"ABANG HATI-HATI!!!" teriak seorang anak kecil menarik tangan Arrazi yang berdiri diatas pagar jembatan. Hingga keduanya terjatuh di alas jembatan yang berbahan beton.
"Aduh!" rintih gadis kecil yang badannya tertindih oleh Arrazi yang ukuran badannya lebih besar dan berat dari badan kecilnya. Laki-laki itu langsung bangun dan membantu si gadis kecil untuk bangun.
Setelah keduanya berdiri, si gadis kecil malah mengomel.
"Jangan berdiri di sana Bang, bahaya! Abang emang mau jatuh ke sungai, terus di makan buaya? Kalo Abang mati gimana? Kasian Mami Papinya Abang, nanti mereka sedih." omel gadis kecil itu dengan khawatir.
Menghiraukan omelan gadis kecil di depannya, Arrazi menjatuhkan pantatnya di atas jembatan, lalu menangis dengan menekukan kedua kaki dan tangannya menutupi wajah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 10 : KELUARGA DANIAH
Daniah baru saja sampai di rumahnya pukul delapan lewat du puluh menit malam. Matanya membulat saat melihat ada Mercedes berwarna putihnya terparkir di halaman rumah. Ia sangat mengenali siapa pemilik mobil itu.
Daniah berlari kecil memasuki rumah.
"Assalamualaikum Nenek!" seru Daniah berlari menghampiri seorang wanita berusia 79 tahun yang sedang duduk di ruang tengah bersama Mamanya. Ada Atha dan Fadilah juga yang duduk di lantai beralas karpet bulu. Atha sedang mengajari Fadillah mengerjakan PR.
"Wa'alaikumussalam."
Daniah mencium tangan Neneknya, lalu memeluknya. Kemudian mencium tangan Mamanya yang duduk di samping Neneknya.
"Apa kabar Nenek?" sapa Daniah. Ia begitu senang Neneknya datang berkunjung.
"Alhamdulillah Nenek baik. Yaya apa kabar?" tanya Athifah, memanggil Daniah dengan panggilan masa kecilnya.
"Alhamdulillah kabar Yaya juga baik, apalagi di datengin sama Nenek nambah baik." seru Daniah dengan jujur.
Ia memang merasa moodnya kembali membaik saat melihat ada orangtua dari Papinya datang, setelah seharian capek menghadapi pasien, belum lagi menghadapi sikap para perawat yang sedang di bakar cemburu hanya karena kesalahpahaman mereka terhadap hubungan Daniah dengan Dhafir.
Faiza tersenyum melihat interaksi antara mertua dengan anaknya.
"Kekek, ikut kan Nek?" tanya Daniah.
"Iya Kakek ikut. Kakek lagi ngobrol sama Papi kamu Yaya." jawab Athifah.
"Gini nih Dilla. Misalnya Dill punya permen 15, dikasih ke Abang 3. Nah sisa permen yang Dilla ada berapa?" tanya Atha memberi contoh dari soal matematika yang sedang dikerjakan Fadillah.
"15." jawab Fadillah dengan polos.
"Lah kok masih 15 sih? Jadi 12 dong Dil, kan udah di kasih ke Abang 3."
"Nggak ah! Dilla nggak mau kasih ke Abang. Permennya mau Dilla habisin semua!"
Daniah, Athifah dan Faiza tertawa mendengar jawaban Fadillah. Berbeda dengan Atha, ia terlihat kesal dengan jawaban sang Adik yang di luar konteks tugas matematikanya. Bahkan tangan Atha sudah mengepal ingin menjitak kepala bocah kecil itu.
"Gigi Dilla udah ompong, emangnya Dilla mau giginya habis gara-gara makan permen? Jadi Dilla ompong namanya, bukan Fadillah Daimah." ledek Atha.
Pipi Fadillah mengembung, hidungnya kembang kempis dan matanya sudah mulai memproduksi air mata.
"NGGAK! DILLA NGGAK MAU DI PANGGIL OMPONG!" teriak Dilla memukuli Atha. Atha menjadikan kedua tangan sebagai tameng dari pukulan Dilla yang mengarah ke kepalanya.
"Ya makanya bagi ke Abang permennya." ledek Atha seolah-olah permen yang jadi permisahan itu nyata adanya.
Atha semakin senang meledek Adiknya yang usianya terpaut 19 tahun darinya. Fadillah masih memukuli Atha dengan kesal dan air mata yang semakain membasahi pipi chubbynya.
"Nggak mau!"
Daniah dan Athifah tertawa menyaksikan drama anak sulung dan anak bungsu yang terpaut jarak usianya. Sedangkan Faiza berusaha untuk menghentikan Fadillah yang memukuli Atha.
"Nenek dari kapan ke sini?" tanya Daniah mengalihkan perhatian dari Atha dan Fadillah yang sudah mulai berbaikan, karena bujukan sang Mami.
"Dari jam 10." jawab Athifah.
"Oya? Kok nggak ngabarin Yaya? Kan kalo gitu Yaya bisa izin pulang waktu istrirahat siang buat nemuin Nenek sama Kakek." protes Daniah, lalu mengembungkan pipinya.
"Ya Allah Yaya......makin gemesin aja sih kamu ini." puji Athifah mencubit gemas pipi Daniah. Daniah ngenyir
"Gemesin pengen nampol, ya Nek." ceplos Atha yang geli melihat eskpresi wajah Daniah yang di buat-buat.
"Abang..." panggil Faiza mengantisipasi terlebih dahulu, sebelum Atha kembali melancarkan kejahilannya kepada Daniah.
Baru selesai dengan Fadillah yang baru saja reda tangisnya, sepertinya Atha juga akan membuat masalah dengan Daniah. Dan itu adalah kesenangan bagi Atha.
"Bercanda, Mi." kekeh Atha, lali ia menyomot keripik singkong dari toples yang tersedia di meja.
Daniah menyeringai kearah Atha. Dengan bahasa wajah mengatakan '*Sukurin lo Bang*.'
"Yaya udah makan?" tanya Athifah.
Daniah menggeleng.
"Makan dulu sana. Tadi Nenek masak ayam kecap, kesukaan Yaya."
"Oh iya Nek? Ya udah kalo gitu Yaya makan dulu ya Nek. Udah laper juga ini." ujar Daniah sambil memegang perutnya.
"Mandi dulu Nia, badan kamu bau ketek!" ceplos Atha diiringi kekehan.
"Awww!" pekik Atha merasakan perih di kepala, karena Daniah menjambak rambutnya.
***
"Assalamualaikum, Kakek! Papi!" sapa Daniah menghampiri Papi dan Kakeknya yang sedang mengobrol di balkon rumah.
Wajah mereka langsung menegang mengapati Daniah yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
"Kakek? Papa? Kalian kenapa?" tanya Daniah heran dengan ekspresi kaget dari keduanya.
"Eh? Nggak papa. Kamu baru pulang, Nia? tanya Basim, sang Kakek yang kemudin mengulurkan tangan kanannya, karena Daniah akan mencium tangannya itu.
"Udah Kek. Baru banget." jawab Daniah, lalu bergantian mencium tangan Papinya.
"Berarti kamu baru banget datang kan, Nia?" tanya Dhiau dengan serius. Daniah mengangguk.
"Iya Pi. Emang kenapa, Pi?" tanya Daniah.
"Yaya makan dulu sana. Tadi Nenek masak ayam kecap tuh, buat Daniah." ujar sang Kekek mengalihkan pertanyaan Daniah kepada Papinya.
"Oh, iya Kek. Ini juga aku mau makan. Tapi mau ketemu Kakek dulu. Habisnya aku kangen banget sama Kakek." ujar Daniah mengungkapkan perasaannya.
Diantara cucu yang lain, Daniah memang lebih dekat dengan Kakek, Neneknya. Selain ia cucu perempuan pertama, Daniah juga pernah tinggal selama 3 tahun bersama Kakek dan Neneknya waktu berusia 7 tahun sampai 10 tahun.
Daniah adalah satu-satunya cucu yang mau tinggal selama itu di kampung halaman Kakeknya. Daripada cucu Basim yang lainnya.
"Iya, Kakek juga kangen sama kamu. Tapi kayaknya kamu sibuk ya di RS sampai jarang telepon Kakek sama Nenek." ujar Basim memperhatikan wajah Daniah yang terlihat lelah. Namun tetap memperlihatkan senyumannya.
"Iya Kek. Lumayan sibuk. Apalagi kemarin-kemarin aku sampe nggak dapat waktu libur. Ah, rasanya lelah, tapi kalo nyerah ya sayang. heheh."
"Jangan dong. Cucu Kakek itu pantang menyerah. Masa cuma masalah kayak gitu aja nyerah. Hadapi setiap masalah itu dengan hati yang lapang....."
"Dan kesabaran." ujar Daniah menginterupsi kalimat yang di katakan Kakeknya. Daniah sudah hafal betul dengan kalimat ajaib yang selalu di ucapkan Kakeknya saat menasehatinya.
Basim mengacak rambut Daniah.
"Udah gede cucu ya cucu Kakek. Udah pinterjuga." puji Basim.
Daniah menjauhkan tangan Kakeknya dari kepalanya.
"Kakek ih, kebiasaan sukanya ngacak-ngacak rambut aku." protes Daniah.
Basim tertawa mendengar protes dari Daniah di sebabkan kegemasannya kepada sang cucu. Sedangkan Dhiau memperhatikan Daniah dengan intens. Ada sesuatu yang sedang ia pikirkan mengenai anak gadisnya itu.
***
"Sayang, rasanya aku nggak sanggup kalau harus di tinggalin sama anak kita." uca seorang suami kepada istrinya, kala mereka hendak tidur. Sedangkan lampu kamar pun sudah di matikan.
Namun mata sang suami belum juga bisa terpejam. Sedangkan sang istri membuka matanya kembali saat mendengar suara suaminya yang terdengar berat seperti menahan tangis. Tangan sang istri mengelus pipi suami, ia memandangi wajah suami yang sedikit terlihat cahaya temaram. Sang suami terlihat sedih.
"Mas, fase di tinggal anak pasti terjadi kapan pun itu. Siap nggak siap, hal itu akan terjadi, Sayang." ucapnya dengan lembut.
"Tapi rasanya aku belum siap, Sayang. Gadis kecil yang kita besarkan bersama. Yang begitu periang, manja dan cengeng itu akan ninggalin kita, aku nggak sanggup." air mat sang suami membasahi tangan istrinya yang masih mengelus pipinya.
"Sayang, anak kita udah besar. Dia punya kehidupannya sendiri. Dia berhak menentukan pilihannya. Kita sebagai orangtua harus dukung dab doakan untuk kebaikannya."
"Apa nggak terlalu cepat Papi minta anak kita, Sayang? Atau aku tolak aja ya permintaan Papi."
"Mas, aku yakin, Papi udah memikirkannya matang-matang dan aku yakin Papi akan memberikan yang terbaik untuk anak kita."
"Kamu seyakin itu sama permintaan Papi."
Sang istri terdiam sejenak.
"Sebenarnya nggak juga. Tapi nggak ada salahnya kan menuruti permintaan Papi? Aku yakin itu yang terbaik untuk anak kita dan pilihan akhir ada di tangan anak kita. Kalau dia mau, langsung di lanjut, tapi kalau nggak kan, itu pilihannya juga. Udah Mas, kamu jangan khawatir....."
"Atau aku bilang aja ya ke dia buat tolak permintaan Papi."
"Jangan Mas, biar dia yang memilih. Jangan paksa dan jangan larang, dia berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri."
*Deep talk* sepasang suami-istri itu masih berlanjut, mereka banyak membicarakan perigal anak-anaknya. Hingga salah satu diantara mereka tertidur, barulah deep talk berhenti.
ha..ha...ha