Satu digit, dua, tiga, empat, lima, hingga sejuta digit pun tidak akan mampu menjelaskan berapa banyak cinta yang ku terima. Aku menemukanmu diantara angka-angka dan lembar kertas, kau menemukanku di sela kata dan paragraf, dua hal yang berbeda tapi cukup kuat untuk mengikat kita berdua.
Rachel...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ponsel Kamu Aku Sita
" Ah.. Gu-gua... ", bingung Vano.
" Ka Vano pulangnya belakangan, ada program yang mau kita bahas dulu." Serobot Rachel.
"Harus sekarang?".
" Iya. Harus sekarang. Kamu hati-hati di jalan ya. Bye.... ", seru Rachel mendorong Samuel keluar pintu dan klek...
"Akhirnya.... ", Rachel membuang napasnya lega.
Vano hanya terdiam memandangi Rachel, entah kenapa sekarang otaknya agak kotor.
Padahal Rachel hanya berpenampilan biasa saja, bahkan pakaiannya tidak ada yang terbuka, tapi kenapa dia sangat menggoda iman Vano.
Fyi, Revano Anggasta bukanlah pria murni semurni oksigen seperti Sunjaeyaa ya yeorobun, ditengah sulitnya hidup yang menuntutnya untuk selalu sempurna, ada kalanya ia juga penat, ia pria normal yang sehat, punya kebutuhan yang harus ia penuhi. Ada kalanya diam-diam sesekali ia memesan j4l4n9 premium untuk melampiaskan kesulitannya.
Tapi rasanya sama saja, dan ia mulai jarang melakukannya sejak setahun lalu, dan benar-benar berhenti ketika bertemu wanita polos yang sepertinya belum dijamah siapapun ini, bahkan Samuel sekalipun.
"Maaf ya kak. Aku pakai alesan kakak segala. Kalo ngga gitu, itu anak ngga akan pergi."
"Iya ngga papa."
"Makasih ya kak, udah aku repotin seharian ini."
"Iya. Oh, seminggu ini kamu ngga usah kerja. Kamu istirahat aja, fokus nyembuhin kaki kamu. Ngga usah mikirin kerjaan ini itu. Paham kan, Hel. Kalo butuh sesuatu tolong langsung kabarin aku, bukan Samuel."
"I-iya kak." Jawab Rachel ragu. "Kabarin aku? Langsung kabarin aku katanya. AsgshshsghHHGgHsag... Ka Vano... Bisa diem nggaa??! ", teriaknya DALAM HATI.
"Hel... Rachel... ".
"Ahh.. O... Mmm... Aaa.. Seminggu kak? Yakin?". ragu Rachel.
"Kenapa?".
" Ohh ngga papa kak."
"Bilang aja... Kak aku ngga bisa jauh-jauh lama dari kamu, gitu kek Hel ngomongnya, auto gua nikahin sumpah." Juga dalam hati.
"Ya udah kak. Kakak mau pulang sekarang kan?".
"Anjir... Di usir, padahal bukan itu yang mau gua denger."
"Iya, Hel. Pulang duluan ya."
"Iya, Kak. Hati-hati."
Vano keluar dengan wajah tenang dan senyum tipis. Bughhh.... Ia menutup pintu mobilnya dengan kasar.
"Hah? Si kampret Samuel pulangnya dikasih bekel lah gua yang katanya orang yang di taksir ga dikasi apa-apaan, sikapnya manis banget lagi sama tuh anak. Kenapa jadi gua yang frustasi sih. Dasar plin plan... Mana makanannya enak banget lagi. Aduh... ", kesalnya membenamkan wajahnya di stir.
🍀🍀
Pagi hari yang cerah, Vano menyusuri koridor menuju kantornya dan bertemu Mikhaela. Gadis itu takut-takutan berhadapan dengan Vano padahal sebelumnya mereka agak akrab, apalagi sejak Rachel masuk ke Numbers.
"Mikh..."
"I-iya Ka."
"Kamu kenapa gagap gitu?".
"Ng-ngga papa Kak. Ada yang bisa aku bantu?".
"Iya, hari ini aku butuh bantuan, pasti agak hectic karena aku sendiri. Jadi tolong hubungi Ms. Jenny untuk gantiin Rachel seminggu kedepan. Dia cuti karena kecelakaan kemarin itu."
"Cuti? Tapi... Dia udah di gudang kak."
Jawaban Mikha membuat membuat Vano tersentak kaget, dan langsung berlari menuju gudang Ws. Tidak jauh dari pintu merah yang terbuka lebar itu sudah tercium aroma kopi instan yang biasa Rachel minum.
Langkahnya yang tadi tergesa kini melangkah perlahan, presensi orang yang disukainya benar-benar disana. Ia menghela napasnya, ternyata memang benar-benar Rachel. Gadis itu duduk dengan tenang di lantai yang sekarang sudah bersih mengkilat itu tidak kotor lagi seperti kemarin sambil membelakangi ke arah pintu.
Jemari gadis itu dengan lincahnya menyentuh benda datar seukuran talenan itu, sibuk memperkirakan stok pemakaian Ws mereka hingga bulan depan, tongkat berjalan yang Vano berikan ia letakkan di samping kirinya. Kedua kakinya ia luruskan berikut kakinya yang masih dengan perban tebal itu.
"Kalau omongan direktur aja ngga kamu bisa turutin, omongan siapa lagi yang bisa ngatur kamu, Rachel?", seru Vano sudah berada dibelakangnya.
"K-kak.."
"Bukannya perintah aku jelas banget ya kemarin, kamu cuti, seminggu penuh. Belum juga sehari kamu udah begini."
Suara dalam pria itu benar-benar membungkam Rachel, ia serba salah. Dijawab rasanya lancang, tidak di jawab rasanya sombong.
"Rachel.... ".
"Ma-maaf, Kak."
"A-aku ngga butuh permintaan maaf kamu."
Rachel terdiam lagi. Ia sudah sibuk sekali dengan pikirannya.
"Hari ganjil biasanya hectic, nanti kalo ngga ada aku, kakak bakal kerepotan sendiri, makanya aku ngga cuti, kita berdua aja kadang sampe kalang kabut, gimana kalo kakak sendiri." Serunya masih membelakangi Vano dengan kepala tertunduk.
Klek.. Pintu ditutup. Rachel spontan menoleh kebelakang.
"Anjir, gua ditinggal." serunya spontan.
Ia kembali meneruskan pekerjaannya dengan perasaan campur aduk, ia yakin estimasi yang ia kerjakan sudah amburadul.
"Aohhhh... Jadi gua harus ngomong apa coba, aku ngga bisa diem di rumah kak Vano, selain aku orangnya gabutan, aku juga udah terbiasa setiap hari bareng kamu, ngabisin setiap detikku bareng kamu, begitu? Gua harus jawab gitu? Aoohhh Neptunus...". Dumelnya menatap kakinya yang diperban itu.
"Harusnya kamu jawab itu."
Deg
Deg
"Anjir.... ", hap... Spontan Rachel menutup mulutnya sendiri karena sudah mengumpat pada atasannya. Betapa malunya ia sekarang ini, ia sudah tertangkap basah. Vano sudah tahu perasaannya.
Wajah Rachel sudah merah karena ia malu sekali sekarang ini. Vano melangkah dan kini berjongkok di hadapannya. Rupanya pria itu hanya menutup pintu tadi dan bersembunyi di belakang rak. Kini tangannya terulur meraih pipi mulus Rachel.
"Kalau kamu terbiasa, lakuin, terusin, jangan hindarin aku, jangan diemin aku, itu sama sekali ngga enak Rachel."
Rachel semakin diam, ia tidak tahu harus apa di situasi ini. Selain berkedip, dan bernapas sesak, tidak ada yang bisa ia pikirkan. Hingga...
"Hmmmpphh... ", b1birnya dihantam dan dilum4t Vano tiba-tiba. Semangat sekali pria itu, seolah rindu sekali dan ia melampiaskannya sekarang. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan.
"K-kaakk.... ", Rachel melepas paksa tautan itu. "Pintunya... ".
"Udah aku kunci." Balas Vano tidak sabar lalu menyambar kembali kesukaannya itu.
Tidak perduli Rachel kewalahan mengimbanginya, ia suka sekali wanita ini, dan segala yang ia punya. Tatapannya, cara bicaranya, tertawanya, cara berjalannya, aromanya, semua Vano suka. Semua kriteria yang Vano harapkan ada pada gadis yang sedang ia invasi mu|utnya habis-habisan ini. Hingga dirasanya Rachel sudah mulai kehabisan napas, ia menghentikan c!um4n pan4s itu.
"Ayo jadi pacarku, Rachel."
"K-kak... "
"Aku ngga perduli kamu siapa, aku ngga mau berbagi kamu dengan siapapun. Aku mau kamu jadi milikku, entah kapan dimulainya sejak lima bulan lalu, aku selalu kebingungan karena kamu. Kamu selalu ada di pikiranku. Rasanya ngga enak banget, Hel. Mau kan jadi pasanganku?", mohon Vano.
Bahkan c! Um4n brutal barusan masih belum hilang dari ingatannya, tapi Vano sudah melayangkan lagi satu pertanyaan sulit.
"K-kak... ", cicit Rachel dengan b!birnya yang sedikit bengkak.
"Jawab iya apa susahnya Rachel...! Aku suka kamu, aku juga tahu kamu juga begitu kan ke aku, jangan bilang engga." Vano sudah tidak sabar lagi.
"Iya, aku suka kakak. Suka banget, kayaknya ngga ada gunanya juga pura-pura lagi. Aku terbiasa bareng kak Vano. Semua hari ku isinya kak Vano doang, makanya sehari aja ngga bareng kakak, aku bener-bener ngga tahu mau ngapain. Tapi jangan ajak aku pacaran kak, ngga pantes."
"Apanya?".
"Ngga pantes aja, ayo kak, kelas mau di mulai. Boleh bantu aku berdiri?", tanya Rachel dengan senyum lebarnya.
🍀🍀
Jam pertama kelas berakhir, meski gerak Rachel agak lambat dalam berjalan, ia tidak kebingungan sedikit pun meng-handle kelasnya. Bahkan ia memulangkan siswanya lebih cepat dari Vano karena siswa bimbingannya lebih cepat mengerjakan Wsnya. Vano sampai heran sendiri. Sesekali ia curi - curi pandang meja yang berseberangan jauh dengannya di kelas yang luas itu, meja seberang yang berbatasan meja-meja siswa bimbingan mereka berdua.
"Kak? Udah selesai?".
"Udah."
"Datar banget anjir, bisa profesional ga sih." Rachel membatin.
"Kak, menu makan siangnya yang kemarin masih mau ngga?", tawar Rachel, sejujurnya ia pasrah akan apapun jawaban Vano, jika. Vano setuju syukur sekali, jika tidak ia akan bawa semua makanan yang ia bawa ke kantin, pasti Kan habis oleh Mikha and the geng.
"Yang kemarin?", Vano penasaran.
"Hmmm... Menu yang kemarin dibawa Sam. Aku ngga bekelin kakak biar dimakan bareng hari ini." seru Rachel polos sembari menyusun beberapa buku kunci jawaban soal yang masih berantakan di meja Vano.
"Ini anak bisa baik-baik aja setelah gua kok0p kedua kalinya? Gua harus gimana lagi, Rachel... Sejak kapan seorang Re Vano mati kutu begini didepan perempuab, mana di gantung lagi." Vano membeku menatap Rachel yang membantunya membersihkan mejanya seperti biasanya.
"Mau ngga kak? Kalo ngga mau biar aku bawa ke kantin, sama tim nya Mikha pasti habis."
"Aku mau." datar lagi.
"Ya udah kak, ayo." Ajak Rachel dengan tongkatnya dengan penampilan yang tidak biasa menurut Vano.
"Sejak kapan kamu bawa tote bag?".
"Oh, susah kak bawa kunci jawaban sama buku yang lain, apalagi aku pake tongkat sekarang."
"Ada aku Rachel."
"Yang asisten aku, bukan kakak. Aneh kalau kakak yang bawa barang-barang ku." Jawab Rachel dengan senyumnya lalu melangkah duluan.
Sumpah demi apapun Vano frustasi sekali. Baru kali ini ia berhadapan dengan tipe yang seperti ini. Susah sekali di tebak, ia bisa dengan mudah memprediksikan Ws bahkan level tertinggi sekali pun, tidak dengan gadis bertubuh kecil itu.
🍀🍀
Keduanya makan seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Sesekali Rachel melirik mulut Vano yang sibuk mengunyah itu, lalu fokus kembali ke makanannya.
"Tuh bibir yang ngok0p gua dua kali, ohh Neptunus Uranus Pluto mimpi apaan gua, dan bisa-bisanya gua bertingkah biasa aja."
Drrtt... Ponsel Rachel bergetar, spontan ia membulatkan matanya dan menarik atensi Vano, siapa yang mengirim teks hingga Rachel sebegitunya. Samuel kah? Sambil mencuri-curi pandang, karena Rachel asyik sekali.
"Makan dulu."
Rachel bahkan tidak menggubris.
"Ehhhemmm.. "
"Hel... "
"Rachel... "
"Hah? Iya kak? Kenapa?". Setelah ke empat kalinya baru ia menyahut.
Sappp Vano menarik ponsel Rachel dan memasukkannya ke saku celananya. Mata Rachel membulat sempurna.
"Kenapa kak?".
"Sebentar aja kamu liat aku bisa ngga?!", sergah Vano.
"Emangnya aku ngapain kak? Aku ngga ngapa-ngapain." Rachel semakin mati akal.
"Kita cium... ", happ
Mulut Vano dibungkam Rachel spontan, karena Vano menyebutkannya frontal sekali, teriak pula.
"Kakak ngomongin apa sih? Kita di Numbers, itu urusan kita di luar pekerjaan, please jangan di campurin."
Vano benar-benar diam kali ini. Sangat diam.
"Ponsel kamu aku sita dulu, aku balikin nanti sepulang kerja."
"Iya, terserah kakak." Lalu Rachel kembali ke mejanya.
Kini keduanya benar-benar diam, tidak ada lagi saling tanya jawab diantara rak seperti biasanya, keduanya sibuk dengan urusan dan pekerjaan masing-masing. Bahkan karyawan lain yang datang ke ruangan direktur agak takut melihat suasana di ruangan itu. Seolah Rachel adalah Vano versi perempuan, keduanya sama datar dan dingin, padahal karyawan itu hanya meminta tanda tangan Vano tapi menurutnya seperti meminta tanda tangan dosen penguji.
"Rachel...".
.
.
.
TBC... 💜