Mereka bertemu dalam tujuan masing-masing. Seperti kata temannya dalam hubungan itu tidak ada perasaan yang dipertaruhkan hanya ada profesionalitas semata.
Bersama selama tujuh bulan sebagai pasangan suami-istri palsu adalah hal yang mudah pikir mereka. Tapi apakah benar takdir akan membiarkannya begitu saja?
"Maksudku. Kita tidak mudah akur bukan? kita sering bertengkar dan tidak cocok."
"Bernarkah? tapi aku merasa sebaliknya."
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Pelukan Nenek
Lentera Nursing Home tempat di mana neneknya dirawat berada jauh dari kota memakan perjalanan sekitar satu setengah jam, dia agak merasa bersalah karena harus meminta Chika mengantarkannya kesana tapi untung teman baiknya itu tidak keberatan karena ia juga ingin bertemu dengan sang nenek yang sudah dianggapnya sebagai nenek sendiri. Tiba di tempat itu, mereka disambut oleh salah satu perawat muda yang ia kenal.
"Mbak Kani!" ucap seorang perawat wanita yang dikenalinya bernama Tika.
"Sus, masih bisa masuk ke dalam kan?" tanya Kani yang sebelumnya sudah mengecek jam dan ternyata waktu jam besuk hanya tinggal sejam lagi.
"Masih bisa mbak, nenek Rahayu pasti senang ketemu mbak."
"Bagaimana keadaan nenek sus?".
"Untuk soal kondisi fisiknya baik, tapi ingatannya semakin parah. Kami mencoba yang terbaik untuk membantu nenek. Nah! Itu dia di sana."
Di dalam ruangan itu terlihat neneknya sedang menggambar buku dengan krayon tangan kanannya memegang krayon warna merah dan di kirinya memegang krayon warna hitam.
Kani menghampirinya dan menarik kursi yang ada di hadapannya, "Nek, Kani datang," tanyanya sembari memperhatikan gambar yang tidak jelas bentuknya apa.
Rahayu yang menyadari kehadiran gadis itu menatapnya dan berucap, "Sus. Lihat ini aku membuat gambar kucing, bagaimana bagus kan?".
Kani lantas memandangi gambar itu dengan perasaan campur aduk, "Wah, bagus sekali, nenek apa kabar baik kan?".
"Panggil aku kakak! Dasar tidak sopan."
Air mata menggenang di pelupuk mata Kani yang sedari tadi coba untuk ditahannya, "Kani senang nenek baik-baik saja. Maaf Kani tidak bisa untuk sering kemari." Sementara itu sang nenek tampak tidak peduli dengan apa yang Kani katakan, ia sibuk mencoret-coret buku gambarnya.
"Kani rindu. Boleh Kani peluk nenek sebentar saja?" tanya Kani sambil terisak pelan dan memeluk neneknya tanpa membuatnya terganggu. Pelukan itu membuatnya tenang seperti beban di dalam hatinya hilang begitu saja.
Di luar ruangan ada Chika yang sedang memperhatikan mereka dengan penuh haru. Ia ingat dulu nenek Rahayu orang yang sangat ramah dan hangat tiap kali ia datang kesana nenek akan memeluknya erat dan memasakkan makanan enak. Terkadang kali Chika menginap beberapa hari dan nenek memperlakukan dia sepeti cucu sendiri, ia merindukan momen itu.
Tiba-tiba ponselnya berdering, ternyata dari pacarnya, “Halo, kau di mana? Dari tadi aku menelepon tapi tidak diangkat."
"Maaf. Aku tidak dengar, aku sedang ada urusan yang penting. Apa ibumu marah karena aku pergi tadi?" tanya Chika mengingat kejadian tadi sewaktu di rumah sakit.
Ia mengunjungi Ayah Axel yang sedang dirawat karena penyakit jantungnya yang kambuh. Chika datang dengan persiapan penuh dia membawa buah-buahan segar, lalu Kani meneleponnya dan tiba-tiba dia merasa khawatir dan bergegas pamit pada orangtua Axel meskipun ada sedikit kebohongan di sana.
"Tidak, ibuku baik-baik saja, tadi Baswara menyuruhku bertanya padamu apa kau sedang bersama Kani." Chika kembali kesal mengingat apa yang pria itu lakukan pada sahabatnya.
"Dia tidak bersamaku, memangnya kenapa?" tanyanya pura-pura bodoh.
"Entahlah, dia terdengar panik tadi. Apa cafemu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya pria itu yang ternyata masih belum tau bahwa dia dibohongi oleh kekasihnya.
Jam besuk telah berakhir akhirnya Kani pamit pada neneknya dan disusul oleh Chika juga, setelah mengatakan sepatah kata pada perawat Tika mereka berdua pun pergi meninggalkan tempat itu.
Di dalam mobil Kani hanya terdiam menatap keluar, ia tidak ingin kembali ke rumah itu hatinya belum siap untuk bertemu dengan pria itu. Dengan segala pertimbangan ia memutuskan untuk kembali ke rumah neneknya sampai ia siap untuk menyelesaikan semuanya, Chika pun setuju agar sang teman menenangkan dirinya dulu.
***
Rumah itu tidak terlalu kotor karena setiap kali ke sana Kani selalu membersihkannya tapi tetap saja ada sedikit bau debu yang tercium, setelah menyalakan kipas angin mereka duduk di ruang keluarga dan membuka beberapa makanan yang mereka beli di perjalanan tadi.
"Obat terbaik ketika sedang marah adalah makanan enak," ucap Chika yang diikuti dengan anggukan setuju dari temannya.
"Maaf ya aku jadi merepotkanmu hari ini."
"Kau ini seperti orang lain saja, pasti ada waktu di mana kita saling merepotkan satu sama lain," ujar Chika sembari melakukan tos dengan minuman soda milik Kani.
"Jujurlah padaku Kani, apa kau punya perasaan padanya?".
Kani yang ditanyai hanya menatap sahabatnya itu sambil menimbang-nimbang sesuatu dipikirannya, “Entahlah, aku tidak tau."
"Aku khawatir kau sudah sampai ditahap itu."
"Tahap apa?" Ucap Kani yang terlihat sangat menikmati ayang gorem dihadapannya, hatinya kesal dan sedih kini perutnya pun ikut meronta minta untuk ditenangkan juga.
"Ditahap ingin menjadi bagian dari hidupnya," Kani tertegun sambil menatap Chika, ekspresi yang bisa disimpulkan sesuai dengan apa yang ia takutkan.
"Oh gawat!" seru Chika yang sepertinya tau ia benar.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 malam, sudah lama dia tidak mengobrol bersama sahabatnya selarut itu banyak hal berubah semenjak Chika membuka cafe sendiri dia lebih sibuk dan sangat lelah, mereka hanya bertemu ketika salah satunya ada waktu seperti libur kerja atau tidak ada kegiatan lain. Dulu mereka sering bercerita sampai dini hari karena Chika sering menginap di rumah ini sampai-sampai neneknya menegur mereka untuk segera tidur.
Tiba-tiba suara ketukan pintu membuat mereka waspada dan saling berpandangan. Kani lalu bangkit dan melangkah ke depan.
"Kevin?" ucapnya kaget melihat pria itu yang juga sama kagetnya.
"Aku mendengar ada suara dari bawah dan penasaran aku mengecek ke sini."
"Maaf karena mengganggumu, aku sedang bersama dengan temanku di dalam."
"Tidak apa Kani, sebenarnya aku juga tidak bisa tidur."
"Kalau begitu mau masuk ke dalam?" ucap Kani menawari pria itu untuk bergabung dengan mereka.
Chika kaget sekaligus tampak gembira melihat kedatangan seorang pria yang ia ketahui sebagai penyewa di lantai atas.
"Kalian sudah kenal kan, ayok duduk," ucap Kani sembari mengambil tempat duduk di samping Chika sementara itu Kevin duduk di sofa yang ada di sampingnya.
"Senang bertemu denganmu lagi tetangga," ucap Chika bahagia.
"Tampak seperti ada perayaan di sini."
"Iya perayaan untuk seseorang yang sedang patah hati," ucap Chika dengan asal yang disambut dengan sikutan dari Kani.
"Maksudnya aku yang patah hati."
"Makanan adalah obat terbaik untuk menyembuhkannya," ujar pria itu sembari mengambil sekaleng soda dan menenggaknya.
"Wah, kita sepertinya cocok." Kani hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap genit temannya itu, jika Axel mengetahui ini entah apa yang akan dilakukannya atau justru tidak masalah baginya karena dia juga sama bermasalahnya.
"Oh iya, waktu itu kita bertemu di pesta pak Banyu, apa kau mengenalnya?" tanya Chika penasaran sembari mengingat waktu ia pertama kali bertemu dengan Kevin.
"Bisa dibilang aku mengenalnya."
"Benarkah? Dunia sempit sekali."
"Aku juga mengenal Axel pacarmu." ucap pria itu yang membuag Chika terkejut.
"Bagaimana kalian bisa kenal?" desak Chika yang penasaran.
"Aku sepupunya Hany, kurasa itu cukup menjelaskannya." Chika dan Kani saling berpandangan seperti tidak percaya bahwa mereka saling berkaitan satu sama lain.
"Tunggu! Itu berarti kau ini anak pak Banyu?". Kani sebagai orang luar hanya bisa mendengarkan pembicaraan kedua orang itu baginya ia hanya kenal Baswara dan keluarganya saja.
"Ya, seperti itu. Mari kita bahas yang lain saja," ucap Kevin yang tampaknya tidak nyaman dengan arah pembicaraan itu.
"Maafkan aku, ngomong-ngomong tanaman di sana sepertinya tumbuh dengan baik," ucap Chika sembari melihat sekilas taman yang terlihat dari luar jendela.
"Kurasa kerja keras Kani membuahkan hasil, dia tampak sungguh-sungguh mengerjakannya," Kevin menatap wanita yang duduk di sebelah Chika sembari memberi penjelasan yang tidak diminta.
Chika seperti menangkap sesuatu yang aneh dari pria itu, lantas lalu melihat Kani yang juga balas menatapnya sambil memberi isyarat dengan matanya jangan berpikiran yang aneh-aneh.
Suara bel dari luar pagar menyita perhatian mereka bertiga, Kani melihat kearah jam dinding yang menunjukkan waktu hampir jam 2 pagi, siapa yang datang pikirnya.
"Apa kalian sedang menunggu seseorang?" tanya Kevin yang juga turut penasaran.
"Tidak ada."
"Jangan-jangan ada yang memanggil polisi karena kita berisik," canda Chika yang sebenarnya khawatir jika ucapannya benar.
"Biar aku saja yang melihatnya, mungkin orang iseng," ucap Kevin sembari berdiri menuju seseorang yang mungkin sedang menunggu di luar pagar.
Kani dan Chika mengikutinya dari belakang dan berdiri di ambang pintu utama untuk melihat siapa orang iseng yang memencet bel malam-malam begini.
Pintu pagar pun perlahan terbuka mengeluarkan suara berdecit karena sudah usang, angin bertiup masuk ketika pagar itu terbuka, dua orang wanita yang penasaran itu saling berdempetan untuk melihat siapa gerangan tamu yang datang, mata Kani melebar ketika dari balik pagar menampilkan sosok yang tinggi dengan pakaian serba hitam.