Nathan Hayes adalah bintang di dunia kuliner, seorang chef jenius, tampan, kaya, dan penuh pesona. Restorannya di New York selalu penuh, setiap hidangan yang ia ciptakan menjadi mahakarya, dan setiap wanita ingin berada di sisinya. Namun, hidupnya bukan hanya tentang dapur. Ia hidup untuk adrenalin, mengendarai motor di tepi bahaya, menantang batas yang tak berani disentuh orang lain.
Sampai suatu malam, satu lompatan berani mengubah segalanya.
Sebuah kecelakaan brutal menghancurkan dunianya dalam sekejap. Nathan terbangun di rumah sakit, tak lagi bisa berdiri, apalagi berlari mengejar mimpi-mimpinya. Amarah, kepahitan, dan keputusasaan menguasainya. Ia menolak dunia termasuk semua orang yang mencoba membantunya. Lalu datanglah Olivia Carter.
Seorang perawat yang jauh dari bayangan Nathan tentang "malaikat penyelamat." Olivia bukan wanita cantik yang akan jatuh cinta dengan mudah. Mampukah Olivia bertahan menghadapi perlakuan Nathan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGUATKAN TEKAD UNTUK TIDAK GOYAH
Di kamarnya yang sunyi, Olivia merebahkan diri di atas ranjang, namun hatinya sama sekali tak bisa tenang. Genggaman tangan itu hangat, lembut, namun penuh keraguan terasa membekas hingga ke relung jiwanya. Jemari Nathan yang sempat menggenggam jemarinya seakan menyampaikan sesuatu yang tak terucap... sesuatu yang selama ini mungkin juga dirasakannya sendiri.
Nathan... pria itu selalu menunjukkan wajah tenang dan dingin, seolah tak pernah goyah. Tapi tadi di momen singkat yang nyaris tak disengaja Olivia melihatnya. Ada getar yang sama, ada rasa yang tersembunyi di balik semua batas yang coba Nathan pertahankan. Lalu mengapa Nathan justru menyarankannya dekat dengan Erick? Apakah karena keterbatasannya? Apakah Nathan merasa dirinya tidak pantas dicintai?
Air mata Olivia mengalir perlahan, membasahi pipinya. “Kenapa kamu begitu keras pada dirimu sendiri, Nathan?” bisiknya pelan. “Kalau saja kamu tahu... aku mencintaimu.”
Ya, Olivia menyadari perasaannya telah tumbuh terlalu dalam. Bukan Erick yang mampu mengguncang hatinya, tapi Nathan. Pria yang ia temani dalam kesepiannya, yang luka-lukanya ingin ia sembuhkan, yang senyumnya selalu ia nanti. Tapi bagaimana bisa ia mengungkapkan semua ini... jika Nathan sendiri memilih untuk mundur?
Di balik gelap malam yang sunyi, Olivia hanya bisa berharap... semoga Nathan suatu hari nanti cukup berani untuk menerima bahwa dirinya pantas dicintai apa pun keadaannya.
___
Nathan menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan bayang-bayang genggaman itu dari pikirannya. Ia tak boleh larut. Perasaannya pada Olivia entah sebesar apa pun tidak bisa menjadi alasan untuk terus meratapi diri. Masih banyak hal lain yang harus ia hadapi. Hidupnya belum selesai.
Ia teringat pada pesan Charlotte tentang telepon dari Erick. Sesuatu dalam nada suara ibunya tadi membuat Nathan merasa, mungkin ada hal penting yang ingin disampaikan sahabatnya itu. Tanpa menunda, Nathan meraih ponselnya yang tergeletak di meja, lalu segera menekan nama Erick dalam daftar panggilan.
Ponsel itu hanya berdering sebentar sebelum akhirnya tersambung.
“Halo, Erick? Maaf tadi aku tak sempat angkat,” ujar Nathan dengan suara yang terdengar tegas namun tenang.
Erick di seberang sana terdengar lega, “Nate, akhirnya kau menelpon juga. Ada sesuatu yang perlu kau tahu. Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi...”
Nada Erick terdengar serius, membuat dahi Nathan mengernyit. Ia menggenggam ponselnya lebih erat.
“Apa maksudmu?” tanyanya pelan, namun penuh waspada.
“Aku baru saja mendapat informasi dan ini bukan sesuatu yang bisa kita abaikan...”
Nathan terdiam sejenak. Tatapannya mengeras, tubuhnya menegang.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Erick?”
Keheningan sesaat menyelimuti percakapan itu, sebelum Erick akhirnya membuka kebenaran yang perlahan akan mengguncang hari-hari Nathan ke depan.
Erick: (menarik napas panjang)
“Banyak hal, Nate. Dan aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi satu hal yang pasti semua ini nggak bisa lagi ditunda.”
Nathan:
“Langsung saja.”
Erick:
“Baik. Pertama, soal skandal lama... Aku baru saja dihubungi seseorang dari The Daily Current. Mereka bilang punya bukti rekaman CCTV dari hari kecelakaan itu. Mereka tahu kamu ada di dapur saat itu terjadi. Mereka ingin menyelidiki apakah benar ada kelalaian dan yang lebih parah, mereka menuduhmu menutupi sesuatu.”
Nathan: (menegang, suaranya dalam)
“Menutupi sesuatu? Itu kecelakaan kerja, Erick. Dan aku yang terluka.”
Erick:
“Mereka nggak melihatnya begitu. Ada rumor... bahwa kamu marah besar sebelum kejadian. Bahwa kamu melempar sesuatu. Mereka ingin menggiring opini publik, Nate. Dan kamu tahu, begitu berita itu muncul itu bisa hancurkan semua.”
Nathan: (menghela napas tajam)
“Lalu?”
Erick:
“Kedua... kita punya masalah besar di restoran pusat. Aku baru dapat laporan keuangan pagi tadi. Ada penggelapan. Jumlahnya tidak main-main, Nate. Ratusan juta. Dan semua transaksi mencurigakan itu mengarah pada satu nama... Jason.”
Nathan: (terdiam)
“Aku seharusnya tahu...”
Erick:
“Aku belum punya bukti kuat untuk membawanya ke hukum. Tapi jika ini terbongkar tanpa persiapan, kita bisa dituduh lalai mengawasi. Dan kamu tahu bagaimana investor kita...”
Nathan:
“Langford?”
Erick:
“Ya. Dia murka. Merasa kamu kabur dari tanggung jawab. Dia ingin menarik seluruh investasinya jika kamu tidak segera membuat pernyataan resmi atau hadir dalam konferensi pers yang mereka jadwalkan minggu depan.”
Nathan: (menutup mata, menahan emosi)
“Kalau dia mundur, kita kehilangan 60% pendanaan.”
Erick:
“Bukan hanya itu. Kita kehilangan kepercayaan pasar, media akan berpesta, dan semua cabang kita bisa runtuh satu per satu.”
Nathan: (setelah hening cukup lama)
“Semua ini terjadi karena aku menghilang.”
Erick:
“Kamu butuh waktu untuk pulih, aku tahu. Tapi dunia nggak berhenti saat kita jatuh, Nate. Aku butuh kamu kembali. Kalau bukan sebagai chef, setidaknya sebagai pemimpin. Mereka perlu melihat kamu masih berjuang.”
Nathan:
“Dan kalau aku tidak sanggup? Dengan tubuh seperti ini?”
Erick: (suara pelan, tapi mantap)
“Maka mereka yang menghancurkanmu akan menang.”
Nathan: (menatap kosong ke jendela)
“Aku sudah lelah, Erick... Tapi aku juga tidak mau mati seperti ini dalam diam.”
Erick:
“Maka berdirilah. Atau duduklah... di kursi itu, tapi jangan menyerah. Karena aku masih percaya kamu bisa menyelamatkan semuanya.”
Nathan menutup telepon tanpa kata-kata.
Di kamar Nathan terdiam dalam remang cahaya sore yang perlahan memudar. Tirai tipis bergerak pelan karena angin yang menyusup lewat celah jendela, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding. Suasana tenang, tapi tidak dengan hati Nathan. Ia baru saja meletakkan ponselnya setelah percakapan panjang dengan Erick dan kini, pikirannya dipenuhi oleh badai yang tak bisa diredam.
Nathan menatap kosong ke arah jendela. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat warna jingga yang menyapu langit.
Senja selalu indah, pikirnya. Tapi keindahan itu terasa begitu jauh terpisah oleh ketakutan, kemarahan, dan keraguan yang menghimpit dadanya.
Nathan berbisik pada dirinya sendiri.
"Apa gunanya semua ini kalau akhirnya aku hanya duduk tak berdaya? Aku kehilangan segalanya... tubuhku, hidupku, kepercayaanku pada orang-orang..."
Ia mengepalkan jemarinya yang masih bisa digerakkan. Tangan itu dulu memegang pisau dapur dengan percaya diri, menciptakan keajaiban di setiap hidangan. Kini, yang tersisa hanya bayang-bayang masa lalu dan luka yang masih menganga.
Nathan memejamkan mata. Wajah Jason terlintas dalam pikirannya. Murid yang dulu ia ajari dari nol, kini menikamnya dari belakang. Rekaman dari masa lalu, gosip, media, skandal semuanya seperti batu yang dilemparkan ke tubuh yang sudah remuk.
Nathan bergumam dalam hati."Mungkin memang lebih baik aku menyerah saja. Menyerah pada keadaan. Pada dunia yang sudah menolakku..."
Tapi suara Erick kembali terngiang di kepalanya. Tegas, penuh semangat, tapi juga tulus.
Dalam bayangannya Erick mengatakan...
"Kalau kau menyerah, Nate, kau bukan Nathan Hayes yang aku kenal. Orang-orang ingin menjatuhkanmu karena mereka tahu kamu berharga. Aku akan lawan mereka bersamamu. Tapi kamu harus bangkit lebih dulu."
Nathan membuka mata. Ada sedikit air di sudutnya. Ia tidak menangis tidak secara utuh tapi ada rasa yang menggenang, seperti bendungan yang nyaris jebol. Ia menghela napas panjang.
"Aku lelah, Erick... Tapi kau benar. Kalau aku menyerah sekarang, aku tak hanya membiarkan mereka menang. Aku menghancurkan semua yang pernah aku bangun."
Tangannya meraih catatan kecil yang tersimpan di laci. Di sana ada daftar nama staf restoran, catatan resep, dan sketsa menu baru yang dulu ia tulis saat semangat masih membara. Jari-jarinya menyusuri huruf-huruf yang kini terasa asing, tapi juga akrab seperti menyentuh bagian jiwanya yang sempat tertidur.
Nathan menatap cermin di seberang ruangan. Bayangan dirinya tak lagi sama seperti dulu. Tapi ada satu hal yang masih bisa ia temukan di sana, mata yang perlahan mulai menyala kembali. Mata seorang pria yang pernah melawan dunia untuk mimpinya.
"Aku bukan korban. Aku bukan orang yang kalah. Aku Nathan Hayes. Dan aku akan berdiri lagi... entah dengan dua kaki atau dengan kursi ini, aku akan kembali."
Ia mengusap wajahnya, menyeka bekas air mata yang tak sempat jatuh sepenuhnya. Tangannya kemudian meraih sweter yang tergantung di kursi. Dikenakannya perlahan, seperti mengenakan baju zirah sebelum perang. Tapi ini bukan perang dengan senjata. Ini perang harga diri.
Nathan menatap ke luar jendela. Senja telah berganti menjadi senyap malam. Di kejauhan, lampu-lampu kecil mulai menyala. Dan dalam keheningan itulah, ia membuat keputusan.
Ia akan makan malam di luar malam ini. Untuk pertama kalinya. Ia akan bertemu Charlotte dan Olivia bukan sebagai pria yang dikasihani, tapi sebagai Nathan Hayes yang berusaha berdiri kembali. Dan setelah makan malam itu, ia akan memulai semuanya dari awal. Dari bawah. Tapi dengan harga diri utuh dan tekad yang tidak lagi goyah.
Olivia hanya anggap erick sekedar tmn dan nathan berusaha mendekatkan erick sm olivia....
Olivia tidak akan bahagia bersama erick cintanya hanya tuk nathan pria sangat dikagumi dan dicintainya...
Lanjut thor💪💪💪💪💪
Jason sangat iri sm erick sangat sipercaya sm nathan ketimbang jason dan nathan pasti tahu mana yg jujur dan tidak....
Tunggu aja sampai bukti2 kuat terkumpul pasti tamat riwayatmu jason dan nathan tidak akan mengampuni seorang pengkhianat...
tp nathan merasa tidak pantas buat olivia krn lumpuh olivia mencintai nathan sangat tulus gimanapun keadaan nathan...
lanjut thor💪💪💪💪💪
Semenjak kehadiran olivia nathan kembali semangat lagi dan hidupnya penuh warna...
Tp nathan memendam rasa cintanya kpd olivia dan merasa tidak pantas buat olivia krn lumpuh....
lanjut thor...
semangat selalu💪💪💪💪💪
Ada mom carrolotte dan olivia sll kasih dukungan dan semangatnya.....
lanjut thor💪💪💪💪💪
Nathan sangat merasa minder/tidak pantas buat olivia dan ungkapan aja nathan perasaannya pd olivia....
krn olivia jg merawat nathan dangat tulus dan ikhlas nathan bisa bangkit dr keterpurukan hrs berusaha tuk sembuh dengan terapi pasti bisa jalan lagi....
lanjut thor....
semangat selalu...
sehat selalu.....