Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Ana menunggu dengan cemas. Pasalnya sudah setengah jam berlalu, tetapi Angga belum juga datang. Ia menunggu di ruang tamu seraya melihat ke luar jendela.
“Angga mana, sih? Emang sejauh apa rumah gue sampai dia lama banget?!” ucapnya kesal.
Ia membuka ponselnya, tidak ada pesan dari Angga. Akhir ia berinisiatif menelepon Angga lebih dulu.
Angga mendengar ponselnya berdering. “Sebentar ya aku angkat telepon dulu,” ucapnya pada Anya. Ia mengambil ponsel di atas meja lalu melihat ada panggilan dari Ana.
“Ya, ampun gue lupa, Ana,” gumamnya pelan.
Dengan cepat Angga mengangkat telepon itu. Ia lalu berdiri sedikit menjauh dari Anya.
“Halo, Ga, lo di mana sekarang?” tanya Ana langsung di seberang telepon.
“Aduh, An. Maaf, kayaknya kita nggak jadi keluar hari ini. Besok, deh, kita keluar. Gue traktir lo sepuasnya, ya?” Angga merasa tak enak hati, tetapi ia tak mungkin meninggalkan tamu, juga tidak mungkin mengajaknya bersama, bisa salah paham Ana nanti.
“Oh, syukur deh, gue juga mau bilang, kayaknya gue nggak bisa pergi, soalnya masih banyak tugas,” sahut Ana. Ana sengaja berbohong karena ia tak mau terlihat menyedihkan.
“Oh, iya bagus deh. Lo kerjain tugas aja dulu. Besok kita keluar. Kalau gitu gue tutup teleponnya, ya An. Selamat mengerjakan tugas.”
Angga langsung menutup teleponnya lalu kembali bergabung dengan Anya dan Rita. Sedangkan Ana hanya menatap nanar pada ponsel. Padahal ia sudah bersiap-siap.
Ponsel Ana kembali berdering tertera nama Galang di layar. Ana malas mengangkatnya, hatinya sedang tidak dalam mood yang baik.
Namun, ponsel itu terus berbunyi. Mau tak mau ia mengangkat telepon tersebut.
“Halo,” sapanya.
Balasan yang diterima membuat ia mengerutkan dahi pasalnya itu bukan suara Galang. Namun, suara seorang perempuan yang mengaku dari rumah sakit.
“Halo, Mbak, bisa Mbak datang? Kami butuh Mbak secepatnya. Halo ....”
Ana tersadar dari lamunannya. “Eh, iya. Saya bisa. Saya akan ke sana sekarang juga. Terima kasih informasinya, Kak.”
Dengan cepat Ana berlari ke kamar lalu mengambil dompet dan kunci motor maticnya. Ia berlari ke garasi lalu memakai helm kemudian mengeluarkan motor. Ana tidak pamitan lagi pada Arin, setahu Arin Ana pergi dengan Angga. Ana menyalakan motor lalu melaju menuju rumah sakit.
Sesampainya di sana, ia langsung menuju pusat informasi dan menanyakan pasien atas nama Angga. Ia diberi tahu bahwa Angga masih di IGD. Secepat kilat Ana pergi ke IGD.
Ia bertanya pada perawat di sana. Ana kemudian di ajak menemui dokter terlebih dulu.
“Anda keluarga pasien?” tanya dokter pria.
“Bukan Dok, saya pacarnya,” jawab Ana malu.
“Kami menelepon memakai ponsel pasien dan menelepon orang terakhir yang ada di riwayat panggilan, Dok. Pasien belum sadar jadi tidak bisa ditanya mengenai keluarganya,” ucap perawat memberi tahu pada dokter.
“Oh, apa Anda tahu keluarga pasien? Tolong hubungi keluarganya, kami butuh tanda tangan pihak keluarga untuk administrasi juga agar kami bisa mengambil tindakan selanjutnya.”
“Iya, Dok. Saya akan hubungi mereka, tapi boleh saya tahu bagaimana keadaan pasien, Dok?” tanya Ana.
“Untuk saat ini pasien masih tidak sadarkan diri. Itu saja yang bisa saya katakan. Detailnya hanya pihak keluarga yang berhak tahu,” jawab dokter.
“Iya, Dok. Terima kasih.” Ana mengerti peraturannya kalau status kesehatan pasien itu rahasia tidak bisa dibeberkan ke sembarang orang.
“Boleh, saya lihat pasiennya, Dok?” tanya Ana lagi.
“Silakan, tapi jangan berikan apa pun tanpa izin kami.”
“Iya, Dok. Terima kasih.”
Dokter itu lalu pergi. Perawat mengantar Ana ke brankar di mana Galang berbaring. Tirai dibuka, tampak Gilang memejamkan mata dengan tangan yang sudah terpasang infus.
Ana mendekat lalu berdiri di samping brankar dekat kepala Galang. “Kamu, kenapa ada di sini, Lang? Bagaimana kamu bisa kecelakaan? Makanya kalau naik motor itu jangan ngebut-ngebut.” Ana berbicara sendiri.
Ia tak tega melihat Galang yang tangannya terdapat luka baret. Lehernya di beri penyangga atau biasa disebut cervical Coral. Beruntung wajahnya tidak terluka, mungkin karena ia memakai helm.
Ana menghela napas. “Maafin aku, Lang. Waktu itu pikiran aku sedang kalut ditambah kamu yang posesif banget. Aku jadi emosi.” Ana terus bicara sendiri. Ia berharap Galang segera sadar.
“Eh, iya lupa. Aku belum hubungi keluarga kamu,” ucap Ana lalu pergi keluar.
Ia menelepon orang tua Angga, tetapi sayangnya tidak ada yang mengangkatnya. Ana terus berusaha menelepon. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban.
Ia menyerah dan akhirnya Ana menemui perawat lalu mengatakan kalau orang tua Galang sulit dihubungi. Ana sudah menulis pesan untuk mereka. Semoga mereka cepat membacanya.
Ana menunggu di depan ruang IGD. Tak terasa satu jam telah berlalu. Tiba-tiba ada telepon yang masuk, begitu ia melihatnya Ana merasa lega karena itu dari orang tua Galang.
Pada saat yang sama Arin berusaha menelepon Ana, tetapi teleponnya sedang sibuk. “Gimana, Nda?” tanya Bayu pada Arin.
“Sibuk, Ana lagi teleponan sama siapa, ya?” tanya Arin.
“Coba telepon Angga,” ujar Bayu.
Arin menuruti suaminya. Ia menelepon Angga. Setelah beberapa kali berbunyi akhirnya Angga mengangkat teleponnya.
“Assalamualaikum, Ga. Kamu lagi sama Ana?” tanya Arin langsung.
Angga tentu saja bingung mendapat pertanyaan dari Arin. “Nggak, Bunda. Ana bukannya di rumah?”
“Lho, katanya mau pergi sama kamu? Motornya aja nggak ada. Bunda pikir pergi sama kamu. Kalian bukannya mau beli martabak, ya?” Arin yang bingung sekarang.
“Tadinya kita emang mau beli martabak, tapi nggak jadi Angganya ada tamu. Terus kata Ana, dia harus mengerjakan tugas. Angga lagi di rumah sekarang,” jawab Angga.
Kini ia menjadi cemas. Ana pergi membawa motor sendiri malam-malam. Ke mana Ana pergi?
“Terus Ana ke mana? Sama siapa? Dia pergi udah lama, Ga. Udah satu jam lebih. Bunda telepon dia, tapi nada sibuk.” Arin sangat khawatir. Tidak biasanya Ana seperti ini.
“Bunda tenang dulu. Angga cari Ana sekarang. Angga coba telepon Ana. Nanti Angga kabarin, ya Bunda.”
Angga langsung menutup teleponnya. Ia berdiri lalu mengambil jaket dan kunci motor.
“Angga mau ke mana?” tanya Rita.
“Ma, Angga mau cari Ana. Dia pergi udah lama belum pulang. Anya, sorry gue tinggal. Gue harus pergi.”
Rita dan Anya saling tatap. Angga melesat keluar rumah. “Ga, hati-hati. Cari Ana sampai ketemu!” teriak Rita. Ada perasaan khawatir setelah mendengar Ana belum pulang.
“Tante, Angga mau ke mana?” tanya Anya
“Angga mau cari sahabatnya. Tante juga belum paham apa yang terjadi, tapi semoga Ana ketemu. Dia udah kayak anak Tante. Sendiri.”
“Oh, Ana? Sahabat Angga?” tanya Anya lagi.
“Iya, mereka sahabatan sejak kecil. Ke mana-mana berdua,” jawab Rita.
Anya pernah mendengar Angga cerita tentang Ana. Jadi sekarang Angga sedang mencari Ana. Sepertinya di hati Angga masih ada Ana. Ia merasa akan sangat sulit untuk membuat Angga jatuh cinta padanya, karena sudah ada sosok lain di dalam hati lelaki itu.
...----------------...