NovelToon NovelToon
Sekeping Rasa Yang Tersembunyi

Sekeping Rasa Yang Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni / Enemy to Lovers / Rebirth For Love
Popularitas:614
Nilai: 5
Nama Author: Skyler Austin

Aruna dan Nathan adalah dua sahabat yang udah saling kenal sejak kecil. Hubungan mereka simpel banget, selalu saling mendukung tanpa drama. Tapi, ada satu rahasia besar yang disimpan Aruna: dia udah naksir Nathan selama bertahun-tahun.

Waktu Nathan mulai pacaran sama orang lain, hati Aruna mulai goyah. Dia harus pilih, terus memendam perasaan atau nekat bilang dan mungkin merusak persahabatan mereka. Sementara itu, Nathan juga ngerasa ada yang aneh, tapi dia nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.

Lama-lama, beberapa kejadian kecil mulai mengungkap perasaan mereka yang selama ini tertahan. Sampai suatu hari, di tengah hujan deras, momen itu datang dan semua jadi jelas. Tapi, apakah cinta yang lama dipendam ini bakal jadi awal yang baru, atau malah jadi akhir dari segalanya?

Sekeping Rasa yang Tersembunyi adalah cerita tentang berani menghadapi perasaan, kehilangan, dan keindahan cinta yang tumbuh diam-diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyler Austin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah Kecil, Keputusan Besar

Pagi itu, Aruna duduk di meja kerjanya sambil memandang laptop yang menyala. Sejak percakapannya dengan Nathan semalam, pikirannya terus penuh. Dia nggak tahu harus memulai harinya dari mana.

Tara mengetuk meja pelan, membuyarkan lamunan Aruna.

“Lo kenapa, Run? Dari tadi bengong mulu,” tanya Tara sambil menyesap kopinya.

“Enggak, gue cuma… kepikiran aja,” jawab Aruna sambil memaksakan senyum.

“Kepikiran Nathan lagi, ya?” Tara langsung menebak dengan ekspresi jahil di wajahnya.

“Lo kok tahu aja, sih?” Aruna pura-pura kesal.

“Ya elah, Run. Muka lo tuh nggak bisa bohong. Tapi gue penasaran, Nathan udah bilang sesuatu yang jelas belum?”

Aruna terdiam. Dia masih ingat jelas kata-kata Nathan semalam, tapi dia nggak tahu harus ngapain dengan perasaan itu.

“Dia bilang dia suka sama gue,” akhirnya Aruna mengaku.

Tara langsung terbelalak. “Hah?! Serius? Trus lo jawab apa?”

“Gue bilang gue juga suka, tapi gue butuh waktu,” kata Aruna pelan.

Tara mengangguk pelan, lalu duduk di kursi sebelah Aruna. “Menurut gue, lo nggak salah. Kadang, kita emang perlu waktu buat ngerti apa yang kita mau. Tapi jangan terlalu lama, ya. Jangan sampai lo kehilangan kesempatan.”

“Thanks, Tar. Lo selalu bikin gue ngerasa lebih baik,” ujar Aruna sambil tersenyum kecil.

Sore harinya, Aruna memutuskan untuk jalan-jalan ke kafe favoritnya. Dia butuh waktu untuk sendiri, dan tempat itu selalu jadi pilihan yang tepat.

Saat dia masuk, dia melihat Reyhan duduk di sudut ruangan, asyik dengan laptopnya.

“Eh, Reyhan! Lo ngapain di sini?” tanya Aruna sambil menghampiri.

Reyhan tersenyum. “Nyelesain kerjaan. Lo sendiri?”

“Cuma pengen ngadem, sambil mikir-mikir dikit,” jawab Aruna sambil duduk di kursi depan Reyhan.

“Mikirin Nathan lagi?” tebak Reyhan dengan nada santai.

Aruna mendengus kecil. “Kenapa semua orang kayaknya tahu gue mikirin dia, sih?”

“Karena keliatan banget, Run. Tapi gue seneng lo mulai mikirin diri lo juga. Itu penting,” kata Reyhan sambil menutup laptopnya.

Aruna mengangguk. “Lo bener. Gue capek terus-terusan nunggu dia. Gue harus mulai belajar untuk nggak terlalu bergantung.”

“Good. Kalau lo butuh teman buat cerita atau sekadar nongkrong, gue ada, kok,” kata Reyhan sambil tersenyum lebar.

Aruna merasa sedikit lega. Dia tahu dia nggak sendirian.

Malam harinya, Aruna pulang ke rumah dan mendapati ibunya duduk di ruang tamu sambil membaca buku.

“Ibu nggak tidur?” tanya Aruna sambil duduk di sebelahnya.

“Belum. Ibu nunggu kamu pulang. Gimana harimu?” tanya Ibu Aruna lembut.

“Ya… lumayan. Banyak hal yang harus gue pikirin,” jawab Aruna.

Ibunya menatap Aruna dengan penuh perhatian. “Aruna, ibu tahu kamu sekarang lagi bingung. Tapi ingat, apapun yang kamu putuskan, pastikan itu buat kebahagiaan kamu, ya.”

Kata-kata ibunya seperti pelukan hangat yang selalu Aruna butuhkan. Dia mengangguk pelan, merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapi semuanya.

Hari berikutnya, Aruna memutuskan untuk mengambil langkah kecil dalam menghadapi kekacauan perasaannya. Dia menelpon Nathan, meskipun tangannya sempat gemetar saat mengetik nomornya.

“Halo, Run?” suara Nathan terdengar dari seberang telepon, terdengar lembut tapi juga penuh rasa penasaran.

“Halo, Than. Lo sibuk nggak hari ini?” Aruna mencoba terdengar santai, meski jantungnya berdetak kencang.

“Enggak, kenapa? Lo mau ketemu?”

“Iya. Ada yang pengen gue omongin,” jawab Aruna.

Nathan nggak butuh waktu lama untuk setuju. “Oke. Kafe tempat biasa, jam 4 sore?”

“Deal,” kata Aruna sambil menghembuskan napas panjang setelah panggilan berakhir.

Sore itu, Aruna tiba lebih dulu di kafe. Dia duduk di meja dekat jendela, menatap jalanan di luar sambil menggenggam cangkir kopi hangat. Hatinya nggak berhenti berdebar, tapi dia tahu ini keputusan yang harus dia ambil.

Nggak lama kemudian, Nathan muncul dengan senyum kecil di wajahnya. Dia langsung berjalan ke arah meja Aruna.

“Lo udah lama nunggu?” tanya Nathan sambil duduk di depannya.

“Baru aja. Lo pesan dulu deh, gue nungguin,” ujar Aruna sambil tersenyum tipis.

Setelah Nathan kembali dengan kopinya, dia menatap Aruna dengan pandangan serius. “Oke, jadi… apa yang lo pengen omongin?”

Aruna menggigit bibirnya, mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. “Gue… mikirin apa yang lo bilang kemarin. Tentang lo suka sama gue.”

Nathan menatapnya tanpa berkata apa-apa, membiarkan Aruna melanjutkan.

“Jujur, gue juga suka sama lo, Than. Tapi situasinya ribet banget. Gue nggak mau semuanya jadi aneh di antara kita,” kata Aruna akhirnya.

Nathan mengangguk pelan. “Gue ngerti. Gue juga nggak mau kehilangan lo, Run. Lo penting banget buat gue, lebih dari sekadar sahabat.”

Aruna tersenyum kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. “Makanya, gue butuh waktu. Gue pengen pastiin kalau apa yang kita rasain ini bener-bener worth it buat diperjuangin.”

Nathan meraih tangan Aruna di atas meja, genggamannya hangat dan menenangkan. “Gue bakal nunggu, Run. Mau berapa lama pun. Yang penting, gue tahu perasaan kita sama.”

Kata-kata Nathan membuat Aruna merasa lega sekaligus terharu. Dia nggak menyangka Nathan bisa sebaik ini menghadapi semua kebingungannya.

Malam harinya, saat Aruna sedang di kamarnya, Reyhan mengirimi pesan.

Reyhan: “Gimana? Udah ngobrol sama Nathan?”

Aruna: “Udah. Gue bilang gue butuh waktu, dan dia nerima.”

Reyhan: “Good. Gue seneng lo bisa mulai terbuka.”

Aruna: “Thanks, Han. Lo selalu ada buat gue.”

Reyhan: “Selalu. Jangan ragu buat cerita, ya.”

Aruna tersenyum kecil sambil membaca pesan itu. Dia merasa beruntung punya Reyhan yang selalu mendukungnya, meskipun dia tahu Reyhan sebenarnya juga punya rasa yang lebih dari sekadar teman untuknya.

Malam itu, Aruna duduk di balkon kamarnya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin dingin membelai wajahnya, membuat pikirannya lebih tenang setelah hari yang cukup emosional.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nadira.

Nadira: “Run, lo sibuk besok? Gue mau ngajak lo jalan.”

Aruna: “Enggak kok. Ada apa?”

Nadira: “Lo butuh refreshing. Gue tahu akhir-akhir ini lo pusing banget. Besok gue jemput, ya!”

Aruna tersenyum tipis. Nadira selalu tahu kapan dia butuh distraksi.

Keesokan harinya, Nadira benar-benar menjemput Aruna dengan motornya. Mereka pergi ke sebuah taman di pinggir kota, tempat yang tenang dengan suasana yang jauh dari hiruk-pikuk.

Di bawah pohon besar, Nadira duduk di atas tikar kecil yang dia bawa. “Oke, cerita. Semuanya. Gue nggak bakal pergi sampai lo selesai.”

Aruna tertawa kecil, lalu mulai menceritakan semuanya—dari perasaan Nathan, kebingungannya, hingga bagaimana dia merasa takut kehilangan persahabatan mereka.

“Gue ngerti, Run,” kata Nadira setelah mendengar semuanya. “Tapi lo juga harus inget, nggak ada hubungan yang sempurna. Kalau lo sama Nathan memang saling suka, ya kenapa harus takut?”

“Masalahnya bukan itu, Dir. Gue takut kalau kita nggak berhasil, semuanya bakal hancur,” jawab Aruna.

Nadira menepuk bahunya. “Lo nggak bisa hidup di dalam ketakutan terus, Run. Kadang lo harus ambil risiko. Kalau enggak, lo nggak akan pernah tahu hasilnya.”

Aruna mengangguk pelan. Dia tahu Nadira benar. Tapi tetap saja, hatinya belum sepenuhnya siap.

Sore harinya, setelah pulang dari taman, Aruna menerima telepon dari Reyhan.

“Lo lagi di mana?” tanya Reyhan.

“Baru pulang. Kenapa?”

“Ayo keluar. Gue ada tempat bagus buat lo,” katanya dengan nada antusias.

Aruna awalnya ragu, tapi akhirnya setuju. Reyhan menjemputnya dan membawa Aruna ke sebuah bukit kecil di pinggiran kota, tempat mereka bisa melihat pemandangan kota dari ketinggian.

“Kenapa lo bawa gue ke sini?” tanya Aruna, memandang ke arah lampu-lampu kota yang berkelap-kelip.

“Kadang, kita butuh jarak buat lihat semuanya lebih jelas,” jawab Reyhan sambil menatap Aruna. “Dari sini, semua kelihatan kecil, nggak serumit yang lo pikirkan.”

Aruna terdiam, merenungkan kata-kata Reyhan.

“Run,” Reyhan melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius. “Gue nggak mau maksa, tapi gue pengen lo tahu satu hal.”

“Apa?” Aruna menoleh, menatap Reyhan dengan bingung.

“Gue selalu ada buat lo, apa pun yang terjadi. Tapi kalau lo terus ragu, lo bisa kehilangan sesuatu yang sebenarnya lo inginkan,” kata Reyhan dengan nada tulus.

Kata-kata itu menusuk hati Aruna. Dia tahu Reyhan benar. Dia nggak bisa terus-terusan menghindari perasaannya sendiri.

Malam itu, sebelum tidur, Aruna membuka jurnal kecilnya dan menulis sesuatu:

“Kadang, perasaan yang kita coba sembunyikan malah jadi yang paling sulit diabaikan. Mungkin, sudah waktunya gue berhenti takut.”

Aruna menutup jurnalnya dengan napas panjang. Dia tahu, besok dia harus membuat keputusan yang lebih jelas, bukan hanya untuk Nathan, tapi juga untuk dirinya sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!