Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Sarah duduk di ruang makan, matanya terpaku pada tiket pesawat yang baru saja dicetak. Tujuannya kali ini adalah Paris, kota yang sering ia sebut sebagai "tempat bisnis," meskipun Alvin tahu bahwa alasan itu hanyalah kebohongan. Sarah meneguk teh hangatnya dan melirik Alvin yang sedang membaca koran di seberang meja.
“Alvin, aku akan pergi minggu depan,” katanya dengan nada datar.
Alvin menurunkan korannya perlahan. Ia menatap Sarah tanpa emosi, tetapi matanya menyimpan luka yang telah lama terpendam. “Berapa lama kali ini?” tanyanya singkat.
“Dua minggu, mungkin lebih,” jawab Sarah sambil mengangkat bahu, seolah-olah itu bukan masalah besar.
“Urusan apa kali ini?” Alvin bertanya lagi, meskipun ia tahu jawabannya hanya akan membuatnya semakin marah.
“Pertemuan klien. Kau tahu, hal-hal biasa,” Sarah menjawab tanpa melihat Alvin. Ia sibuk memeriksa ponselnya, mengetik pesan yang terlihat sangat mendesak.
Alvin menghela napas panjang, menekan emosi yang ingin meledak. Selama bertahun-tahun, Sarah terus menggunakan "perjalanan bisnis" sebagai alasan untuk pergi dari rumah. Pada awalnya, Alvin mempercayainya. Namun, setelah kebenaran tentang perselingkuhan Sarah terungkap lima tahun lalu, ia berhenti mempercayai apa pun yang keluar dari mulut istrinya.
“Ya, tentu saja. Pertemuan klien di Paris,” Alvin bergumam, suaranya sarat dengan sarkasme.
Sarah menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Alvin menatap balik dengan tajam. “Tidak ada, hanya saja... aku penasaran, apakah klienmu tahu betapa seringnya kau bepergian untuk 'urusan bisnis' ini?”
Sarah mengetukkan jari-jarinya di meja, ekspresi kesal mulai terlihat di wajahnya. “Alvin, aku tidak ingin membahas ini lagi. Aku bekerja keras untuk keluarga kita. Jika kau tidak mengerti itu, maka aku tidak tahu harus berkata apa.”
Alvin tertawa kecil, meski tak ada keceriaan dalam suara itu. “Bekerja keras? Untuk keluarga kita? Jangan bercanda, Sarah. Kau bekerja keras untuk dirimu sendiri, untuk kebebasanmu. Aku tahu persis apa yang kau lakukan di luar sana.”
Sarah terdiam, tetapi bukan karena rasa bersalah. Ia tahu Alvin tahu, tetapi ia juga tahu bahwa Alvin tidak akan meninggalkannya. Baginya, Alvin adalah pria yang terlalu terikat pada anak-anak mereka untuk mengambil langkah ekstrem.
“Percayalah atau tidak, itu urusanmu,” kata Sarah akhirnya, suaranya tenang tetapi penuh tantangan. “Aku tidak perlu menjelaskan semuanya padamu.”
Alvin mendengus dan kembali menatap korannya, meskipun kata-kata di atas kertas itu tidak lagi terbaca olehnya. Kepalanya penuh dengan kemarahan yang membara. Ia merasa seperti boneka dalam permainan Sarah, tetap bertahan di rumah ini demi anak-anak mereka yang tidak tahu apa-apa tentang kehancuran pernikahan orang tua mereka.
Setelah beberapa menit keheningan yang penuh ketegangan, Alvin berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih dingin. “Lakukan apa yang kau mau, Sarah. Seperti biasanya.”
Sarah berdiri tanpa berkata apa-apa lagi dan pergi ke kamar, meninggalkan Alvin sendirian di ruang makan.
Beberapa hari kemudian, Sarah pergi seperti yang direncanakan. Alvin mengantar anak-anak ke sekolah sebelum menuju kantor. Di perjalanan, ia tidak bisa berhenti memikirkan pembicaraan terakhir mereka. Hatinya terasa seperti dihantam berkali-kali. Ia ingin melupakan semuanya, tetapi luka itu terlalu dalam untuk diabaikan.
Hari itu di kantor, Alvin mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang. Saat istirahat makan siang, ia menerima pesan dari seorang wanita bernama Lita, seseorang yang ia temui beberapa bulan lalu di sebuah acara bisnis. Lita adalah pelarian Alvin—sebuah cara untuk melupakan rasa sakit yang disebabkan oleh Sarah.
“Bagaimana harimu, Al?” tulis Lita.
Alvin menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum membalas. “Tidak terlalu buruk. Kau?”
Pesan itu memulai percakapan panjang yang berakhir dengan janji untuk bertemu malam itu. Alvin tahu apa yang ia lakukan salah, tetapi ia tidak peduli. Dalam pikirannya, ini adalah bentuk pembalasan terhadap Sarah—cara untuk mengambil kendali atas hidupnya yang terasa semakin hampa.
Malam itu, Alvin bertemu Lita di sebuah restoran kecil di sudut kota. Wanita itu menyambutnya dengan senyum hangat, sesuatu yang sudah lama tidak ia dapatkan dari Sarah.
“Kau terlihat lelah,” kata Lita sambil menyentuh tangan Alvin.
Alvin menghela napas. “Hidupku selalu seperti ini sekarang. Lelah adalah bagian dari rutinitas.”
Lita tertawa kecil. “Yah, setidaknya kau punya waktu untukku malam ini.”
Percakapan mereka mengalir lancar, seperti biasanya. Alvin merasa nyaman bersama Lita, meskipun ia tahu bahwa hubungan ini tidak akan pernah memiliki masa depan. Di balik senyum dan tawa, ada rasa bersalah yang perlahan menggerogoti dirinya.
Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di taman dekat restoran. Lita berhenti sejenak, menatap Alvin dengan penuh perhatian.
“Alvin, apa yang sebenarnya kau cari dari semua ini?” tanyanya.
Pertanyaan itu membuat Alvin terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Ia tahu bahwa ia tidak mencintai Lita seperti ia pernah mencintai Sarah. Tetapi cinta itu sudah lama mati, digantikan oleh rasa sakit dan kebencian.
“Aku hanya... aku ingin merasa dihargai,” jawab Alvin akhirnya. “Aku ingin merasa bahwa aku masih berarti bagi seseorang.”
Lita mengangguk pelan, seolah mengerti. “Aku mengerti perasaan itu, Alvin. Tapi kau tahu, ini tidak akan memperbaiki apa pun.”
Alvin tahu bahwa Lita benar, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Mereka melanjutkan berjalan dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Ketika Alvin pulang malam itu, rumah terasa sunyi seperti biasanya. Anak-anak sudah tidur, dan hanya suara jam dinding yang terdengar di ruang tamu. Alvin duduk di sofa, menatap kosong ke arah TV yang tidak menyala.
Di saat seperti ini, rasa bersalahnya selalu muncul. Ia tahu bahwa dengan berselingkuh, ia tidak lebih baik dari Sarah. Tetapi ia juga merasa bahwa hidupnya telah terlalu jauh dari apa yang pernah ia bayangkan.
Pikirannya kembali ke masa-masa awal pernikahannya dengan Sarah. Dulu, mereka saling mencintai tanpa syarat. Sarah adalah segalanya baginya, dan Alvin yakin bahwa mereka bisa menghadapi apa pun bersama. Tetapi cinta itu perlahan terkikis oleh waktu dan pengkhianatan.
Malam itu, Alvin memutuskan sesuatu. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tetapi ia ingin menemukan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Bukan untuk Sarah, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk anak-anak mereka. Mereka pantas mendapatkan keluarga yang lebih baik, meskipun itu berarti Alvin harus melepaskan segalanya.
Alvin menghela napas panjang dan memejamkan matanya. Esok hari, ia akan mencoba lagi—mencari cara untuk memperbaiki hidupnya yang telah hancur. Tetapi untuk malam ini, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan, menunggu hari baru yang mungkin membawa harapan. Harapan yang mungkin dia inginkan dan impikan lagi yakni kehidupan untuk dia dan keluarganya.