Aku di kenal sebagai gadis tomboy di lingkunganku. Dengan penampilanku yang tidak ada feminimnya dan hobby ku layaknya seperti hobby para lelaki. Teman-teman ku juga kebanyakan lelaki. Aku tak banyak memiliki teman wanita. Hingga sering kali aku di anggap penyuka sesama jenis. Namun aku tidak perduli, semua itu hanya asumsi mereka, yang pasti aku wanita normal pada umumnya.
Dimana suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, kami bertemu dalam suatu acara tanpa sengaja dan mengharuskan aku mengantarkannya untuk pulang. Dari pertemuan itu aku semakin dekat dengannya dan menganggap dia sebagai ibuku, apalagi aku tak lagi memiliki seorang ibu. Namun siapa sangka, dia berniat menjodohkan ku dengan putranya yang ternyata satu kampus dengan ku, dan kami beberapa kali bertemu namun tak banyak bicara.
Bagaimana kisah hidupku? yuk ikuti perjalanan hidupku.
Note: hanya karangan author ya, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Menghadapi Perasaan yang Tumbuh
POV Sebelumnya
Aku merasa seperti berjalan di atas udara, ringan dan penuh kebingungan. Sejak percakapan dengan Maya di kantin, perasaan tidak nyaman itu semakin menggelayuti diriku. Tidak hanya karena gosip yang beredar di kampus tentang diriku dan Galaksi, tetapi juga karena kehadiran Galaksi yang semakin dekat, terlalu dekat untuk kenyamananku. Namun, ada sesuatu dalam diriku yang enggan menepis perasaan itu. Keberadaan Galaksi membangkitkan perasaan yang sulit dijelaskan, bahkan oleh diriku sendiri.
Hari itu, selepas kuliah, Aku berencana pergi ke kafe untuk menenangkan pikiranku. Suasana kampus yang ramai dan riuh hanya menambah kebingunganku. Sejak gosip itu menyebar, Aku merasa seolah-olah semua mata tertuju padaku. Namun, meskipun ada banyak hal yang ingin dipikirkan, Aku tetap melangkah menuju kafe kecil yang biasa Aku kunjungi untuk mencari ketenangan.
Ketika aku baru saja membuka pintu kafe, sebuah sosok familiar sudah berdiri di sana Galaksi. Aku langsung berhenti sejenak, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Aku tak menyangka pria itu akan menungguku di sini.
“Lo lagi ngapain di sini?” tanyaku, agak terkejut. Meskipun rasa cemas menghampiri, dia berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Galaksi tersenyum tipis, seolah tidak terpengaruh dengan nada terkejut dariku. “Gue cuman mau ngajak lo jalan sebentar.”
Aku mengangkat alis, masih bingung. “Jalan kemana? Kan gue lagi kerja.”
“Gue udah pikirin itu,” jawab Galaksi santai. “Lo istirahat aja sebentar, gue yang bantuin kafe. Gue bisa kok.”
Aku memandangnya, masih tidak yakin. Namun, melihat tatapan tulus Galaksi, hatiku yang keras sedikit melunak. “Lo mau bantuin, ya? Oke deh, gue kasih waktu setengah jam. Lo jangan ganggu kerjaan gue, ya.”
Galaksi tertawa, seolah mengerti kekhawatiranku. “Tenang aja, gue bantuin kok.”
Aku melanjutkan pekerjaanku, sementara Galaksi mulai mempersiapkan beberapa bahan di dapur. Kehadirannya membuat suasana kafe terasa berbeda, lebih hidup. Aku merasa aneh. Selama ini, akuw terbiasa melakukan semuanya sendiri, mengurus kafe walaupun ada hadi yang membantu, mengurus kuliah, bahkan kehidupan pribadiku. Tapi Galaksi datang dengan cara yang tak terduga, membantu tanpa pamrih, tanpa mengharap lebih.
Setengah jam berlalu, dan Aku merasa waktuku istirahat sudah habis. Namun, ketika aku hendak pergi, Galaksi menghentikannya.
“Senja,” panggilnya lembut.
Aku menoleh, sedikit bingung. “Ada apa?”
“Gue cuma mau bilang… gue nggak tahu kenapa, tapi gue merasa tenang setiap kali gue dekat sama lo. Lo nggak perlu jawab sekarang, tapi gue cuma mau lo tahu, kalau lo butuh seseorang yang bisa dengerin lo, gue ada di sini,” ujar Galaksi dengan tulus.
Aku terdiam, kata-kata itu menggugah hatiku. Untuk pertama kalinya, Aku merasa ada seseorang yang benar-benar melihat diriku, tanpa embel-embel, tanpa ekspektasi. Hanya ada rasa nyaman yang tiba-tiba muncul. Sesuatu yang jarang aku rasakan.
“Gue… gue nggak tahu harus ngomong apa,” kataku, suara sedikit serak.
Galaksi tersenyum, seakan memahami kebingunganku. “Gak apa-apa. Gue nggak mau memaksakan apapun. Tapi gue ingin lo tahu, lo nggak harus sendirian terus. Gue bisa jadi teman lo.”
Aku merasa ada kehangatan di dalam hatiku yang tiba-tiba muncul. Tapi Aku tahu, itu bukan hanya tentang persahabatan. Sesuatu lebih dalam dari itu sedang berkembang, meski Aku belum siap untuk menyadarinya.
Setelah beberapa detik hening, Aku hanya mengangguk. “Oke, Galaksi. Terima kasih.”
Galaksi tersenyum puas, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Galaksi pulang lebih dulu karena tiba-tiba ada panggilan darurat. Dan aku pun pulang sendirian, namun kali ini menggunakan transportasi umum. Aku melangkah ke luar kafe, menyusuri trotoar yang sepi, merenung. Apa yang sebenarnya Aku rasakan terhadap Galaksi? Kenapa hati ini terasa begitu berdebar hanya dengan sedikit perhatian darinya? Rasa cemas, bingung, dan sekaligus ada sesuatu yang terasa menyentuh hatiku. Kembali masa lalu mengingatkanku bahwa Galaksi tak pantas untuk diriku.
Sesampainya di apartemen, Aku langsung menuju kamar dan duduk di meja belajarku, membuka buku catatan. Namun, pikiranku terus berkelana pada kata-kata Galaksi yang terus terngiang.
"Ada sesuatu yang nggak dimiliki orang lain. Lo."
Dia menutup buku itu dengan cepat, merasa seolah sesuatu yang besar sedang menunggu untuk diungkap, tapi Aku belum siap untuk menghadapi kenyataan itu. Kenyataan bahwa perasaanku terhadap Galaksi mungkin lebih dari sekedar teman. Aku tahu bahwa mengabaikan perasaan itu sama saja dengan menipu diriku sendiri, namun Aku merasa takut akan perubahan yang akan datang.
Malam itu, saat Aku berbaring di tempat tidurku, sebuah pesan masuk di ponselku, dari Galaksi.
“Besok ada waktu nggak? Gue pengen ngobrol lebih banyak.”
Aku menatap layar ponselku sejenak. Tak ada jawaban cepat yang bisa Aku berikan. Di satu sisi, Aku ingin mengatakan ya, mendengar apa yang ingin Galaksi katakan, menghabiskan lebih banyak waktu bersama pria itu. Tetapi di sisi lain, ada ketakutan yang menghantui, ketakutan akan perasaan yang mulai tumbuh tanpa bisa dikendalikan.
Setelah beberapa saat, Aku akhirnya membalas pesan itu.
“Ada. Kita bisa ngobrol besok.”
Pesan itu terkirim, dan Aku memejamkan mataku, mencoba menenangkan diriku. Besok akan menjadi hari yang penuh pertanyaan tentang hati, perasaan, dan mungkin, jodoh yang selama ini Aku hindari. Apakah Aku siap menghadapi kenyataan bahwa hatiku mungkin mulai terikat pada Galaksi? Ataukah ini hanya perasaan sementara yang muncul karena kedekatan yang tak terduga?
Aku terjebak dalam kebingungan, memikirkan semuanya dengan sangat mendalam. Setiap keputusan yang Aku buat akan mengubah jalan hidupku. Apakah Aku akan memilih untuk terus melarikan diri dari perasaan yang mulai tumbuh, ataukah Aku akan mengikuti hatiku yang semakin ingin dekat dengan Galaksi? Semua itu belum jelas, namun satu hal yang pasti, Aku tahu bahwa perasaan ini bukanlah sesuatu yang bisa Aku hindari selamanya.
To be continued...
apa yg dikatakan Senja benar, Galaksi. jika mmg hanya Senja di hatimu, tidak seharusnya memberi Maya ruang dalam hidupmu. padahal kamu tahu betul, Maya jatuh hati padamu.
Tidak bisa menjaga hati Senja, berarti kesempatan lelaki lain menjaganya. jangan menyesal ketika itu terjadi, Galaksi