Kerajaan Avaris yang dipimpin oleh Raja Darius telah menjadi kekuatan besar di benua Estherya. Namun, ancaman datang dari Kekaisaran Zorath yang dipimpin oleh Kaisar Ignatius, seorang jenderal yang haus kekuasaan. Di tengah konflik ini, seorang prajurit muda bernama Kael, yang berasal dari desa terpencil, mendapati dirinya terjebak di antara intrik politik dan peperangan besar. Dengan bakat taktisnya yang luar biasa, Kael perlahan naik pangkat, tetapi ia harus menghadapi dilema moral: apakah kemenangan layak dicapai dengan cara apa pun?
Novel ini akan memuat konflik epik, strategi perang yang mendetail, dan dinamika karakter yang mendalam. Setiap bab akan menghadirkan pertempuran sengit, perencanaan taktis, serta perkembangan karakter yang realistis dan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Hati di Ruang Perjamuan Bayangan
Bab 10: Ujian Hati di Ruang Perjamuan Bayangan
Gerbang batu kuno itu terlihat seperti pintu masuk menuju dunia lain. Akar-akar pohon yang menutupi permukaan gerbang tampak hidup, bergerak perlahan seolah merespons kehadiran mereka. Eldrin berdiri di depan, tangannya terangkat, memberi isyarat agar mereka berhenti sejenak.
“Ruang Perjamuan Bayangan bukan tempat untuk sembarang orang,” kata Eldrin, matanya tajam menatap setiap anggota tim. “Di dalam, kalian akan menghadapi kebenaran yang tidak pernah kalian inginkan untuk ketahui. Hati kalian akan diuji, dan hanya mereka yang memiliki keberanian untuk menghadapinya yang akan keluar dengan selamat.”
Kael menatap gerbang itu dengan waspada. “Apa yang akan kami temui di sana?”
“Ruang ini memanipulasi pikiran dan emosi kalian,” Eldrin menjelaskan. “Kalian akan dihadapkan pada ketakutan terdalam, keinginan yang tersembunyi, dan mungkin juga penyesalan yang belum pernah kalian hadapi. Tetapi hanya dengan menerima kebenaran itu kalian akan mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan perjalanan ini.”
Finn mendengus. “Jadi, ini semacam ujian psikologis, ya?”
“Lebih dari itu,” jawab Eldrin, senyumnya semakin redup. “Ini adalah ujian jiwa.”
Tanpa menunggu lebih lama, Eldrin melangkah maju dan membuka gerbang batu itu. Seketika, kabut tebal kembali menyelimuti mereka. Udara di dalam ruang itu terasa lebih berat, seolah-olah mereka tengah berjalan menuju ke dalam jantung ketakutan mereka sendiri.
Memasuki Ruang Perjamuan Bayangan
Begitu mereka melangkah melewati gerbang, dunia di sekitar mereka berubah seketika. Mereka tidak lagi berada di dalam hutan, tetapi di ruang besar yang dipenuhi dengan meja panjang yang dikelilingi kursi-kursi besar. Di atas meja, terdapat berbagai macam hidangan mewah yang menggugah selera, dan di sekelilingnya duduk bayangan-bayangan manusia tanpa wajah, yang memandang mereka dengan mata kosong.
Kael merasakan ketegangan di tubuhnya. “Ini… bukan yang kita harapkan.”
Liora mengerutkan kening. “Ini aneh. Ini seperti perjamuan, tapi semuanya terasa sangat salah.”
Finn menatap hidangan yang terletak di atas meja. “Apa ini? Makanan untuk kita?”
“Tentu saja tidak,” jawab Eldrin, yang tiba-tiba muncul di antara mereka. “Makanan ini bukan untuk perut kalian, tetapi untuk pikiran kalian. Makanannya akan memperlihatkan keinginan terdalam kalian.”
Kael menatap Eldrin dengan penuh pertanyaan. “Apa yang dimaksud dengan itu?”
Eldrin tidak menjawab langsung, melainkan menunjuk ke meja di hadapan mereka. “Di hadapan kalian ada banyak pilihan, tetapi jangan biarkan nafsu kalian menguasai. Jangan biarkan ilusi menggiring kalian ke dalam perangkap.”
Menguji Kael
Kael mendekati meja dan melihat berbagai hidangan yang menawan. Di tengah-tengah meja, sebuah piring besar berisi buah-buahan berkilau dan makanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Namun, saat ia melihat lebih dekat, wajah seseorang yang ia kenal, wajah ayahnya yang sudah lama hilang, muncul di balik makanan itu.
Ayah Kael tersenyum padanya. “Kael, akhirnya kamu pulang. Kami bisa hidup bahagia bersama lagi. Ambillah buah itu. Jangan ragu. Kita bisa memulai hidup baru.”
Hati Kael berdebar. Dia tahu bahwa ini adalah ilusi, bahwa ayahnya tidak mungkin muncul begitu saja. Namun, kenangan tentang kehilangan itu terasa begitu nyata.
Kael meraih buah itu, tangannya gemetar. Namun, sebelum ia sempat menggigitnya, suara Liora terdengar di belakangnya.
“Kael, jangan!”
Kael terhenti, menoleh ke belakang dan melihat Liora berdiri dengan tatapan khawatir. “Ini hanya ilusi. Jika kau makan itu, kau akan terjebak dalam kenangan dan kehilangan dirimu sendiri.”
Kael meletakkan buah itu perlahan dan menatap Liora. “Aku… aku hampir jatuh dalam perangkap itu.”
Eldrin muncul di samping Kael. “Setiap ujian di sini adalah gambaran dari ketakutan kalian, Keinginan kalian yang paling mendalam, atau penyesalan yang terus menghantui. Kau harus mampu melihat kenyataan meskipun itu menyakitkan.”
Kael menarik napas dalam-dalam, lalu menatap meja sekali lagi. “Aku tahu ini bukan kenyataan. Ayahku sudah tiada.”
Seketika itu, bayangan ayahnya menghilang, dan meja itu kembali kosong.
Menguji Liora
Liora melangkah maju dan melihat sebuah kotak kecil terbuat dari kayu yang sangat indah di tengah meja. Saat ia membuka kotak itu, ada sebuah cincin emas dengan batu permata berkilau di dalamnya. Di dalam cincin itu, bayangan seorang pria muncul—pria yang sangat dikenal oleh Liora.
Itu adalah tunangannya, yang telah meninggal dalam pertempuran beberapa tahun yang lalu.
“Liora, aku kembali,” suara pria itu terdengar lembut. “Aku tahu kau merasa kesepian tanpa aku. Tapi sekarang kita bisa bersama lagi. Pakailah cincin ini. Kita akan bahagia selamanya.”
Liora terdiam, matanya berair. Kenangan akan tunangannya yang telah pergi begitu lama kembali menggebu. Ia merasa cemas, merasakan kesepian yang sudah lama terkubur dalam dirinya.
Namun, saat ia hendak meraih cincin itu, suara Kael terdengar. “Liora, jangan. Itu bukan kenyataan. Kita tidak bisa menghidupkan kembali orang yang telah pergi.”
Liora menggigit bibirnya. “Aku tahu. Aku hanya… aku hanya ingin merasa tidak sendirian lagi.”
Dengan tangan yang gemetar, Liora menutup kotak itu, dan bayangan tunangannya menghilang.
“Keinginan yang terpendam akan selalu menjadi godaan terbesar,” kata Eldrin, mendekat. “Tapi kebenaran yang kita hadapi adalah bahwa kita harus maju, meskipun kenyataan itu terasa sangat berat.”
Menguji Finn
Finn yang awalnya tampak santai, tiba-tiba tampak serius ketika ia melihat dirinya di sebuah cermin besar yang muncul di hadapannya. Di cermin itu, Finn melihat dirinya menjadi seorang pahlawan terkenal, dengan pedang yang bersinar terang dan sekelompok pengikut yang setia. Semua orang menghormatinya, dan dia merasa dihargai.
“Finn,” suara dalam cermin itu berkata, “ini adalah apa yang selalu kau inginkan. Semua orang akan mengenal dan menghormati namamu. Ambil kekuasaan ini, dan dunia akan berada di bawah kakimu.”
Finn menatap cermin itu, merasa terjebak antara godaan untuk meraih kekuasaan dan kenyataan bahwa ia hanya ingin dihargai atas kemampuannya. Namun, saat ia menyadari apa yang sedang terjadi, ia tertawa pelan.
“Ini hanya ilusi,” katanya dengan suara keras. “Aku tidak butuh kekuasaan. Aku butuh teman. Aku butuh kebenaran.”
Cermin itu pecah menjadi serpihan kaca, dan bayangan Finn yang penuh ambisi menghilang.
Ujian Berakhir
Setelah mereka masing-masing menghadapi ketakutan dan keinginan terdalam mereka, ruang itu perlahan mulai menghilang. Kabut yang tebal mulai terkikis, dan mereka kembali berdiri di depan gerbang batu yang sama, meskipun kali ini, mereka merasa lebih kuat.
Eldrin tersenyum puas. “Kalian telah lulus ujian hati. Hanya mereka yang berani menghadapi kenyataan yang dapat melanjutkan perjalanan ini.”
Kael, Liora, dan Finn saling berpandangan. Meskipun mereka telah menghadapi ujian pribadi yang sulit, mereka tahu bahwa mereka harus terus melangkah, demi dunia yang lebih baik.
“Ini baru permulaan,” kata Kael dengan tekad baru.
Mereka melangkah keluar dari Ruang Perjamuan Bayangan, siap menghadapi apa pun yang akan datang di depan mereka.