukan lembut, bukan juga sekadar unjuk kekuasaan. Itu adalah peringatan.
Eka tersentak, matanya melebar sesaat sebelum akhirnya ia terhanyut dalam sensasi panas yang begitu mendominasi.
Kai mencengkeram tengkuknya erat, seakan menegaskan bahwa tidak ada jalan mundur. Ia menekan lebih dalam, menuntut respons, dan ketika Eka tanpa sadar mencengkeram kerah bajunya, Kai tahu wanita itu tidak akan lari ke mana-mana.