Surat keterangan infertil dari rumah sakit, membuat hidup Anyelir seketika hancur. Tidak ada kebanggaan lagi pada dirinya karena kekurangan tersebut. Namun sebuah kesalahan semalam bersama atasannya, membuat dia hamil. Mungkinkah seorang wanita yang sudah dinyatakan mandul, bisa punya anak? Atau ada sebuah kesalahan dari surat keterangan rumah sakit tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TATM BAB 31
"Mana Robby?" tanya Bu Dini yang baru saja memasuki dapur. "Kok gak kesini, masih mandi atau apa?" dia menatap Raisa dan Sera bergantian, lalu mengernyit melihat ekspresi dua gadis itu. "Dia gak mau ya?"
"Mas Robby udah sarapan. Mana dia yang masak pula," sahut Raisa geram.
"Hah, Robby masak buat Anye?"
"Iya, Bu." Raisa yang kesal, mengambil air putih setengah gelas lalu meneguk hingga tandas. Meletakkan gelas kosong ke atas meja dengan sedikit kasar sampai menimbulkan bunyi yang lumayan keras. "Pasti si mandul itu makin besar kepala diratukan kayak gitu sama Mas Robby. Mana Mas Robby belain dia tadi, aku kan kesel." Dia masih ingat bagaimana Robby marah sampai menggebrak meja. "Mas Robby juga bilang, kalau mulai hari ini, dia gak mau lagi berangkat dan pulang kantor bareng Sera."
Bu Dini langsung melihat kearah Sera. Pantas saja gadis itu terlihat sedih, hanya diam, menunduk sambil memainkan jemarinya. Ia berdiri, mendekati Sera lalu mengusap bahunya. "Tenang aja, nanti Ibu yang akan ngomong sama Robby."
"Mas Robby kayaknya benar-benar dipelet deh Bu sama si mandul," ujar Raisa. "Ya kali wanita mandul masih saja dipertahanin, gak mau nikah lagi padahal jelas-jelas calonnya udah ada. Kayak gak masuk akal gitu."
Di rumahnya, Anye yang baru selesai makan, mencuci piring bekas makannya dan Robby, juga beberapa peralatan dapur yang kotor.
"Nanti malam gak usah masak," Robby mendekati Anye, membantu istrinya itu membilas piring. "Nanti malam, kita dinner di luar."
"Gak usah repot-repot, Mas. Apapun yang kamu lakukan, tak akan mengubah keputusanku."
"Nye... " Robby mende sah pelan. "Tolong fikirkan lagi. Jangan membuat 4 tahun ini, hanya sia-sia dan jadi kenangan. Aku mau kita memperbaiki semuanya dari awal."
"Robby!" Teriakan dari arah pintu dapur, membuat Robby dan Anye langsung menoleh. Terlihat Bu Dini masuk dengan langkah lebar dan ekspresi penuh emosi. "Kamu nyuci piring?" mata Bu Dini melotot melihat apa yang dilakukan putranya. "Heh mandul!" ia menarik lengan Anye kasar hingga menghadap kearahnya. "Gak tahu diri banget kamu ya. Udah mandul, gak guna, masih nyuruh anakku melakukan pekerjaan rumah."
"Anye gak nyuruh, Bu." Robby menarik tangan ibunya hingga lepas dari lengan Anye. "Aku sendiri yang mau bantuin dia nyuci piring. Lagian apa salahnya, suami istri kerjasama melakukan pekerjaan rumah. Lagian Anye juga kerja, bantuin perekonomiannya keluarga."
"Bodoh!" Bu Dini mendorong kepala Robby menggunakan telunjuk. "Mau maunya kamu dibabuin sama si mandul ini," dia menatap Anye nyalang.
"Aku gak merasa dibabuin, Bu. Mulai sekarang, tolong jangan terlalu ikut campur urusan rumah tangga Robby."
Bu Dini syok mendengar perkataan Robby. Tak pernah sebelumnya, Robby melawannya seperti ini. Ia menggeleng sambil mengusap dada. "Kamu apain anak saya sampai jadi seperti ini? Pasti kamu sudah mencuci otaknya hingga dia bisa melawan omongan ibunya."
Anye hanya menunjukkan ekspresi datar, sama sekali tak ingin melawan. Dia sudah sangat muak dengan semua ini.
"Ibu gak mau tahu ya, Rob. Pokoknya kamu harus nebengin Sera setiap hari. Kamu masih ingatkan, ibunya Sera, nitipin dia ke kamu."
"Aku bukan suaminya, Bu, ngapain juga dititipin ke aku."
"Robby!" Bu Dini meradang karena sekali lagi, Robby melawan omongannya. Nafasnya sampai naik turun dan wajahnya memerah.
"Robby udah mau telat, Bu. Sebaiknya ibu pulang." Robby membasuh tangan, menarik lengan Anye meninggalkan dapur, menaiki tangga menuju kamar.
"Robby!" teriak Bu Dini yang kesal diabaikan seperti ini, namun alih-alih menyahuti, Robby bahkan tidak menoleh.
Anye benar-benar melihat Robby seperti orang yang berbeda. Ini tak seperti Robby yang biasanya, yang selalu gak enakan dan nurut apa kata ibunya.
Robby mengambil baju di almari lalu berganti pakaian. "Kalau kamu gak nyaman, kita bisa pindah dari rumah ini."
Anye seketika melongo. Sungguh, ini tak seperti Robby yang dia kenal. Ada apa dengan suaminya itu?
Robby mengulurkan lengannya ke arah Anye, meminta bantuan untuk mengancingkan bagian lengan. "Kita bisa ambil KPR. Tabunganku cukup kalau untuk DP."
"Kamu gak perlu melakukan sampai sejauh ini, Mas. Aku gak mau dikira jahat karena menjauhkan kamu dari keluarga kamu. Keputusanku masih sama, aku ingin kita ber_"
"Nye... " Robby membuang nafas lelah. "Please, jangan bahas tentang itu lagi." Dia menatap kedua bola mata Anye, menangkup pipinya. "Aku sayang sama kamu, aku gak mau kita pisah."
"Tapi keluarga kamu gak suka sama aku, Mas."
"Yang menjalani pernikahan ini, aku sama kamu, bukan mereka. Kalau kamu tak nyaman disini, kita pindah."
"Tapi aku gak bisa ngasih kamu keturunan, Mas. Jangan sia-siakan hidup kamu demi wanita mandul seperti aku."
Robby memeluk Anye, menyembunyikan matanya yang berair di balik punggung istrinya tersebut. Diam-diam menyekanya. "Aku tak peduli itu. Aku akan menerima kamu apa adanya. Aku sayang kamu, Nye. Ayo kita tunjukkan pada semua orang, kalau kita bahagia meski tanpa anak. Tapi jika kamu memang sangat menginginkannya anak, kita bisa mengadopsi dari panti asuhan, seperti rencana kita dulu."
"Tapi.. "
"Anye, please," Robby menatap Anye dengan mata berkaca-kaca. "Kita perbaiki lagi hubungan kita. Aku gak mau pisah dari kamu. Aku sudah pernah janji untuk tidak poligami, jadi please, jangan lagi meminta cerai. Aku tak ingin pernikahan ini hanya sampai 4 tahun, tapi selamanya."
Melihat Robby menangis, Anye semakin merasa bersalah. Disini dia yang sudah selingkuh, tapi Robby malah sampai menangis, memintanya untuk tetap mempertahankan rumah tangga ini. Rasanya, dia benar-benar jahat. Robby berhak mendapatkan wanita yang lebih baik darinya, yang bisa memberi keturunan, dan bisa menjaga maruahnya. "Maaf, Mas, keputusanku masih sama. Aku ingin pisah."
Robby membuang nafas kasar, meraup wajah dengan kedua telapak tangan lalu,
"Apa yang kamu lakukan, Mas?" Anye kaget saat Robby tiba-tiba berlutut di kakinya. Hendak menjauh, tapi kedua lututnya lebih dulu ditahan oleh Robby.
"Aku bisa mengabulkan apapun permintaanmu, Nye, tapi tolong, jangan pernah meminta perceraian," Robby memohon dengan mata yang merah dan basah.
"Mas, please, jangan seperti ini," Anye mulai ikutan menangis. "Jangan membuat aku semakin merasa bersalah karena terus bersamamu. Aku gak sebaik yang kamu fikirkan. Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik daripada aku."
"Aku juga gak sebaik yang kamu fikirkan, Nye. Gak ada satu pun manusia yang sempurna. Gak ada orang yang luput dari dosa. Ayo kita perbaiki hubungan kita. Aku janji, akan lebih memprioritaskan kamu."
"Tapi, Mas.... "
"Kalau kamu ngotot, silakan ajukan gugatan cerai, tapi aku, aku akan terus memperjuangkan pernikahan ini, Nye."
kita tunggu sepak teejang Anye selanjurnya..
😀😀😀❤❤❤❤