Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Happy Ending? (3)
Oke, sudah kuputuskan kalau aku akan menolak lamarannya dengan tegas.
Sebelum aku sempat memberikan jawaban atas lamaran dadakan hari ini, pria di hadapanku sudah berucap lebih dulu dariku.
Sebagai manusia elit yang beradab, maka aku harus mendengarkan orang yang sedang berbicara.
"Maaf, kalau terlalu mendadak. Anda pasti bingung. Padahal, kita tidak saling kenal dengan baik sebelumnya. Anda tidak harus menjawabnya sekarang. Jadi, silahkan pikirkan baik-baik soal lamaran saya ini," ucapnya lembut dan diiringi dengan senyuman yang menenangkan. Hampir saja, aku jatuh hati melihat senyumnya.
Tapi sayang sekali, aku sudah membuat keputusan. Tanpa pikir panjang pun, aku sudah siap untuk membuat penolakan. Namun, lagi-lagi dia terus menghalangiku yang hendak bicara.
'Apa dia sengaja?'
"Anda juga pasti bertanya-tanya, kenapa saya melamar anda secara tiba-tiba seperti ini. Yah, tidak bisa disebut tiba-tiba juga, karena saya sudah banyak persiapan sebelumnya," ujarnya sambil sesekali menatap lantai.
'Apa maksudnya tiga hari ini? Jadi, Jaka juga ikut membantunya? Dan bukankan tiga hari itu terlalu singkat, untuk memutuskan hendak melamar seorang pendamping hidup?' Aku terheran-heran. Pikiranku juga tidak sampai.
Sebenarnya, aku ini wanita ke-berapa? Tidak, maksudku, berapa banyak wanita yang berhasil ia taklukkan dengan menggunakan wajah dan seluruh materi yang ia punya? Wanita memang sesuka itu dengan uang, apalagi jika pria ber-uang itu juga memiliki fisik yang rupawan. Pria ini memang definisi dari 'no minus' yang sesungguhnya.
Pria di hadapanku terlihat menurunkan kedua tangannya dari atas meja. Wajahnya tampak tegang.
'Dia kenapa?' batinku, mengamati gerak-geriknya yang tampak mencurigakan.
'Apa mau BAB?'
"Begini. Selain berkat kecantikan anda, saya juga telah terpikat karena di mata saya, anda adalah seorang wanita yang tangguh dan kuat. Saya benar-benar membutuhkan wanita seperti anda dalam hidup saya." Kata-kata darinya ini berhasil membuatku mematung seketika.
'Bagaimana bisa, gombalan semacam ini mampu memikat hatiku?' Tapi, gombalan darinya ini adalah kalimat yang sangat tepat untuk menggambarkan diriku.
Benar. Ucapannya memang benar. Dia telah mengucapkan perkataan yang paling ingin kudengar.
"Saya bersedia." Ucapanku yang tegas dan tiba-tiba ini, membuat pria dihadapanku terkejut dengan ekspresi tidak percaya.
'Wah, dia sesenang itu?' Aku berubah pikiran hanya dalam sekian detik dan segera menerima lamarannya. Anggap saja, aku merupakan orang yang mudah goyah.
Memang. Lagi pula, aku ingat ada kata-kata mutiara bahwa 'jodoh tidak kemana'. Dan sepertinya memang benar.
Aku hanya bercanda soal Jaka kemarin. Dia sama sekali bukan tipe idealku. Dan pria di hadapanku ini, seratus kali jauh lebih baik. Entah dari fisik, maupun materi.
Sebenarnya, aku sama sekali tidak ada pikiran untuk mencari pasangan secepat ini. Awalnya, aku ingin mengejar karir terlebih dahulu.
Rasanya, aku seperti didatangi oleh ikan besar, bahkan sebelum mulai melempar umpan untuk memancing. Yah, apa boleh buat? Aku memang cukup cantik dan menarik. Namun, aku tidak menyangka kalau aku secantik itu sampai bisa menarik perhatian seorang pangeran dari negeri Beentang.
Anggap saja ceritanya begitu, karena aku terkadang memang suka berkhayal.
"Anda serius?" tanya pria di hadapanku dengan kedua mata berbinar, seakan sedang memastikan bahwa pendengarannya tidak salah, setelah aku menerima lamarannya barusan.
Aku tersenyum. "Tentu saja, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang datang."
"Seandainya anda menolak pun, saya tetap akan terus berusaha sampai mendapatkan jawaban yang saya inginkan." Ha ha! Pria yang lucu.
"Jadi, kapan pernikahan akan dilangsungkan?" Aku dengan berani menanyakan soal pernikahan padanya. Bukan tanpa alasan. Kata pernikahan, merupakan sesuatu yang tepat untuk menguji kesungguhan seorang pria.
"Setelah semua persiapan selesai, acara pernikahan bisa segera dilangsungkan. Saya akan mengikuti permintaan anda. Waktu, lokasi, dekorasi dan semuanya. Apapun itu." Tak kusangka, dia meresponnya dengan sesantai itu. Berarti dia serius.
"Oh, ya. Anda menginginkan mahar apa? Akan segera saya carikan." Pertanyaan ini, membuatku mengerutkan kening.
'Iya, ya. Menikah juga ada hal seperti itu juga.'
Namun, aku sama sekali tidak terpikirkan apapun saat ini.
Kenapa aku harus menginginkan hal lain lagi? Bukankah dengan menikah dengannya, aku sudah bisa menguasai sebagian hartanya?
Sekarang, aku adalah seorang calon nyonya besar, kan?
...~...
"Wah, cerita anda terdengar seperti kisah Cinderella," ucap seorang psikolog yang masih setia mendengarkan kisah panjang dari pasiennya.
"Kemarin, anda menceritakan kisah yang sedih. Apakah ini happy ending?" komentar psikolog itu lagi, diiringi dengan senyuman lebar.
"Anda masih bisa berkata begitu, padahal sudah jelas apa yang sedang terjadi dan ramai di luar sana," jawab Beta sambil menatap ke arah wanita yang lebih muda darinya itu dengan tatapan datar. Nada bicaranya juga terdengar sangat dingin.
Memang benar. Jika cerita Beta itu merupakan kisah ala putri Disney, sudah dipastikan bahwa momen pernikahan dengan pangeran merupakan akhir yang bahagia.
Namun, sayang sekali, Beta bukanlah seorang putri dari negeri dongeng. Setelah menikah pun, ceritanya masih terus berlanjut. Inilah yang disebut dengan 'After Happy Ending'.
"Maaf. Saya hanya berpikir kalau pernikahan anda itu pasti penuh dengan kebahagiaan," tebak sang psikolog.
"Benar. Saya bahagia. Sangat bahagia. Namun, apakah anda tahu, kalau kita berdiri di depan cahaya yang terang, maka akan ada bayangan gelap yang mengikuti kita di belakang?" Pertanyaan yang Beta ajukan, membuat psikolog itu berpikir sejenak.
"Hmm, masuk akal!" balas sang psikolog terlihat antusias menjawab.
Setelah itu, terjadi keheningan cukup lama. Kedua wanita itu tampak sedang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
"Em, omong-omong, apa saat itu, anda benar-benar tidak menginginkan mahar apapun? Padahal, banyak sekali wanita di luar sana yang berlomba-lomba meminta mahar yang mahal kepada sang calon suami." Pertanyaan dari psikolog itu, membuat Beta mendongak, menatap lawan bicaranya.
"Siapa bilang, saya tidak menginginkan apapun darinya?" jawab Beta santai.
Psikolog itu sedikit terkejut dan menaikkan kedua alisnya. "Oh, iya kah?"
...~...
"Jadi, anda menginginkan apa?" tanya pria dihadapanku dengan ekspresi wajah terlihat penasaran.
Aku tersenyum sebelum menjawab. "Perlakukan saya dengan baik." Itulah permintaanku padanya.
Dia tersenyum. "Tanpa diminta pun, pasti akan saya lakukan. Terima kasih, telah menerima lamaran saya."
Pria dihadapanku, mengatakan bahwa dia menyanggupi permintaanku barusan. Meski permintaanku tadi terdengar sepele, namun hal itu merupakan sesuatu yang penting dan sering terabaikan.
Terkadang, seseorang yang merasa dirinya lebih berkuasa, bisa saja memperlakukan orang-orang di dekatnya, bahkan keluarganya sendiri dengan semena-mena. Seakan dirinya adalah seorang raja, hanya karena banyaknya harta yang dimiliki.
Mahar dariku itu adalah sebuah janji. Janji bahwa calon suamiku benar-benar akan menghargai dan menghormatiku sebagai wanita yang akan mendampinginya, tidak peduli akan segala perbedaan status kekayaan dan juga latar belakang keluarga kami masing-masing.
Ternyata, lamaran hari ini benar-benar telah dipersiapkan dengan baik. Saat ini, seluruh pelanggan yang tadi berlalu-lalang di dalam restoran, tampak berdiri dan menyoraki kami berdua.
Pria yang kini merupakan calon suamiku, mengatakan kalau mereka semua adalah para karyawan yang berkerja di perusahaannya. Dan kini, mereka diminta oleh sang bos untuk ikut menjadi saksi atas momen lamaran hari ini.
Meski tidak menyangka dan terkejut, namun aku cukup menyukai cara dia melamarku. Aku seakan dapat melihat kesungguhannya.
Dan sebulan kemudian, kami pun segera melangsungkan pernikahan yang diadakan dengan cukup meriah.
Meski bisa dibilang, aku menikah tanpa cinta, namun aku adalah seorang wanita yang cerdas. Selama berjalannya waktu, aku pasti bisa mengerti tentang apa itu cinta.
'Tapi tunggu. Apakah cinta itu adalah sesuatu yang dapat dipelajari?'
Selama hidup, aku benar-benar tidak mengerti tentang hal yang berkaitan dengan cinta terhadap lawan jenis.
Apakah itu sama dengan rasa cintaku terhadap uang?
Entahlah. Suatu saat, aku pasti akan mengerti. Aku yakin.
...~...