Cerita ini berputar di kehidupan sekitar Beatrice, seorang anggota keluarga kerajaan Kerajaan Alvion yang terlindung, yang telah diisolasi dari dunia luar sejak lahir. Sepanjang hidupnya yang terasing, ia tinggal di sebuah mansion, dibesarkan oleh seorang maid, dan tumbuh besar hanya dengan dua pelayan kembar yang setia, tanpa mengetahui apa pun tentang dunia di luar kehidupannya yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Beatrice akan melangkah ke dunia publik sebagai murid baru di Akademi bergengsi Kerajaan — pengalaman yang akan memperkenalkannya pada dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renten, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
【Butler Meets Butler】
Edward melangkah pergi dari pintu utama auditorium, langkahnya tak tergesa namun penuh tujuan.
Hamparan rumput hijau yang terawat rapi membentang di sekelilingnya, dihiasi petak-petak bunga yang penuh dengan aneka jenis tumbuhan yang ditata apik.
Jalur-jalur yang berkelok melalui taman juga terlihat luas dan bersih, dengan permukaan batu yang mulus dan hampir berkilau di bawah sinar matahari.
Meski begitu, Edward nyaris tak memperhatikan semua keindahan itu.
Ia keluar dari jalan setapak dan melangkah ke atas rumput, mengabaikan tatapan penasaran beberapa pelayan yang duduk di bangku-bangku sekitar.
Mereka memperhatikan sosoknya yang berjalan sendirian, tenang namun menimbulkan kesan seolah ia memiliki tujuan tertentu, seolah aturan kesopanan tak berlaku baginya.
Bangunan itu menjulang tinggi di atasnya, exteriornya bagai labirin jendela, lengkungan, dan hiasan relief dekoratif.
Saat mengitari gedung, sorot matanya meneliti segala kemungkinan—pintu samping, jendela yang terbuka, atau panel longgar.
Namun, tak ada apa pun yang ia temukan.
Akhirnya, ia tiba di sisi bangunan yang lebih sepi, jauh dari hiruk pikuk siswa dan staf.
Edward berhenti, memiringkan kepala menatap dinding yang menjulang di hadapannya.
Ketinggian atap itu mungkin menakutkan bagi kebanyakan orang, tapi bagi Edward, justru tampak menggoda.
Susunan batu dinding menyediakan banyak pegangan, dan desain bangunan seolah membentuk jalur alami untuk dipanjat.
Senyum tipis terulas di bibirnya saat ia menghitung rute yang akan ditempuh.
Dengan tarikan napas tajam, Edward merendahkan tubuh, bersiap.
Tangan kanannya terulur ke atas, jari-jarinya siap meraih batu, seolah menguji kekokohannya.
Kaki kirinya menekuk, siap mendorong tubuhnya naik dalam satu lompatan.
"Maaf," sebuah suara menyela, pelan namun cukup tegas untuk memecah konsentrasi Edward.
"Anda tidak seharusnya melakukan itu."
Edward menoleh tajam ke arah suara itu.
Tak jauh darinya, di sisi jalur setapak berbunga, berdiri sesosok bertubuh ramping.
Sekilas, Edward mengira itu seorang gadis—kesan itu lahir dari postur tubuh yang halus, model rambut yang feminin dan wajah yang berkesan lembut.
Namun, menilik lebih teliti, tampaklah aura maskulin samar yang tersembunyi di balik kecantikan androgini yang menyelimutinya.
Bola mata butler itu berwarna hitam pekat, tatapannya tajam dan mantap, dihiasi bulu mata panjang yang memberi pesona tak biasa.
Kulitnya halus tanpa cela, pucat seperti porselen, tampak berkilau diterpa sinar matahari.
Rambut hitamnya yang agak berantakan tergerai lembut, lapisan-lapisannya membingkai wajah yang simetris sempurna—seanggun bangsawan yang mungkin ia layani.
Seragamnya—rompi pas badan di atas kemeja biru bersih, dilengkapi dasi hitam yang diikat rapi—memberinya kesan butler yang berkelas, berbeda dari seragam standar kebanyakan.
Edward mengangkat alis, tatapannya yang penuh perhitungan bertemu pandangan tenang si butler.
"Maaf, manis," kata Edward, nadanya sopan namun bernuansa mengusir,
"Maukah kau memejamkan mata dan pura-pura tak melihatku sebentar?"
Butler itu tersenyum tipis, seolah terhibur.
"Sebagai pelayan bangsawan, kita tak boleh mencoreng nama baik mereka dengan perilaku tidak pantas," balasnya halus, suaranya lembut namun menyiratkan wibawa.
Edward mendengus pelan, ekspresinya tetap datar.
"Tidak pantas? Memanjat gedung itu tak pantas—kecuali kalau ada yang memberi tahu My Lady."
Nada bicaranya merendah, terselip ancaman halus.
Butler itu tak gentar.
Ia justru mengubah sedikit posisinya, kaki bergeser mantap, seolah siap menghadapi konfrontasi.
Kedua tangannya tetap tergantung di samping tubuh, namun ada kesiapan terpancar—gerakan ringan namun tegas, pertanda pelatihan fisik.
Cara ia menapak di jalur setapak menyiratkan, jika Edward bergerak menyerang, ia takkan ragu melawan.
"Kurasa Lady-mu takkan suka kau melakukan hal bodoh seperti memanjat dinding," ujarnya.
Kemudian, alis butler itu sedikit berkerut, seolah baru tersadar.
"Tunggu… memanjat?! Aku hanya hendak memintamu tak berjalan di atas rumput."
Edward berkedip, sempat terhenyak oleh pernyataan itu.
"Tak ada tanda larangan," balasnya datar, logikanya setajam nada suaranya.
"Meski begitu, sebagai pelayan, kita harus menunjukkan sikap yang lebih baik," sahut si butler, suaranya lembut namun tegas.
Edward menghela napas, mengibaskan tangannya seolah mengusir pembicaraan itu.
"Baiklah. Aku akan berhenti menginjak rumput setelah selesai memanjat dan masuk ke dalam. Jadi santai saja, Manis."
Mata butler itu menyipit, nada suaranya mengeras.
"Itu jauh lebih buruk. Aku tidak punya pilihan selain menghentikanmu."
Ketegangan mencuat sesaat, namun sebelum salah satu dari mereka bergerak, sayup-sayup terdengar suara para maid yang mendekat.
Bagian taman yang tadinya sepi perlahan mulai ramai.
Edward mendecakkan lidahnya, kesal karena gangguan itu.
Tanpa berkata apa-apa, ia memutar tubuh dan berjalan menyusuri hamparan rumput, sama sekali mengabaikan si butler.
"Hei!" panggil butler itu, suaranya kehilangan sedikit ketenangan.
"Kau tidak bisa mengabaikanku begitu saja! Setidaknya jalanlah di jalur setapak!"
Edward tak menyahut, tetap fokus melanjutkan langkah mengitari bangunan dengan penuh perhitungan.
Matanya yang tajam memindai setiap detil, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi.
Sementara itu, butler androgini itu terus menguntitnya dari jalur setapak, bagaikan bayangan yang keras kepala tak mau menyerah.
"Sungguh, aku serius!" serunya lagi, nadanya kini lebih tegas, meski terselip rasa frustrasi.
"Aku tak peduli apa rencanamu, tapi kau harus kembali ke jalur semestinya!"
Perkataan butler itu berulang-ulang seperti nada sumbang yang sama, seolah kesunyian Edward justru mendorongnya makin gigih.
Keduanya seperti terperangkap dalam dinamika satu arah yang tak kunjung berakhir.
Edward bisa mendengar derap langkah samar di atas jalur berbatu, menandakan si butler masih membuntutinya tanpa henti.
Akhirnya, Edward berhenti, kesabarannya menipis.
Ia menoleh sedikit, suaranya terdengar tenang namun tajam.
"Oi. Diamlah sebentar."
Butler itu terhenti, tampak agak terkejut oleh perubahan nada suara Edward.
Pandangan Edward tertuju ke satu pemandangan baru di hadapannya.
Di sebuah tangga pendek yang mengarah ke pintu samping yang tampaknya pintu belakang auditorium, duduk tiga orang maid, tampaknya tidak menyadari kehadiran dua butler yang tengah mengamati.
Maid pertama, bertubuh kekar dan setinggi Edward, sedang menenggak minuman keras dari botol.
"Fuaaaahhh! Keras juga minuman ini," ujarnya, suaranya penuh rasa percaya diri yang garang.
Maid kedua, seorang wanita mungil, menuangkan minuman dari botol ke dalam sebuah whiskey flask kecil, sambil mengunyah sesuatu yang tak jelas.
Gerakannya cekatan, ekspresinya fokus pada tugasnya.
Maid ketiga, yang tampak paling tenang di antara mereka, menyesap whiskey dari gelas mungil dengan sikap berkelas.
Sambil membetulkan posisi kacamatanya, ia bergumam dengan nada yang terdengar terlalu santai,
"Seandainya aku bisa menikmati minuman enak ini sambil mengagumi dada Lady-ku yang indah."
Edward berkedip, ekspresinya datar saat menyaksikan pemandangan itu.
Dibandingkan butler cerewet yang masih berdiri di dekatnya, ketiga maid ini tampak menghadirkan bentuk gangguan yang benar-benar berbeda.
"Sempurna sekali," gumam Edward lirih, setengah kesal.