Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Terbiasa
"Baik, Kak Zid. Aku akan turun." Ayana segera merapihkan apa yang sedang menjadi aktivitasnya kala itu.
Dengan bergerak cepat, Ayana sedikit berlari menuruni anak tangga, karena ia tidak ingin membuat Ibu Mertuanya terlalu lama menunggunya.
Sesampainya dilantai bawah, Ia melihat Zidan telah bersama dengan Bu Fatimah sedang berada dimeja makan.
"Ayana, mengapa kamu turunnya lama sekali, Nak? Apakah ada yang sedang kamu kerjakan?" Tanya Bu Fatimah yang telah duduk manis didepan meja makan.
Ayana berjalan mendekati meja makan, dan ia segera duduk disamping Bu Fatimah.
"Maafkan Ayana, Bu. Ayana belum merasa lapar. Jadi, Ayana pikir nanti-nanti saja Ayana sarapannya." Jawab Ayanan dengan menunduk, ia takut membuat kecewa sang Ibu Mertua.
Bu Fatimah menghela napas panjangnya.
"Ayana, sarapan itu tidak harus menunggu lapar. Isilah perut sedikit saja walau hanya beberapa suap atau bahkan segigit roti saja. Supaya perut kita tetap aman dari penyakit lambung." Jelas Bu Fatimah dengan mengusap lembut jemari tangan milik Ayana.
Ayana tersenyum kepada Bu Fatimah.
"Ya sudah, mari kita sarapan. Jangan ditunda-tunda ya." Imbuh Bu Fatimah kembali.
"Baik, Bu." Jawab Ayana.
"Dengarkan ucapan Ibu ya. Jadi, kalau sudah waktunya sarapan, kamu langsung turun saja tanpa harus aku memanggil kamu keatas!" Tegas Zidan menambahkan kepada Ayana.
Ayana melirik kearah Zidan dengan pandangan yang tidak mengenakan.
Zidan segera membuang mukanya, ia masih terlihat canggung terhadap Ayana.
(Ih, Kak Zidan menyebalkan sekali!)
***
"Ya Allah, hari ini lelah sekali." Ucap lirih Zidan ketika dirinya baru saja pulang dari Kampus dimana tempat ia mengajar.
Ia menyandarkan punggungnya pada sofa yang empuk.
Terlihat seluruh sudut rumah sepi, tidak ada aktifitas didalamnya.
Zidan mengernyitkan dahinya.
"Pada kemana nih? Kok sepi ya?" Ucapnya kembali.
Ia berjalan menuju dapur namun tidak ada seorangpun.
"Bu? Ibu?" Panggilnya pada Bu Fatimah.
Rupanya Bu Fatimah sedang tidak berada di dapur.
Ia mengecek seluruh ruangan, namun ia tidak mendapati seorangpun didalamnya.
"Oh, mungkin dihalaman belakang." Imbuh Zidan kembali.
Ia segera berjalan menuju halaman belakang.
Halaman belakang memang terasa luas, karena halamannya dimanfaatkan untuk menjemur pakaian serta untuk ditanami dengan tanaman-tanaman hidroponik.
Ada sayur-sayuran serta buah-buahan.
Sampailah Zidan dihalaman belakang.
Ia malah mendapati Ayana yang sedang menjemur pakaian.
"Loh, kok hanya ada Ayana? Ibu tidak ada!" Gumamnya lirih.
Karena ia tidak ingin menganggu Ayana yang sedang menjemur pakaian, ia memutuskan untuk pergi saja.
Namun ketika berbalik badan, langkahnya terhenti oleh suara panggilan dari Ayana yang ternyata Ayana sempat melihat kedatangan Zidan.
"Kak Zid? Sedang apa disitu?" Panggil Ayana dan bertanya kepada Zidan.
Zidan membalikkan badannya kembali.
"Cari Ibu. Kamu tahu Ibu dimana?" Zidan balik bertanya.
"Oh, Ibu sedang pergi arisan katanya, Kak. Ada apa? Tumben sudah pulang mengajar? Apakah Kakak sudah lapar?" Ayana datang berjalan mendekati Zidan sembari membawa dua buah bak sedang berada dalam genggaman tangan kanan dan tangan kirinya.
Zidan menggaruk-garuk kepalanya.
"Iya lumayan!" Jawab Zidan seraya melangkahkan kakinya menuju dapur.
Ia berniat ingin mengambil nasi serta lauk pauknya.
Ayana yang sedang menaruh bak-bak tersebut melihat Zidan berjalan menuju dapur.
"Pasti dia mau makan!" Gumam lirih Ayana dengan berjalan menuju dapur sedikit cepat.
Zidan membuka tudung saji yang ternyata masih kosong melompong.
"Kok tidak ada makanan?" Tanya Zidan menoleh kearah Ayana.
"Maaf, Kak. Aku belum masak. Aku masak sebentar ya, tunggu!" Ucap Ayana langsung memakai celemek dan segera memasak.
Zidan menghembuskan napas panjangnya.
"Kira-kira berapa lama?" Tanya Zidan sembari duduk menunggu Ayana memasak didapur.
Ayana yang sedang mengiris-iris bumbu-bumbu tetap merespon pertanyaan-pertanyaan dari Zidan yang setia menunggu di kursi dekat dapur.
"Tiga puluh menit ya!" Jawab Ayana.
Ayana begitu mahir dan lincah, dalam waktu singkat ia sudah menyelesaikan pada masakan pertama.
"Memangnya tadi Ibu sebelum jalan arisan tidak masak dulu, Za?" Tanya Zidan kembali.
"Kalau Ibu sebelum pergi sudah memasak, sudah pasti dirumah ada makanan dong, Kak. Lagi pula tadi juga Ibu terburu-buru, jadi tidak sempat memasak." Jelas Ayana dengan tangan masak menumis-numis didepan penggorengan.
Zidan mengangguk-angguk perlahan.
"Aku tidak tahu kalau kamu akan pulang lebih awal,Kak. Jadi, aku sempatkan menjemur pakaian dulu mumpung cuaca sedang terik." Jelas Ayana kembali agar Zidan tidak salam paham terhadapnya.
Zidan masih menunggu sembari memainkan ponselnya.
Tidak lama kemudian semua masakan telah selesai dan terhidang dihadapan Zidan.
Zidan tampak tidak sabar sekali ingin segera memanjakan cacing-cacing dalam perutnya yang telah meronta-ronta menanti datangnya makanan.
"Silahkan dimakan, Kakak iparku!" Ucap Ayana menyiapkan sepiring nasi panas untuk Zidan.
Zidan mengembangkan senyumannya, karena masakan telah terhidang.
"Syukron, Za." Ucap terima kasih Zidan kepada Ayana.
Ayana melepaskan celemek dan mencuci tangannya.
Ia mengambil air minum untuknya dam juga untuk Zidan.
"Ini, Kak. Minumannya." Ayana meletakkan segelas air mineral untuk Zidan.
"Aku permisi dulu ya, Kak. Selamat makan!" Ucap Ayana ketika ia akan melangkahkan kakinya untuk menuju anak tangga.
"Loh, ingin kemana, Za?" Tanya Zidan seraya menyuapkan nasi kedalam mulutnya.
"Ke kamar, Kak. Ingin mandi, gerah soalnya!" Jawab Ayana menghentikan langkahnya.
"Temani aku makan dulu." Pinta Zidan.
Karena Ayana ingat ia hanya berdua saja didalam rumah bersama dengan Zidan, ia memutuskan untuk menolak perintah Zidan dan tetap akan pergi ke kamarnya.
"Maaf, Kak. Lain kali saja. Kak Zid makan yang banyak ya!" Tolak Ayana.
Ayana tetap melangkahkan kakinya menuju kamarnya dan segera mengunci kamarnya dengan rapat.
Ia tidak ingin menjadi fitnah antara dirinya dengan Zidan.
Bagaimanapun, ia harus tetap menjaga kepercayaannya terhadap Fahmi. Walau cinta dan sayangnya belum genap seratus persen untuk suaminya.
"Za... Kamu memang wanita yang baik! Beruntung Fahmi memilikimu."
***
Malam hari..
"Bu, Ibu kenapa? Seperti nya Ibu sedang kurang enak badan?" Sapa Ayana ketika ia melihat sang Ibu Mertua sedikit berwajah pucat.
Bu Fatimah sedang menggunakan minyak angin pada tengkuknya.
"Sepertinya masuk angin, Nak." Jawab Bu Fatimah dengan tangan masih mengoleskan minyak angin kebagian belakang lehernya.
Ayana duduk mendekati Bu Fatimah.
"Boleh aku membantu, Bu? Atau ingin aku kerik?" Ayana menawarkan dirinya.
Bu Fatimah tampak berpikir sejenak.
"Boleh, Ayana. Kalau kamu tidak keberatan." Jawab Bu Fatimah.
"Ya sudah, sini aku bantu ya, Bu."
Ayana kemudian mulai mengerik bagian leher Bu Fatimah, kemudian ia melanjutkan sampai pada punggung hingga pinggang.
"Merah, Ayana?" Tanya Bu Fatimah.
"Alhamdulillah, merah sekali, Bu. Sepertinya Ibu memang sedang sakit. Nanti setelah ini, Ibu istirahat saja ya. Banyak-banyak istirahat ya, biar nanti Ayana saja yang mengerjakan semua pekerjaan." Ucap Ayana kepada Bu Fatimah.
"Eh, Jangan Ayana. Pekerjaan rumah kan sudah ada Mbak Lusi. Kamu cukup memasak saja untuk Ibu dan Zidan. Kalau ada Fahmi masaknya lebih banyakan lagi ya, karena dua anak itu makannya banyak." Jawab Bu Fatimah.
"Hmm baik, Bu."
Datanglah Zidan dari arah kamarnya. Rupanya ia akan mengambil air ke dapur.
Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Ibunya sedang dikerik oleh Ayana.
"Ibu kenapa, Bu?" Tanya Zidan dengan mata melirik kearah Ayana.
Ayana terus melanjutkan mengerik badan Bu Fatimah.
"Sedang dikerik Ayana, sepertinya Ibu masuk angin." Jawab Bu Fatimah.
"Oh, istirahat saja, Bu!" Perintah Zidan.
Zidan melanjutkan berjalan menuju dapur.
Sembari menenggak air minum, sesekali ia melihat kearah dimana Ayana dan Bu Fatimah berada.
Ia memperhatikan betapa perhatiannya Ayana kepada Ibunya.
"Sudah selesai, Bu. Ibu tunggu sebentar ya. Ayana buatkan teh manis panas, supaya anginnya cepat keluar. Setelah itu, Ibu langsung istirahat saja." Ucap Ayana bangkit dari tempat duduknya, ia segera menuju dapur untuk membuatkan Bu Fatimah segelas teh manis panas.
Zidan melihat Ayana mendatanginya. Ia berpura-pura terlihat sibuk membuka-buka lemari pendingin.
"Cari apa, Kak?" Tanya Ayana.
"Cari yang segar-segar." Jawab Zidan singkat.
Ayana tampak berpikir sejenak.
"Apa itu yang segar-segar?" Tanya Ayana dengan tangannya bergerak menyiapkan gelas kosong berikut dengan teh dan gula.
"Tidak tahu nih, ternyata dikulkas tidak ada yang segar-segar." Jawab Zidan dengan wajah kecewa karena ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Beli saja, Kak!" Perintah Ayana.
Ayana menuangkan air panas kedalam gelas panjang, dan kemudian ia mengaduknya.
"Temani aku, yuk!"