Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 2 Hati Yang Mulai Tertarik
"Lana, tolong ke sini sebentar," suara bariton Pak Dani membelah keheningan kelas, memanggil Lana dari dunianya sendiri.
Dengan langkah sedikit ragu, Lana menghampiri Pak Dani yang berdiri di dekat Sakha. Raut wajah gurunya tampak serius, namun penuh harap.
"Lana, Bapak ingin meminta bantuanmu. Beberapa hari ke depan, bisakah kamu membimbing Sakha dalam beberapa mata pelajaran? Bapak melihat nilainya sedikit tertinggal. Bapak yakin kamu bisa membantunya."
Mata Lana membulat sempurna, terkejut dengan permintaan tak terduga itu. Ia menoleh ke arah Sakha, yang berdiri tegak dengan ekspresi datar, seolah tak peduli dengan apa yang sedang dibicarakan.
"Tapi, Pak..." Lana tergagap, mencari kata-kata yang tepat. "Tapi, mungkin Sakha keberatan. Kenapa tidak Rio saja, Pak? Nilai Rio juga bagus."
"Hmm, Bapak rasa kamu lebih cocok untuk mengajar. Kamu lebih sabar dan detail. Sudah, kamu saja yang bantu Sakha, ya," Pak Dani menepuk bahu Lana, lalu beralih menatap Sakha. "Kamu tidak keberatan, kan, diajar oleh Lana? Dia anak yang baik dan prestasinya tidak perlu diragukan lagi."
Sakha hanya mengangguk singkat, tanpa ekspresi. Sikapnya yang acuh tak acuh itu membuat Lana semakin bingung. Ia tahu Sakha pasti tidak senang dengan ide ini, tapi kenapa dia tidak menolak?
Lana merasa seperti tersesat dalam kebingungan. Bagaimana mungkin dia, yang baru mengenal Sakha, harus mengajarinya? Apalagi dengan sikap dingin dan ketus pemuda itu, metode pengajaran seperti apa yang harus ia gunakan? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, membuatnya semakin frustrasi.
-------
"Kenapa kamu tadi tidak menolak?" Lana menunduk sambil memainkan ujung sepatunya. Kedua bibirnya mengerucut. Ia menatap malas punggung Sakha yang tengah berdiri membelakanginya.
Siang itu sepulang sekolah keduanya berada di depan gerbang sekolah. Mereka sedang menunggu supir keluarga Sakha yang akan datang menjemputnya.
Sesuai permintaan wali kelas mereka, Lana akan belajar bersama pemuda itu dan membantunya untuk menjelaskan beberapa materi yang tertinggal atau masih tidak dimengerti olehnya.
"Kenapa harus menolak?" Sakha menoleh sekilas, melihat sejenak ekspresi Lana yang tampak kesal padanya.
Biasanya Lana selalu memasang wajah ramah dan senyum di wajahnya, tapi ternyata ekspresi kesalnya terlihat cukup menggemaskan, pikir Sakha.
"Bukankah kamu keberatan?" Lana menghentakkan kakinya, ia lalu bergerak mendekat ke samping pemuda itu dan menatapnya.
Mata bening milik Lana membulat, membuat wajah gadis itu terlihat seperti anak anjing kecil yang sedang merajuk. Sakha sampai menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi Lana yang baginya terlihat lucu.
"Aku tidak pernah keberatan." jawab Sakha santai.
"Hah?" Lana mengernyitkan dahinya.
"Apa?"
"Bukannya kamu tidak nyaman sama aku, harusnya kamu minta belajar dengan Rio. Dia.."
"Nope. It's okay, you're better choice."
Lana memicingkan matanya curiga.
"Jangan sampai kamu buat aku kesal ya, saat kita belajar nanti."
"Aku tidak pernah buat kamu kesal." tukas Sakha singkat.
Lana tercengang sampai membulatkan matanya. "Woah..kau luar biasa!"
"Memangnya aku pernah buat kamu kesal?"tanyanya dengan wajah tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Hmmm..enggak..enggak sama sekali." tegas Lana sembari menarik nafas panjang.
Sepertinya pemuda di depannya ini memang sengaja memancing emosinya, jadi Lana berusaha menahan dirinya agar tidak terpancing.
"Jadi berapa menit lagi kita tunggu jemputan kamu?" tanya Lana sembari menatap jalanan yang sudah sedikit sepi.
"Sebentar lagi."
"Kenapa enggak pakai angkutan umum? Kan bisa lebih cepat." Lana memajukan tubuhnya sedikit ke arah jalan raya, ia menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan jemputan milik Sakha.
Mereka sudah menunggu hampir satu jam dan menurut Lana itu waktu yang cukup lama, ia sangat tidak suka membuang waktu. Waktu satu jam bisa ia manfaatkan untuk mengerjakan soal-soal latihan, belajar memasak atau mengecek tanaman-tanaman yang ada di kebun kecilnya.
"Lagipula kamu kan sudah besar, kenapa masih diantar jemput." seloroh gadis itu.
"Ternyata kamu cerewet juga ya."
Tiba-tiba sebuah kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi, untunglah Sakha menyadari hal tersebut. Dengan refleksnya yang cepat, ia menarik tas punggung yang dikenakan oleh Lana, membuat gadis itu langsung terhuyung ke belakang.
Sakha segera menarik gadis itu ke pelukannya, Lana yang terkejut hanya bisa memejamkan matanya. Ia dapat merasakan kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi itu hampir menyerempetnya, membuat angin kencang menyapu wajahnya sebelum akhirnya Sakha menarik dan menyembunyikan tubuh gadis itu dalam pelukannya.
Lana dapat mendengar degup jantung Sakha yang berdetak lebih cepat dan deru nafasnya yang memburu. Gadis itu mendongak, mendapati wajah pemuda itu yang menegang.
Setelah dirasa sudah aman, Lana berusaha melepaskan dirinya dari pelukan pemuda itu, namun cengkraman tangan Sakha di tubuhnya terasa sangat kuat.
"Sa..Kha.." ucap Lana yang mulai merasa sesak.
Sakha Masih terdiam tak bergeming.
"Sakha..lepas.."tukas Lana lirih.
Sakha akhirnya tersadar dan cepat-cepat melepas pelukannya pada Lana. Gadis itu memperhatikan wajah Sakha yang terlihat pucat dan berkeringat.
"Kamu baik-baik saja?"
Sakha tidak menjawab, tiba-tiba pandangannya sedikit kabur ia pun bersandar pada gerbang yang ada di belakangnya. Lana yang terkejut memegang lengannya.
"Kamu sakit? Kenapa tiba-tiba pucat dan berkeringat?" Lana terlihat panik.
Sakha tidak menjawab dan hanya berusaha mengambil nafas panjang untuk menetralkan perasaannya yang berkecamuk juga kepalanya yang mendadak terasa pusing.
Lana menyentuh kening Sakha dengan telapak tangannya. Suhu tubuh pemuda itu terasa dingin. Lana semakin khawatir.
"Kita ke rumah sakit saja ya? A..aku..cari taxi dulu."
Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekitar berusaha mencari taxi yang bisa ia pakai untuk mengantarkan Sakha ke rumah sakit terdekat. Ia khawatir kalau pemuda itu punya riwayat penyakit yang perlu penanganan cepat.
Lana melihat satu mobil yang berjarak kurang lebih 200m dari tempat mereka berada. Lana hendak melambaikan tangannya untuk memanggil taxi tersebut namun tiba-tiba tangan Sakha menahannya.
"Aku baik-baik saja." ucapnya dengan suara lemah
"Kamu yakin?" Lana Masih tidak percaya.
Sakha mengangguk lalu berusaha berdiri dengan tegap. Lana segera membantu memapahnya, lengan Sakha merangkul gadis itu sampai membuatnya terhuyung.
Lana yang sebetulnya cukup tinggi, terasa sangat kecil jika dibandingkan dengan Sakha yang memiliki tinggi 178cm. Tubuhnya seperti tenggelam dibalik badan kekar milik pemuda itu.
Tak lama menunggu untunglah supir pribadi milik keluarga Sakha akhirnya datang, pria paruh baya yang berpenampilan sederhana itu nampak terkejut melihat Sakha yang pucat dan sedang bersama dengan seorang gadis. Banyak yang ingin ia tanyakan tapi ia tunda dan dengan segera turun dari mobilnya untuk membantu Sakha memasuki mobil.
Lana menemani Sakha duduk di kursi belakang.
Lana lalu mengambil botol air mineralnya yang tadi baru ia beli di kantin. Ia segera membuka segel botol tersebut dan menyodorkannya pada Sakha.
Sakha meminum air yang diberikan oleh Lana, lalu menyandarkan kepalanya yang masih sedikit pusing.
Lana menjelaskan kepada supirnya, tentang Sakha yang tadi menolongnya dari sebuah mobil yang hampir menyerempetnya, setelah itu tiba-tiba saja kondisi Sakha seperti ini.
Supir tersebut hanya mengangguk-anggukan kepalanya mengerti dan menenangkan Lana kalau tuannya akan baik-baik saja.
Lana menatap Sakha yang terlihat lemas, ia lalu menyentuh kepala pemuda itu yang untunglah kini suhunya sudah kembali normal.
Tiba-tiba Sakha membuka matanya, tangan pemuda itu terangkat lalu menggenggam jemari Lana.
Lana terdiam mematung. Keduanya bertatapan seolah saling berbicara.
"Jangan membuatku cemas." tukas Sakha lirih.
Lana terpaku, bingung dengan ucapan pemuda itu.
Siapa yang membuatnya cemas? Bukankah ia yang sakit dan sejak tadi membuatku khawatir.
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri