Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 10 Berlanjut
Beberapa menit kemudian, supir itu kembali, tubuhnya sedikit basah meskipun ia membawa payung. “Mbak, sepertinya ini bakal makan waktu. Kalau Mbak mau, bisa tunggu di sini, atau kalau ada panggilan darurat, saya bantu carikan taksi lain.”
Nadia memilih untuk tetap tinggal di dalam taksi. Ia tidak ingin menambah masalah bagi supir itu, apalagi di tengah hujan lebat seperti ini.
“Enggak apa-apa, Pak. Saya tunggu saja di sini,” jawabnya sambil mencoba bersikap tenang.
Sambil menunggu, Nadia memandang jalanan yang sepi. Tetesan air yang mengalir di jendela membentuk pola abstrak, seakan melukiskan perasaan kacau di dalam hatinya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir pikiran tentang Reza yang terus mengganggunya sejak pertemuan di acara sosial tadi.
Suara pintu mobil yang diketuk tiba-tiba mengejutkannya. Nadia menoleh cepat, berpikir bahwa mungkin itu supir taksi yang kembali untuk melaporkan sesuatu. Namun, ketika ia menurunkan kaca jendela, wajah yang tak asing itu muncul di depannya.
Reza.
Nadia membeku, jantungnya berdetak lebih kencang. Tubuh Reza basah kuyup, jas mewah yang ia kenakan sebelumnya kini terlihat kusut. Tapi ekspresi di wajahnya tetap tenang, matanya yang tajam menatap langsung ke arah Nadia.
“Reza?” Suara Nadia hampir tak terdengar, tertelan oleh derasnya hujan.
Reza tersenyum kecil, seolah kehadirannya di tengah hujan ini adalah hal paling wajar di dunia. “Apa yang kamu lakukan di sini, Nad? Taksi mogok?” tanyanya santai, meski suaranya harus sedikit ditinggikan agar terdengar di tengah gemuruh hujan.
Nadia masih terpaku, mencoba memahami situasi yang begitu mendadak ini. “Kamu… kenapa ada di sini?” tanyanya balik, tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
Reza menunjuk ke arah sebuah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari sana. “Aku lewat dan melihat kamu di dalam taksi ini. Sepertinya ban mobil ini bocor, ya?”
Nadia tidak menjawab, hanya menatapnya dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Hujan semakin deras, membasahi rambut Reza yang kini jatuh ke dahinya.
“Ayo, aku antar kamu pulang,” ucap Reza akhirnya, memotong keheningan.
Nadia langsung menggeleng. “Enggak perlu. Supir taksinya sudah mengganti ban. Aku bisa menunggu.”
Reza menghela napas, seolah mendengar jawaban yang sudah ia duga. “Kamu tahu hujan ini enggak akan berhenti sebentar lagi, kan? Jangan keras kepala, Nad. Lagipula, aku enggak mungkin meninggalkan kamu di sini begitu saja.”
Nadia menggigit bibirnya, mencoba mencari alasan untuk menolak. Tapi tatapan Reza yang tegas membuatnya kehilangan kata-kata. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menyerah, membuka pintu taksi dengan ragu-ragu.
“Baiklah,” katanya pelan, meski hatinya masih dipenuhi kebingungan.
Reza tersenyum tipis, lalu membuka payung yang ia bawa dan melindungi Nadia dari hujan deras saat mereka berjalan menuju mobilnya. Nadia tidak bisa berhenti bertanya-tanya, apakah pertemuan ini kebetulan, atau takdir yang kembali mempermainkan mereka?
Nadia menatap ke arah supir taksi yang masih sibuk mengganti ban di bawah hujan deras. Hatinya terasa berat untuk meninggalkannya, tetapi dengan Reza yang berdiri di sisinya, menawarkan tumpangan, ia tahu bahwa keputusan ini lebih praktis.
Dengan ragu, Nadia melangkah keluar dari taksi, payung yang dipegang Reza melindungi mereka dari hujan. Ia berjalan mendekati supir taksi yang kini berjongkok di samping roda mobil.
“Pak,” panggil Nadia dengan suara lembut.
Supir itu menoleh, menatapnya dengan wajah sedikit kelelahan. “Iya, Mbak? Maaf ya, ini sebentar lagi selesai.”
Nadia menggeleng cepat. “Enggak apa-apa, Pak. Tapi... sepertinya saya harus pergi dulu. Teman saya kebetulan lewat dan menawarkan tumpangan.”
Supir itu berdiri perlahan, mengusap wajahnya yang basah dengan lengan bajunya. “Oh, begitu. Enggak apa-apa, Mbak. Saya minta maaf ya, ini jadi bikin Mbak repot.”
Nadia tersenyum kecil, lalu merogoh tasnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada supir itu.
“Ini untuk ongkosnya, Pak. Terima kasih sudah membantu sejauh ini,” katanya tulus.
Supir itu sempat menolak. “Wah, Mbak, ini terlalu banyak. Saya enggak enak...”
“Tolong diterima, Pak. Saya benar-benar menghargai usaha Bapak di tengah hujan seperti ini,” potong Nadia dengan nada tegas namun ramah.
Akhirnya, supir itu menerima uang tersebut dengan sedikit ragu, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Mbak. Hati-hati di jalan, ya.”
Nadia mengangguk. “Bapak juga, hati-hati pulangnya.”
Setelah menyelesaikan urusannya dengan supir taksi, Nadia kembali ke sisi Reza yang masih memegang payung, menunggunya dengan sabar.
“Sudah selesai?” tanya Reza, suaranya terdengar lembut namun penuh keyakinan.
Nadia mengangguk. “Sudah. Ayo, kita pergi.”
Reza membuka pintu mobil untuknya dengan gerakan sopan, seperti seorang pria yang sedang mengantarkan seorang ratu. Nadia masuk ke dalam mobil yang hangat, kontras dengan dinginnya hujan di luar.
Saat Reza masuk dan menutup pintu, suara hujan mereda, digantikan oleh keheningan canggung di dalam mobil. Nadia mencoba menenangkan pikirannya, meski ia tahu, perjalanan ini akan membawa lebih banyak pertanyaan yang harus dijawab.
Mobil melaju perlahan di tengah hujan deras, suasana di dalamnya terasa hangat meski sedikit canggung. Reza memegang kemudi dengan tenang, sesekali melirik ke arah Nadia yang duduk di kursi penumpang. Nadia, di sisi lain, sibuk menatap ke luar jendela, meskipun pikirannya tidak benar-benar pada pemandangan di luar.
“Jadi, apartemenmu masih di tempat yang sama?” tanya Reza tiba-tiba, memecah keheningan.
Nadia menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Iya, masih. Aku belum pindah.”
Reza mengangguk pelan, pandangannya kembali fokus ke jalan. “Aku kira, setelah semuanya, kamu mungkin ingin pindah ke tempat baru.”
Nadia mendengar nada halus dalam kata-katanya, tapi ia tidak ingin terlalu memikirkannya. “Tidak semudah itu. Pindah butuh banyak pertimbangan,” jawabnya singkat.
Hening kembali mengisi ruang di antara mereka, hanya suara hujan di kaca mobil yang terdengar.
“Aku enggak menyangka akan bertemu kamu di acara sosial tadi,” ucap Reza tiba-tiba, nadanya terdengar tulus.
Nadia memandangnya sejenak sebelum menjawab, “Aku juga enggak menyangka akan melihat kamu... seperti itu.”
“Seperti apa?” tanya Reza sambil meliriknya dengan senyum tipis.
“Dengan jas mewah, dikelilingi orang-orang penting. Kamu terlihat... berbeda,” kata Nadia, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati.
Reza tertawa kecil, tapi tawanya terdengar penuh arti. “Waktu memang bisa mengubah banyak hal, Nad.”
Nadia tidak langsung menjawab. Ia menggenggam tas di pangkuannya lebih erat, mencoba meredam berbagai emosi yang muncul. “Tapi, kenapa kamu tidak pernah memberi tahu? Tidak ada satu pun kabar setelah kita berpisah.”
Reza terdiam. Untuk beberapa saat, hanya suara penghapus kaca yang bergerak maju mundur di bawah hujan yang terdengar.
“Ada alasan untuk semuanya,” jawabnya akhirnya, suaranya rendah. “Tapi aku pikir ini bukan waktu yang tepat untuk membahas itu.”
Mobil berhenti di depan gedung apartemen Nadia. Reza mematikan mesin, tapi tidak langsung membuka pintu. Ia menatap Nadia dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Nadia,” panggilnya pelan.
Nadia menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Reza yang dalam.
“Aku tahu aku punya banyak hal yang harus dijelaskan. Dan aku berjanji, akan ada waktu untuk itu,” ucap Reza dengan nada serius.
Nadia hanya mengangguk kecil, merasa terlalu lelah untuk membalas apa pun. “Terima kasih sudah mengantar aku pulang,” katanya singkat, lalu membuka pintu dan keluar dari mobil.
Reza hanya memandangnya sampai sosok Nadia menghilang ke dalam gedung apartemen. Dengan satu helaan napas panjang, ia menyalakan mobilnya kembali dan melaju pergi.
Nadia membuka pintu apartemennya dengan perasaan campur aduk. Setelah hari yang panjang dan penuh kejutan, ia hanya ingin beristirahat. Ia menutup pintu, melepaskan sepatu, dan berjalan ke ruang tamu. Suasana apartemennya yang hening seperti biasa terasa lebih sunyi dari biasanya.
Ia meletakkan tasnya di sofa, melepas jaket yang sedikit lembap karena hujan, lalu menghela napas panjang. Tatapannya melayang ke arah meja, di mana secangkir kopi dingin dari pagi tadi masih tergeletak. Tanpa banyak berpikir, ia merapikan sedikit barang-barang yang berserakan di ruang tamu, lalu melangkah ke kamar mandi.
Air hangat mengalir di tubuhnya, memberikan rasa nyaman yang sangat dibutuhkan. Tapi pikiran Nadia tidak tenang. Bayangan wajah Reza terus muncul di benaknya—wajah yang tidak pernah ia duga akan ia temui lagi, apalagi dalam keadaan seperti itu.
“Kenapa harus sekarang?” gumamnya pelan, membiarkan air hujan yang masih melekat di rambutnya luruh bersama kekhawatiran yang memenuhi pikirannya.
Setelah selesai, ia mengeringkan tubuh, mengenakan piyama favoritnya, lalu melangkah ke kamar tidur.
Nadia melemparkan tubuhnya ke tempat tidur dengan lelah, menarik selimut hingga menutupi separuh tubuhnya. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba memproses semua yang telah terjadi hari ini.
Pertemuan mendadaknya dengan Reza, perhatian pria itu yang tetap sama seperti dulu, dan fakta bahwa ia sekarang seseorang yang begitu berbeda dari Reza yang ia kenal—semua itu terasa seperti teka-teki besar yang belum memiliki jawaban.
“Kenapa dia kembali sekarang? Apa maksud semua ini?” pikirnya dalam hati.
Nadia tahu ia tidak akan mendapatkan jawaban malam ini. Tapi meskipun begitu, pikirannya terus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dadanya terasa berat.
Akhirnya, ia memejamkan mata, berharap tidur akan membawa ketenangan sementara. Namun, bahkan dalam tidurnya, bayangan Reza tetap hadir, seakan menjadi tanda bahwa kisah mereka belum benar-benar selesai.