para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Hutan yang Tidak Pernah Tidur
Danu mencoba menerima kenyataan bahwa dirinya telah menjadi sosok yang terhapus dari dunia nyata. Setiap usaha untuk berkomunikasi dengan orang lain sia-sia. Ia tidak lagi terlihat dalam foto atau video, tidak meninggalkan bayangan di cermin, dan bahkan suaranya tidak pernah terdengar. Tapi ia tetap merasa ada yang mengawasi.
Semakin lama, ia menyadari bahwa Hutan Giripati tidak sepenuhnya pergi. Dalam mimpinya, ia sering kembali ke altar itu, tempat ia mendengar bisikan-bisikan yang semakin jelas:
“Kamu hanya penundaan. Kami akan kembali, lebih besar, lebih kuat.”
Danu mencoba mengabaikan mimpi itu, tetapi sesuatu mulai berubah. Di setiap tempat yang ia kunjungi, ia melihat tanda-tanda hutan: dedaunan basah di lantai apartemennya, bekas akar di dinding, dan sesekali, ia melihat bayangan sosok-sosok tanpa wajah mengintip dari sudut ruangan.
Namun, malam yang paling mengerikan adalah ketika ia mendengar suara langkah kaki dari dalam apartemennya. Langkah itu berat, menyeret, seperti sesuatu yang berusaha memanggilnya kembali.
Ketika ia membuka pintu kamar, ia menemukan sesuatu yang tak bisa dijelaskan: sebuah jalur setapak tanah basah, mengarah ke tengah hutan lebat yang tidak mungkin berada di apartemennya.
Pintu Kembali ke Hutan
Danu tahu ia tidak memiliki pilihan lain. Jika ia tidak melangkah ke dalam jalur itu, suara bisikan dan keanehan di sekitarnya akan semakin buruk.
Dengan perasaan berat, ia melangkah ke jalan itu. Dalam sekejap, ia kembali berada di tengah Hutan Giripati.
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Hutan itu tampak lebih hidup, lebih gelap, dan lebih menakutkan daripada sebelumnya. Pohon-pohon seperti bergerak perlahan, seolah bernapas. Di udara, terdengar bisikan-bisikan ribuan suara, semuanya memanggil namanya.
Danu mulai menyadari apa yang terjadi. Meskipun ia berhasil menghancurkan altar dan mengembalikan liontin, hutan telah menyerap esensinya. Ia sekarang adalah bagian dari hutan itu sendiri.
Dan kini, ia dipanggil untuk menyelesaikan tugas yang tidak pernah ia pahami sebelumnya.
Saat Danu berjalan semakin dalam, ia melihat altar baru di tengah hutan, lebih besar dan lebih gelap dari sebelumnya. Batu-batu besar itu ditutupi ukiran kuno yang berdenyut dengan cahaya merah samar, seperti organ hidup.
Di sekeliling altar, ia melihat sosok-sosok yang dulu ia kenal—Bimo, Alin, Sari, bahkan wajah-wajah lain yang ia tidak kenali, mungkin korban-korban lain dari masa lalu. Mereka tidak bergerak, hanya berdiri dengan kepala tertunduk, seperti boneka yang menunggu perintah.
Sebuah suara besar menggema di seluruh hutan, suara yang membuat pohon-pohon bergetar:
“Kami telah menunggumu, Danu. Kamu adalah kunci terakhir.”
“Untuk apa?!” teriak Danu, meskipun ia tahu jawabannya tidak akan membawa harapan.
Suara itu menjawab: “Untuk membuka pintu ke dunia kami.”
Tiba-tiba, akar-akar pohon melilit kaki dan tangan Danu, menyeretnya ke altar. Ia mencoba melawan, tetapi kekuatannya tidak sebanding dengan kehendak hutan itu. Ia diangkat dan ditempatkan di tengah altar, tepat di atas simbol besar yang mulai bersinar merah darah.
Sosok-sosok tanpa wajah mulai bergerak mengelilinginya, memutar perlahan seperti tarian ritual. Mereka melafalkan mantra dalam bahasa kuno, dan cahaya merah semakin terang.
Namun, saat Danu hampir kehilangan kesadaran, ia mendengar bisikan lain, suara yang berbeda—lembut tetapi penuh rasa sakit. Itu suara Sari.
“Danu, kau bisa menghentikannya. Tapi kau harus menyerahkan segalanya.”
“Segalanya?” pikir Danu. “Apa lagi yang bisa aku berikan? Aku sudah kehilangan semuanya.”
Sari muncul di hadapannya, wajahnya seperti manusia lagi, tetapi penuh luka. “Kamu harus menyerahkan dirimu sepenuhnya. Bukan hanya tubuh, tapi jiwa dan keberadaanmu. Itulah satu-satunya cara untuk menghentikan mereka.”
Danu tahu ia tidak memiliki pilihan lain. Jika ia tidak melakukan ini, hutan akan membuka portal yang akan membawa makhluk-makhluk dari dunia lain ke dunia manusia.
Ia menutup mata, menarik napas panjang, dan berbisik, “Aku serahkan semuanya.”
Dalam sekejap, tubuh Danu terasa seperti terbakar dari dalam. Cahaya merah di altar berubah menjadi putih yang menyilaukan. Sosok-sosok tanpa wajah berhenti bergerak, melolong kesakitan sebelum tubuh mereka larut menjadi bayangan hitam dan hilang.
Altar mulai runtuh, dan hutan itu sendiri tampak menggeliat, seperti makhluk hidup yang sedang sekarat. Pohon-pohon tumbang, akar-akar menghilang ke dalam tanah, dan bisikan-bisikan itu akhirnya berhenti.
Ketika semuanya berakhir, Danu tidak lagi ada. Tidak ada tubuh, tidak ada jiwa. Ia telah menyerahkan semuanya untuk menghentikan ritual itu.
Bertahun-tahun kemudian, Hutan Giripati menjadi tempat yang kosong. Tidak ada lagi keanehan, tidak ada lagi cerita menyeramkan. Penduduk desa perlahan mulai melupakan kisah-kisahnya.
Namun, bagi mereka yang cukup berani masuk jauh ke dalam hutan, mereka melaporkan hal yang sama: sebuah bayangan yang mengikuti, suara langkah kaki di belakang mereka, dan bisikan pelan yang berkata: “Pergilah… sebelum terlambat.”
Danu telah menjadi penjaga Hutan Giripati, selamanya terjebak di antara dunia manusia dan dunia kegelapan.
Hutan itu tidak lagi lapar, tetapi ia masih hidup. Dan Danu akan memastikan bahwa tidak ada yang membuka jalan ke kegelapan lagi.