Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HUKUMAN
Langit menatap Jingga penuh permohonan, menyiratkan agar Jingga mau mendengarkan dulu alasan di balik penyamaran dirinya. Pria itu mempunyai alasan yang kuat, tapi salahnya, ia tak menceritakan semuanya pada Jingga.
Andai saja Langit mau berterus terang tentang dirinya yang sebenarnya pada saat ia menceritakan masa lalunya pada Jingga, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Harusnya, saat itu juga ia jujur. Alex pun sudah memperingatkannya, agar Langit jujur sebelum Jingga mendengar semuanya dari orang lain.
Serapat-rapatnya kamu mengubur bangkai, maka baunya akan tercium juga. Langit melupakan peribahasa itu.
"Dengarkan aku dulu, sayang.." pinta Langit.
Jingga tak menjawab, ia lalu berbalik hendak pergi, tapi Mega datang dan menghampirinya. Mega tersenyum padanya, senyuman yang menyiratkan banyak maksud dan arti. Apalagi saat gadis itu melihat Langit tanpa penyamarannya. Rencananya berhasil, begitu pikirnya.
"Wah, kita kedatangan tamu agung ayah?" ucapnya tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Tuan Langit yang terhormat dan pandai berbohong," ucap Mega seraya tersenyum sinis. Ia lalu menatap Jingga, "Aku tidak berbohong kan adikku?" ucapnya.
Melihat wajah Mega yang begitu menantangnya, Langit mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Rasanya gatal, ingin menampar bibir tebal Mega yang sudah lancang membongkar penyamarannya.
"Ya, mbak tidak berbohong," ucap Jingga. "Dia memang membohongiku, tapi.."
Mega mengangkat sebelah alisnya, ia terus memperhatikan setiap gerak Jingga. Mega ingin tahu apa yang akan di lakukan Jingga, mungkin saja menampar Langit lalu meminta cerai dari pria itu, sepicik itulah pikirannya.
Tak hanya Mega, Langit dan Hardi pun ingin tahu apa yang akan di lakukan Jingga.
Perempuan itu mendekati suaminya, lalu kembali berbalik menatap Mega, "Dia sudah membohongiku mbak. Apa mbak ingin tahu, apa yang akan aku lakukan pada suamiku ini?"
Mega tak menjawab, namun sebelah alisnya terangkat dengan seringaian licik terukir di bibirnya. Ia semakin merasa menang saat Jingga kembali berbalik dan berdiri tepat di hadapan Langit.
"Sayang, aku..."
Ucapan Langit terhenti, matanya membulat sempurna, pria itu terkejut saat tiba-tiba Jingga menarik lehernya lalu mengecup bibirnya. Tidak tidak tidak, bukan hanya sekedar kecupan saja, tapi perlahan bibir perempuan itu bergerak menggoda dan memancingnya untuk membalas.
Tentu Langit tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia membalas pagutan bibir Jingga dengan penuh perasaan. Mereka terus berpagut bibir, saling bertukar saliva dan saling membelit lidah. Mengabaikan keberadaan Ayah Hardi yang tampak tersenyum lalu berbalik badan agar tak melihat adegan panas itu. Begitu pun dengan pak Lim, pria tua itu berbalik badan menghindari pandangan itu.
Lalu Mega, gadis itu bukan hanya terkejut, tapi juga di bakar amarah dan kecemburuan. Ia kira ia sudah menang dan berhasil memisahkan Jingga dan Langit, tapi ternyata di luar dugaan, Jingga justru mempertontonkan adegan romantis di hadapannya.
Tak terbayang bagaimana wajah Mega saat ini, merah padam menahan amarah yang siap meledak. Kedua tangannya terkepal, ia memalingkan wajah agar tak melihat adegan itu.
"Anggap itu sebagai hukuman untukmu suamiku!" ucap Jingga saat ia melepas pagutan bibirnya. "Hukuman selanjutnya, kita selesaikan di kamar kita."
Langit tersenyum, ia mengusap bibir basah Jingga dengan ibu jarinya, lalu mengecup bibir ranum perempuan itu sekilas, "Dengan senang hati, sayang."
Jingga tersenyum puas, ia lalu berbalik menatap Mega yang tampak kesal. "Aku sudah menghukum suamiku, mbak. Mbak tenang saja, mulai sekarang, jangan terlalu memikirkan aku. Biarkan semua berjalan sesuai keinginanku dan suamiku, mbak urus lah diri mbak sendiri. Tapi aku juga mau mengucapkan terima kasih, berkat informasi penting dari mbak, aku jadi tahu setampan apa suamiku ini."
Jingga tersenyum, ia lalu menoleh pada Langit yang masih tampak bingung. Perubahan sikap Jingga di depan Mega benar-benar membuatnya terkejut, tapi sisanya ia bahagia. Perempuan polos itu kini perlahan menjelma menjadi perempuan yang kuat dan cerdas.
"Ayo kita pulang suamiku," ajak Jingga. Ia bergelayut manja di lengan Langit, lalu berpamitan pada sang ayah.
"Ayah, kami pulang dulu. Ayah tenang saja, aku akan hidup bahagia dengan suamiku."
"Nak, maafkan ayah. Ayah.."
"Sssttt.." potong Jingga, "Aku baik-baik saja ayah. Besok datang lah ke rumah kami, kita makan malam bersama disana. Ajak ibu juga mbak Mega," ucap Jingga. Ia mendongak menatap Langit, "Boleh kan mas?"
"Tentu, tentu boleh sayang. Apapun untukmu," ucap Langit seraya tersenyum.
Jingga balas tersenyum, lalu mereka berjalan bersama melewati Mega.
"Mbak, aku harap mbak mau datang besok. Aku permisi.."
Mega tak menjawab, tangannya masih terkepal kuat. Mulutnya tertutup rapat meski sangat ingin mengumpat.
"Tidak, ini bukan kekalahanku! Aku tidak akan menyerah begitu saja Jingga, aku lah yang harusnya ada di posisimu sekarang!" batin Mega.
"Berhenti mengganggu kehidupan adikmu, Mega! Jangan campuri lagi urusan rumah tangganya!"
Kalimat itu membuat Mega tersentak. Ia menatap sang ayah, "Kenapa ayah membelanya? Apa karena ayah juga terlibat dalam kebohongan yang Langit sembunyikan dari Jingga?"
"Mega!!" Sentak Hardi, tangannya bergetar, jika kuasa, ia ingin sekali menampar pipi putri sulungnya itu. Tapi sekuat tenaga ia menahan emosinya. "Apa kamu lupa siapa yang dulu menolak untuk menikah dengan Langit? Kamu Mega! Kamu sendiri yang menolaknya dan meminta Jingga menggantikan mu! Apa kamu tidak merasa malu? Sekarang kamu mencoba mendapatkan Langit dengan cara licik seperti itu! Ayah malu Mega!"
"Itu karena aku tidak tahu kalau Langit ternyata bukan pria tua ayah!" pekik Mega. Ternyata sang ayah tahu tentang rencana liciknya mendapatkan Langit.
Hardi tersenyum miris, "Lihatlah adikmu, dia mencintai Langit dengan tulus. Bahkan sebelum Jingga tahu bahwa Langit bukanlah pria tua. Jingga memang pantas mendapatkan kebahagiaan."
Mega menggelengkan kepalanya, ia tak terima dengan ucapan sang ayah. "Ayah selalu membelanya, aku juga putrimu ayah!" pekiknya lagi.
"Ayah bukan membelanya, karena kamu memang salah Mega.." ucapan Hardi melemah, ia tak bermaksud membela salah satu putrinya dan memojokkan putrinya yang lain. Ia hanya ingin mengingatkan, bahwa apa yang Mega lakukan adalah salah. Mungkin karena emosi, Hardi mengucapkan kata-kata yang menyakiti Mega.
Mega tak ingin mendengar lagi, ia pergi ke dalam rumah seraya menangis.