Devina adalah seorang mahasiswi miskin yang harus bekerja sampingan untuk membiayai kuliahnya dan biaya hidupnya sendiri. Suatu ketika dia di tawari dosennya untuk menjadi guru privat seorang anak yang duduk di bangku SMP kelas 3 untuk persiapan masuk ke SMA. Ternyata anak lelaki yang dia ajar adalah seorang model dan aktor yang terkenal. Dan ternyata anak lelaki itu jatuh cinta pada Devina dan terang-terangan menyatakan rasa sukanya.
Apakah yang akan Devina lakukan? apakah dia akan menerima cinta bocah ingusan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tami chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan kangen.
"Ayo ku antar pulang!?" ucap Devan setelah keluar dari kamar mandi.
"Nggak usah, aku mau pulang sendiri! aku tuh bukan kucing yang nyawanya ada sembilan! tadi udah dua kali aku hampir jatuh dari motormu!" kesal Devi sambil meraih tas ranselnya.
"Makanya pegangan yang kenceng biar nggak jatuh!?" ketus Devan. Dia berjalan ke arah pintu dan membukanya, lalu mempersilahkan Devi untuk keluar duluan.
Saat Devi berjalan, tiba-tiba dia teringat ponselnya, "oh iya Dev!" tiba-tiba Devi berbalik dan menubruk dada Devan. "Aah!" pekik Devi kaget.
Devan spontan memegangi lengan Devi karena dia hampir terjatuh.
Devi mendongak dan tanpa sengaja tatapan kedua insan itu beradu -cukup lama- sampai terdengar sebuah suara dari lantai satu yang membuat Devi tersadar dan langsung memalingkan wajahnya.
"Su-suara apa itu, Dev? Jangan-jangan hantu..." ucap Devi sedikit gagap. Mana mungkin dia tak gagap, dirinya baru saja bertatapan dengan mata indah Devan yang membuat semua sendi di tubuhnya melemas.
Devi, dia cuma bocah! ingat itu!
Devan menarik napasnya lalu berjalan mendahului Devi, turun ke lantai satu dan mencari-cari asal suara barusan.
"Papi! lagi ngapain?"
Setelah mendengar ucapan Devan, Devi menghela napas lega. Ternyata Om Aldrich, untung saja bukan hantu. Lalu Devi bergegas menuruni tangga untuk menyusul Devan dan menyapa Aldrich.
"Om," sapanya sopan.
"Lho, ada Devi, ya? kalian habis belajar?" tanya Aldrich yang sedang duduk santai di sofa sambil membuka tab-nya.
"I-iya, Om. Saya permisi pulang dulu," Devi menyalami tangan Aldrich lalu bergegas menuju pintu utama.
"Tunggu dulu," Devan segera mengejar Devi, "aku antar!" ucap Devan bersikeras.
"Nggak usah Devan!"
"Aku janji nggak ngebut!"
"Nggak perlu, aku bisa pulang sendiri!"
"Bagaimana kalau Dimas lagi nungguin kamu di depan kos kayak kemarin?!"
Ucapan Devan ada benarnya juga, Devi agak terganggu memang dengan kemunculan Dimas di dekat kos nya.
"Oke deh, tapi jangan ngebut!"
Devan mengangguk, "sebentar aku pamit sama Papi," Devan bergegas masuk ke dalam rumah, lalu tak lama dia muncul sambil berlari kecil.
"Ayo," ajaknya sambil mulai menyalakan motor.
Devi naik, dan duduk di belakang Devan.
Devan melirik perutnya yang tak di peluk Devi, "pegangan!" ucapnya. Lalu tangan Devi pun melingkari perutnya.
Devan tersenyum puas lalu mulai menjalankan motornya.
"Dev..."
"Hmmm?"
"Aira itu siapa? pacar kamu?"
Devan menggeleng, "dia adik Kak Vinvin," jawab Devan singkat, seolah ucapannya bisa membuat Devi mengerti.
"Bukannya adik kak Vinvin itu, kamu! atau kalian sebenarnya tiga bersaudara? bukan dua?"
Devan menghela, "Aira itu adik kak Vinvin dari ayahnya -Om Kevin-, kalau aku adik kak Vinvin dari Mama Luci.
Devi mengernyit, tak paham. " gimana? gimana? kok aku pusing.
Devan menghentikan laju motornya, hingga membuat Devi terkejut dan terdorong ke depan.
"Kak Vinvin itu anak Mama Luci dan Om Kevin, belum paham juga?"
"Oohhhh..." mulut Devi membulat sempurna.
"Wahhh..."
"Apa maksudnya, 'oohhh' lalu 'wah...'," tanya Devan sambil menoleh untuk menatap Devi yang masih duduk anteng di belakangnya.
"Keluarga kalian hebat, masih bisa akrab, aku salut banget." Devi langsung merasa dirinya benar-benar nelangsa. Bagaimana hidupnya bisa begitu berbeda 360 derajat dengan keluarga Devan. Mereka masih bisa sangat harmonis dan saling menyayangi, sedangkan Devi, selalu di siksa oleh ayah kandungnya sendiri. Kenapa hidup sangat tidak adil padanya.
"Memang, aku juga sangat bersyukur..." ucap Devan sambil mengangguk setuju.
"Lalu kamu bagaimana? ceritakan juga tentang keluargamu," tanya Devan. Sekarang dia turun dari motornya dan duduk di sebuah bangku taman yang ada di dekatnya.
"Aku..." Devi turun dari motor Devan, "nggak ada yang spesial..." ucapnya sambil duduk di dekat Devan.
"Ibu ku meninggal saat umurku 13 tahun, lalu setelah itu aku harus bekerja sambil sekolah untuk mencukupi kebutuhanku..." Devi tertunduk sambil tersenyum kecut.
"Ayahmu?"
"Ayahku? hanya seorang pemabuk dan penjudi gila!" jawab Devi dengan kesal.
Devi menarik napas panjang, "jangan buat hari indah ini rusak karena aku harus mengingat orang itu! ayo pulang sudah malam," Devi menatap jam tangannya lalu bergegas menuju motor Devan, dia tak mau menatap Devan karena matanya sedikit berkaca-kaca. Dia tak mau terlihat cengeng di hadapan murid lesnya yang tampan itu.
Devan bangun dari duduknya, "mau beli es krim?" bisik Devan sebelum memakai helmnya.
Devi terkekeh, lalu buru-buru menghapus air matanya yang lolos sebutir. "Ayo, aku mau beli yang paling mahal!"
Devan menatap punggung Devi yang sedikit bergetar, dia tahu Devi berusaha keras menahan tangisnya, dia sudah sangat bekerja keras selama ini. Wanita hebat!
Devan tersenyum sambil menepuk lembut punggung Devi beberapa kali, mencoba menenangkan dirinya yang tampak hampir meledak.
"Ayo naik."
Devi mengangguk lalu duduk di belakang Devan, melingkarkan tangannya di perut Devan bahkan dia membiarkan dirinya menempel erat di punggung Devan.
Entah sudah berapa minimarket Devan lalui, dia tak mau berhenti untuk beli eskrim, karena tak mau Devi melepaskan pelukannya. Devan merasa sangat nyaman di peluk oleh wanita yang lebih tua lima tahun dari dirinya itu. Jantungnya bahkan terus berdebar kencang karena pelukan Devi.
Devan tersenyum sambil menggeleng pelan, menyadari perasaannya yang konyol.
"Dev!" panggil Devi.
"Kenapa?"
"Katanya mau beli es krim?! kok dari tadi nggak berhenti! sudah berapa mini market itu di lewati begitu saja!"
"Beli di dekat kos mu saja, kamu punya kulkas di kos, nggak? kalau punya beli yang banyak sekalian buat stok."
"Jangan, beli satu aja, aku nggak ada kulkas!"
Devan mendesah, "baiklah kalau begitu."
.
Devan menghentikan motornya tepat di depan gang yang menuju kos Devi, dia celingukan melihat situasi. Dia takut jika Dimas datang lagi mengganggu Devi, untungnya sosok lelaki itu tak terlihat.
"Makasih ya Dev, malah di belanjain banyak begini..." ucap Devi sambil meringis senang.
Devan tidak hanya membelikan Devi es krim yang paling mahal, dia juga membelikan beberapa batang coklat, dan beberapa bungkus snack dan cemilan untuk Devi.
Serasa habis di traktir pacar, hepi banget.
"Tempat kos mu ini rasanya suram banget ya? kalau malam juga sepi, memangnya kamu nggak takut?" tanya Devan.
"Nggak lah, kalau sudah biasa juga sudah kebal. Udah kamu pulang aja, Hati-hati ya, jangan ngebut..."
Devan mengangguk lalu mulai menyalakan motornya, "kita nggak ketemu dua hari, jangan kangen...!" ucap Devan sambil berlalu.
"Idiih, pede banget lu!?" pekik Devi sambil tergelak.
Senyum terus mengembang di bibir Devi sambil memperhatikan Devan yang semakin menjauh. Tanpa dia sadari, jantungnya terus berdebar saat berada di dekat Devan, tapi Devi terus berusaha mengacuhkannya. Dia tak mau terhanyut pada perasaan yang tak boleh dia miliki.