Satu demi satu kematian terjadi di sekolah.
Jika di waktu biasa, orang tua mereka akan langsung menuntut balas. Tapi bahkan sebelum mereka cukup berduka, perusahaan mereka telah hancur. Seluruh keluarga dipenjara.
Mantan anak yang di bully mengatakan, "Jelas ini adalah karma yang Tuhan berikan, atas perbuatan jahat yang mereka lakukan."
Siswa lainnya yang juga pelaku pembully ketakutan, khawatir mereka menjadi yang selanjutnya. Untuk pertama kalinya selama seratus tahun, sekolah elit Nusantara, terjadi keributan.
Ketua Dewan Kedisiplinan sekaligus putra pemilik yayasan, Evan Theon Rodiargo, diam-diam menyelidiki masalah ini.
Semua kebetulan mengarahkan pada siswi baru di sekolah mereka. Tapi, sebelum Evan menemukan bukti. Seseorang lebih dulu mengambil tindakan.
PERINGATAN MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cerryblosoom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 MULAI BEKERJA & PERTEMUAN KEDUA
Dalam waktu 10 menit Aria telah menyelesaikan perhitungannya, dan menyerahkan pada Aron.
"Sudah selesai, begitu cepat," ucap Aron tidak percaya.
Aron langsung mengecek pekerjaan Aria dengan teliti. Menit demi menit berlalu, Dia tidak menemukan kesalahan apapun. Kepalanya mendongak, menatap Aria dengan ekspresi takjub, "Tidak ada yang salah."
"Apa kita bisa pulang?" tanya Aria.
"Ya-ya semua sudah selesai. Kita hanya perlu mengunci pintunya saja," jawab Aron cepat.
Keduanya langsung beberes masing-masing.
"Aku akan menyerahkan kunci cadangan padamu," kata Aron. Dia membuka dalam tasnya mengambil kunci yang sudah disiapkan. Dan menyerahkannya pada Aria. "Besok kamu akan bekerja sendirian. Jika ada yang ingin ditanyakan atau butuh sesuatu, langsung hubungi aku, okey."
Aria mengangguk, "Baik."
Setelah beberapa basa-basi lagi. Keduanya berpisah, pulang ke arah tempat tinggalnya masing-masing.
Aria berjalan sendirian, lingkungan sekitar sangat sepi, untungnya lampu yang menerangi jalanan sangat terang, sehingga tidak membuatnya kesulitan berjalan dalam kegelapan.
Untuk sampai di kosan, Aria masih harus melewati sekolah kembali. Letak toko memang berlawanan arah dari gang kosan nya. Bisa saja tidak harus kembali ke sekolah, tapi itu akan menggunakan jalan memutar.
Setelah berjalan lama akhirnya Aria sampai di kosan nya.
Hari ini adalah hari yang melelahkan untuknya. Tapi meski begitu Aria tidak langsung tidur.
Aria membuka tasnya dan mengeluarkan dua formulir dari sana. Satu adalah formulir untuk bergabung pada klub Merangkai Bunga. Dan yang lain adalah klub Kesehatan. Di NUSANTARA HIGH SCHOOL, memang diwajibkan untuk mengikuti 2 klub dan satu ekskul. Untuk ekskul Aria masih belum memutuskan. Jadi untuk saat ini dia hanya akan bergabung dengan dua klub ini.
Setelah mengisi dua formulir, dia menaruhnya kembali ke dalam tas. Barulah kemudian dia bersiap untuk tidur.
...----------------...
Keesokan paginya.
Sebelum ke kelas, Aria pergi ke meja guru Alin, untuk menyerahkan formulir.
"Dua klub saja, lalu untuk ekskulnya, apa kamu lupa?" tanya Guru Alin.
"Saya masih belum memutuskan," jawab Aria jujur.
"Em, baiklah. Tapi karena kamu datang di pertengahan semester. Kamu harus segera memutuskan. Jika tidak itu akan mempengaruhi penilaian raport. Ibu akan beri waktu satu bulan lagi."
Aria mengangguk dengan patuh. Waktu satu bulan adalah waktu yang lebih dari cukup untuknya.
Melihat kepatuhan Aria, Guru Alin tersenyum puas, selalu menyenangkan memiliki murid yang patuh. Dia menaruh formulir dalam laci, untuk diserahkan nanti, dan mulai bicara topik lain, "Bagaimana teman-teman sekelas, tidak ada yang mengganggumu kan?"
"Tidak, mereka baik," jawab Aria.
"Ohh, benarkah. Senang mendengarnya. Katakan pada Guru jika seseorang mengganggumu. Kamu sudah mulai terbiasa dengan lingkungan sekolah kan?"
Aria hanya mengangguk sebagai balasan.
"Bagaimana dengan materi pelajaran, apa kamu memiliki kesulitan?"
"Tidak," jawab Aria singkat.
"Guru tahu kamu murid yang pintar," Guru Alin tersenyum. Dia tidak marah ataupun kesal dengan sikap Aria yang pendiam. Dia hanya merasa semakin menyayangi Aria. Apalagi setelah Dia mendengar, Aria adalah anak yatim piatu.
Sebagai seorang ibu pejuang garis dua. Meski belum bisa memiliki anak sendiri. Hatinya paling lembut pada anak-anak.
"Baiklah, kamu bisa kembali ke kelas. Untuk formulir guru akan mengurusnya, hasilnya akan guru kabari waktu jam istirahat," ucap Guru Alin ramah.
"Terima kasih, guru," Aria pergi dengan sopan.
Aria berjalan keluar dari ruang guru tanpa kesulitan. Entah sebuah kesialan atau keberuntungan. Di tengah perjalanan, dari jauh Aria bisa melihat, kelompok Dewan Kedisiplinan berjalan ke arahnya. Berbeda dengan malam itu, ada tiga orang tambahan di antara mereka.
Aria terus berjalan dengan acuh, fokus pandangannya sangat baik, Dia hanya menganggap tidak mengenal orang-orang di depannya.
Di sisi lainnya.
Gandi yang pertama menyadari keberadaan Aria, berkata, "Hey, bukankah yang sedang berjalan ke arah kita itu adalah siswi baru. Sepertinya dia baru saja dari arah ruang guru."
Semuanya seketika menatap ke arah yang sama. Bahkan Evan mengangkat matanya, mencari keberadaan Aria.
"Pantas dia disebut loli, dia sangat pendek rupanya," celetuk Ezra.
"Jangan menghinanya seseorang akan marah," balas Gandi.
"Hah, siapa memangnya?" tanya Ezra heran. Seminggu tidak datang ke sekolah, sepertinya Dia telah melewatkan sesuatu.
Ezra juga merupakan anggota Dewan Kedisiplinan. Dia baru saja kembali setelah seminggu tinggal dirumah karena sakit.
Pemandangan yang jarang sekali terlihat, dimana tujuh anggota berkumpul dan berjalan bersama, kurang satu orang saja maka anggota mereka akan lengkap.
Semua orang saja sudah dipastikan akan menyingkir ketakutan, walau hanya melihat satu anggotanya saja, dan sekarang anggota lengkap hadir. Jelas tidak ada yang berani mendekat dalam jarak dua puluh meter.
Aria satu-satunya yang berjalan ke arah mereka dalam jarak ini. Dan masih belum terlihat akan berputar arah.
Gandi tidak menjawab, matanya menatap ke depan dan ke arah ketuanya, dengan tatapan tertarik, "Apa dia akan terus berjalan ke arah kita?" tanyanya sekaligus menduga-duga.
Mendengar itu, Evan juga sedikit menantikan. Di malam itu, siswi baru itu terlihat sangat berani berargumen dengannya. Siswi baru itu tidak pergi, saat orang-orang menghindari Dewan Kedisiplinan. Tapi mengingat dia baru datang, itu hal yang wajar. Gadis itu pasti belum banyak mendengar tentang mereka.
Namun, jika kali ini, dia juga akan sangat berani menghadapi mereka. Evan harus mencapnya, sebagai gadis bodoh yang menginginkan perhatian. Karena jika gadis itu pintar, dia harus segera berbalik arah.
Sedangkan, Aria yang sedang dibicarakan, sama sekali tidak tahu perhitungan kelompok di depannya. Bahkan kalaupun dia tahu, dia tidak akan terlalu perduli.
Tidak seperti dugaan Gandi atau Evan. Aria tidak berbalik arah, ataupun terus berjalan maju.
Tiba-tiba saja Dia menghentikan langkahnya, dan berdiri diam. Saat jarak mereka kurang dari 20 meter. Aria meminggirkan tubuhnya, seperti ingin memberikan jalan. Postur tubuhnya tegap, hanya kepalanya yang sedikit menunduk.
Saat Evan sampai di hadapan Aria, Dia tidak bisa menahan untuk menghentikan langkahnya, melirik gadis kecil yang begitu patuh disampingnya.
"Senior," sapa Aria pelan.
Mendengar itu, Evan untuk kedua kalinya terkejut, yang pertama dia terkejut akan pilihan Aria untuk berhenti di waktu yang tepat, lalu yang kedua karena sapaan sopan nya. Ini kali pertama seseorang tidak takut pada label Dewan Kedisiplinan. Tapi hanya menghormati kehadiran mereka. Evan cukup menyukai perasaan ini.
"Apa kamu sudah mempersiapkan ini?" tanya Evan menyelidiki.
Aria mendongak, menatap tepat pada mata elang didepannya, tidak ada rasa takut atau gentar, dia hanya bertanya dengan tenang, "Aku tidak mengerti maksud, senior?"
Jika yang dimaksud adalah pertemuan ini. Aria harus berteriak, "tidak sama sekali". Dia lebih ingin diam di kelas mengerjakan soal. Dibandingkan harus repot-repot merancang pertemuan semacam ini.
"Ohh, ya," Evan menahan geli. Nampaknya gadis ini sangat membenci bertemu dengan kelompoknya. Berarti sudah jelas pertemuan hari ini memang tidak disengaja. Lagipula mereka satu sekolah. Sesekali berpapasan memang tidak bisa dicegah.
Tapi dia jadi agak sedikit tersinggung, bagaimanapun juga ini kali pertama seseorang benci bertemu dengannya. Haruskah dia membiarkannya begitu saja.
Sebenarnya Aria sangat pandai menyembunyikan emosinya. Lihat saja, selain Evan, semuanya hanya menganggap Aria sebagai anak yang polos. Sayang untuk anak sepolos ini, berhadapan dengan ketua mereka yang kejam dan tidak kenal ampun pada siapapun. Sebentar lagi mereka pasti akan melihat adegan berdarah.