Bunga itu telah layu sejak lama, menyisakan kelopak hitam yang berjatuhan, seperti itulah hidup Hanna Alaya Zahira saat ini, layu dan gelap.Hanna adalah seorang sekretaris yang merangkap menjadi pemuas nafsu bosnya, mengantungi pundi-pundi uang dalam rekeningnya, namun bukan tanpa tujuan dia melakukan itu. Sebuah rahasia besar di simpan bertahun-tahun. Pembalasan dendam.. Edgar Emilio Bastian bos yang dia anggap sebagai jembatan mencapai tujuannya menjadikannya simpanan dibalik name tag sekretarisnya, membuat jalannya semakin mulus. Namun, di detik-detik terakhir pembalasan dendam itu dia justru terjerat semakin dalam pada pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Pecat Jadi Simpanan
Seperti biasa setelah mereka bercinta Edgar selalu memberinya hadiah.
Kali ini pria itu memberinya kalung berlian yang Hanna tahu harganya tak main- main.
Namun saat ini bukan ini yang dia inginkan, meski dia juga mengambilnya dengan tersenyum.
"Kamu suka?"
"Berapa kalau ini aku jual?" Edgar mengeryit.
"Aku memberikannya, bagaimana bisa kamu berpikir untuk menjualnya?"
"Dengar Pak, aku memikirkan apa yang akan terjadi jika kamu membuangku, jadi tentu saja aset yang kamu berikan harus bisa aku jual kembali."
Edgar mendengus lalu duduk dan meraih rokok di nakas untuk dia sesap, tentu saja setelah mematik api lebih dulu.
"Mulai besok jangan datang lagi." Ucapan Hanna membuat Edgar menoleh dan mengeryit.
"Kamu mengakhiri ini?" tanyanya dengan wajah tak suka.
Hanna terkekeh "Tidak! Aku masih suka uang, tenang saja. Tapi, lain kali kalau kamu butuh cukup hubungi aku, aku akan datang. Kita bisa ke hotel. Tapi jangan datang kesini lagi." Hanna mengambil satu batang rokok Edgar, mengampitnya di bibir, lalu mendekatkannya pada rokok Edgar yang masih menyala.
"Orang-orang disini tidak tahu pekerjaanku. Jadi, saat kamu terus datang dan menginap tentu saja mereka menanyai aku." Hanna menghembuskan asap rokoknya ke udara. "Tidak lucu kan kalau kita di nikahkan karena di grebek warga?"
Edgar menghela nafasnya. "Baiklah."
Hanna mengedikkan bahu lalu kembali melihat kalung berlian di tangannya. "Ada sepuluh juta?" Hanna pura-pura lugu.
"Itu dua ratus juta." Edgar berkata acuh.
Hanna mengangguk "Oke." Hanna meletakan rokoknya lalu mencium pipi Edgar, dan beranjak.
"Kemana?" Edgar menatap Hanna yang mengenakan piyamanya.
"Aku ada pekerjaan yang belum selesai, Pak." Hanna berjalan ke arah meja lalu mengambil laptopnya.
"Bukannya Dani sudah mengerjakannya?"
"Hm, sedikit lagi, Pak Dani mengirimiku email, memintaku menyelesaikan sisanya."
Edgar mengeryit "Dia sengaja sepertinya? Bagaimana dengan Naomi? Dia tidak mengerjaimu?"
Hanna terkekeh "Siapa yang bisa mengerjai aku?"
"Ya, aku tahu kamu bisa menghadapinya."
"Dia sepertinya mencari perhatianmu dan ibunya. Aku tebak mungkin kalian terlalu tidak peduli padanya." Hanna melirik tak peduli pada Edgar sambil bekerja.
Edgar hanya menghela nafasnya lalu mematikan rokoknya.
...
Naomi menyilangkan tangannya di dada menatap tajam pada Siska yang pulang dengan sempoyongan.
"Mama tahu, Papa punya simpanan?" ucapnya saat Siska melewatinya.
Siska menghentikan langkahnya lalu menoleh "Simpanan?"
"Ya, cantik dan masih muda." Naomi berkata acuh. "Dia menjemputku di sekolah tadi."
Siska tertawa, "Kamu mencari perhatianku, dengan mengatakan itu, berharap aku yang akan menjemputmu? Aku bukan supir kamu, Sayang! Jadi, jangan berharap ya." Siska menangkup pipi Naomi lalu mengecupnya. "Selamat malam. Anak kecil harusnya tidur lebih awal!" Siska tertawa terbahak- bahak.
Naomi mengepalkan tangannya, lalu segera menuruni tangga untuk keluar rumah.
...
Hanna baru saja duduk setelah istirahat makan siang, saat Dani berjalan dengan terburu- buru ke arahnya.
"Tolong aku sekali lagi," ucapnya dengan terengah.
Hanna menaikan alisnya, dia memegang lipstik untuk memoles kembali bibirnya agar warnanya tak memudar.
"Jemput Nona Naomi lagi. Astaga aku harus apa? Keluarga ini sangat menyebalkan."
"Emang Pak Edgar kemana?" Hanna melihat ke arah meja yang sama sekali tak nampak Edgar sejak istirahat makan siang.
"Pak Edgar pergi setelah makan siang, dia menemui Nyonya Siska. Dan akhirnya aku yang harus menjemput Nona lagi."
Hanna berdecak, "Kemarin aku yang melakukannya."
Dani nyengir "Karena itu, sekarang kamu pergi lagi saja. Aku lihat kamu baik- baik saja setelah menjemputnya."
"Apanya yang baik-baik saja, Pak Dani tahu apa yang dia katakan padaku? Dia bilang aku kacung ibunya. Enak saja."
"Begini saja, kalau kamu menolongku aku belikan kamu tas itu." Dani menunjuk majalah bergambar tas bermerk di meja Hanna.
"Bapak serius?" Hanna menatap tak percaya. "Pak Dani tahu kan itu harganya berapa?"
"Sebagai gantinya kamu yang harus menjemput Nona Naomi selama aku belum mendapat pengasuh baru."
"Deal!" Hanna menjabat tangan Dani, lalu mengambil tasnya untuk segera pergi.
Tiba di sekolah, Hanna sama sekali tak menemukan Naomi di tempat harusnya anak itu menunggu jemputan.
Hanna bahkan turun dari mobil untuk memeriksa dan bertanya pada petugas keamanan.
"Permisi, Pak. Kamu melihat Naomi?" tanya Hanna.
"Oh, anak yang suka berdandan itu?"
Hanna mengangguk "Tadi aku melihatnya pergi ke arah mini market itu." Hanna mengikuti jari telunjuk penjaga sekolah itu.
"Makasih kalau gitu, Pak." Hanna bergegas pergi ke arah mini market yang di tunjuk.
Tiba di sana Hanna segera masuk dan mencari keberadaan Naomi, namun dia tak menemukannya sama sekali. "Sialan, ngerepotin aja sih!" Hanna mengedarkan pandangannya sekali lagi sebelum keluar dari mini market tersebut, hingga dia mendengar suara- suara.
Hanna berjalan ke arah sumber suara, dan matanya mengeryit melihat gadis yang dia cari sedang di sudutkan beberapa anak berseragam sekolah menengah.
"Udah gue bilang kan, beli rokoknya tiga. Masa cuma satu!"
"Abangnya gak ngasih, kak," cicit Naomi.
"Ya, mikir dong gimana caranya biar di kasih. Bilang kek punya bokap Lo!" Gadis kedua menoyor kepala Naomi, hingga wajah Naomi berpaling ke samping.
"Udah, abangnya tetep gak kasih, dia bilang gak percaya."
"Tolol banget sih lo!" sekali lagi Naomi di toyor.
"Harusnya pergi ke mini market lain!" Pipi Naomi di cubit hingga memerah.
"Lain kali beli tiga, ya!" satu orang lainnya menepuk pipi Naomi.
"Awas lo jangan sekali- kali bilang sama orang lain!" Baru saja mereka akan pergi Hanna berdehem.
"Mau pada kemana?" Hanna menaikan alisnya, menatap tiga anak gadis yang terkejut melihatnya, bukan apa- apa Hanna mengarahkan kamera ponsel ke arah mereka.
"Ayo lanjut lagi dong, biar seru. Masa cuma begitu doang? cubi lagi, jambak kek, masa begitu doang." Naomi menatap tajam pada Hanna.
"Ini lagi di dokumentasiin loh, ayo lanjut biar nontonnya gak tanggung!"
"Tante, jangan rekam- rekam!" Hanna berdecak. Anak jaman sekarang tidak takut pada orang dewasa, mereka bahkan hanya menatap acuh pada Hanna.
"Kalian ini masih kecil, bisa- bisanya ngebuli anak lain, malah beli rokok lagi."
"Tante mendingan jangan ikut campur, sana pergi!"
"Kan udah di bilang, lanjutin aja, biar aku rekam kelakuan kalian, biar orang tua kalian tahu."
Satu orang diantara mereka tertawa kecil. "Kalau udah tahu emang kamu bisa apa? Tante kamu akan kalah dan malu lawan orang tua kami."
Hanna menaikan alisnya dan melipat tangannya di dada "Oh, jadi kalian ini anak orang kaya? Siapa? Pejabat? Pengusaha? Asal kalian tahu ya, aku gak peduli, mau kalian anak presiden sekali pun, kalau vidio ini tersebar, habis kalian. Heran anak ingusan macam kalian gak ada takut- takutnya sama orang dewasa. Gak percaya aku bisa bikin kalian ngerasain akibatnya?"
"Mau coba vidio ini di upload, biar netizen tahu kelakuan kalian. Kalian gak tahu kan aku punya seratus ribu followers?"
Ketiga anak itu mulai gelagapan, lalu saling dorong dan pergi.
Naomi masih menatap tajam ke arah Hanna hingga Hanna mendengus. "Jangan geer, aku gak nolongin kamu! Aku cuma mempertahankan pekerjaanku. Kalau sampai si anak manja ini kenapa- napa, aku bisa di pecat."
Naomi berjalan mendekat dan melewati Hanna sambil berdesis "Di pecat jadi simpanan!"