Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 13 Lana Yang Sendiri
"Kamu yakin?" Lana menatap motor sport hitam yang ditunggangi Sakha, matanya memancarkan keraguan.
"Sudah minta izin Nenek?"
Sakha hanya mengangguk mantap, senyumnya nampak percaya diri.
Wajah Lana masih dipenuhi keraguan, alisnya bertaut.
Sakha terkekeh melihat ekspresi khawatir Lana.
"Iya, Nenek sudah kasih lampu hijau. Aman sentosa!"
"Memangnya kamu bisa naik motor?" tanya Lana, matanya menyelidik.
"Ya Tuhan, Lana! Aku sudah bisa mengendarai motor sejak SMP, bahkan nyetir mobil pun jago. Tapi, Nenek selalu khawatir kalau aku naik motor, makanya dia melarang," jelas Sakha, suaranya sedikit kesal.
Lana mengangguk-anggukkan kepala, masih ragu.
"Sudah, cepat naik!" Sakha menarik Lana mendekat, lalu memasangkan helm di kepala gadis itu. "Pas kan helmnya? Nggak kekecilan, kan?"
"Hmm," gumam Lana, mengangguk kecil.
Sakha menyuruh Lana naik motor. Dengan ragu, Lana menurut, duduk di belakang pemuda itu.
"Pegangan," perintah Sakha, suaranya tegas.
"Iya," jawab Lana, tangannya mencengkeram ujung kemeja Sakha, takut-takut.
Sakha menghela napas panjang. Ia meraih lengan Lana, menariknya hingga melingkar di perutnya.
"SAKHA! Jangan cari kesempatan!" pekik Lana, wajahnya memerah.
"Sudah diam! Aku cuma takut kamu jatuh!" seru Sakha.
Lana menarik tangannya, kembali mencengkeram kemeja pemuda itu.
"Pegangan yang kuat ya, aku nggak mau kamu jatuh," ucap Sakha, suaranya melembut.
"Hati-hati bawa motornya!" Lana menepuk bahu Sakha.
"Siap" seru Sakha, mengacungkan jempolnya, lalu menyalakan mesin motor.
...-----------...
"Terima kasih tumpangannya, ya. Salam untuk Nenek," ucap Lana, turun dari motor Sakha dan mengembalikan helm pemuda itu dengan senyum tipis.
"Nggak minta aku mampir, nih?" sindir Sakha.
Lana memicingkan mata, menimbang-nimbang.
"Hmm... ya sudah, mampir sini. Aku buatkan es jeruk deh sebelum kamu pulang," cetusnya, lalu berbalik menuju rumahnya.
"Yes!" sorak Sakha, melompat turun dari motor dan mengikuti Lana.
Halaman rumah Lana ternyata cukup luas dan asri, dihiasi pohon-pohon rindang yang meneduhkan, aneka bunga warna-warni yang menari-nari ditiup angin, dan apotek hidup yang berjejer rapi. Rumahnya pun terlihat cukup besar, meski tak semewah kediaman Sakha. Desain minimalis modern dengan sentuhan kayu dan beton, serta perpaduan warna abu-abu, cokelat muda, dan putih, menciptakan kesan elegan yang hangat dan bersahaja.
Sakha mengamati sekeliling, menebak-nebak kepribadian pemilik rumah. Pasti orang tua Lana menyukai ketenangan, keteraturan, dan kebersihan. Desain rumah minimalis ini mencerminkan estetika yang sederhana namun nyaman, seperti halnya Lana sendiri. Gadis itu selalu tampil apa adanya, bersikap dan bertutur kata secukupnya. Ia tak pernah latah mengikuti tren yang sedang viral, karena tahu semua itu hanya sementara. Lana lebih memilih melakukan hal-hal yang bermanfaat, untuk dirinya dan orang lain.
"Kamu duduk dulu di sini, ya. Aku buatkan minum sebentar," kata Lana, menunjuk kursi santai di teras depan. Lalu, ia menghilang di balik pintu, meninggalkan Sakha dengan rasa penasaran yang menggelitik.
Tak lama, Lana kembali dengan dua gelas es jeruk di tangannya. Ia menyodorkan satu gelas pada Sakha, yang langsung diseruput habis oleh pemuda itu.
"Mama kamu masih di luar kota?" tanya Sakha, setelah meneguk hampir separuh es jeruk.
Lana tampak berpikir sejenak, sebelum mengangguk pelan.
"Orang tua kamu sering keluar kota, ya? Apa mereka nggak cemas meninggalkan kamu sendiri?" tanya Sakha, alisnya berkerut.
"A... Ayah dan Bunda... sudah..." Lana menggantung kalimatnya, ragu-ragu. "Berpisah," lanjutnya, suaranya pelan.
"Maksud kamu... bercerai?" tanya Sakha, terkejut.
Lana mengangguk, matanya menatap kosong ke kejauhan. "Dan mereka tinggal di luar kota," tambahnya.
"Maaf," ucap Sakha, merasa tidak enak.
"Jangan khawatir, aku masih suka bertemu Ayah, saat libur sekolah atau hari raya.” jelas gadis itu menenangkan.
Sakha spontan terdiam.
Keheningan menyelimuti mereka, hanya suara angin yang sesekali berdesir.
"Kalau kamu merasa kesepian, aku dan Nenek dengan tangan terbuka akan selalu menyambut kamu di rumah," ucap Sakha, suaranya tulus.
Lana mencerna kata-kata pemuda itu, matanya sedikit berkaca-kaca. Perlahan, senyum tipis merekah di bibirnya. Senyum yang menyimpan sejuta rasa terima kasih.
...----------------...
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri