Setelah kejadian kecelakaan kerja di laboratorium miliknya saat sedang meneliti sebuah obat untuk wabah penyakit yang sedang menyerang hampir setengah penduduk bumi, Alena terbangun di suatu tempat yang asing. Segala sesuatunya terlihat kuno menurut dirinya, apalagi peralatan di rumah sakit pernah dia lihat sebelumnya di sebuah museum.
Memiliki nama yang sama, tetapi nasib yang jauh berbeda. Segala ingatan tentang pemilik tubuh masuk begitu saja. Namun jiwa Alena yang lain tidak akan membiarkan dirinya tertindas begitu saja. Ini saatnya menjadi kuat dan membalaskan perlakuan buruk mereka terutama membuat sang suami bertekuk lutut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alena takut sama kamu.
Sambil menahan rasa kantuknya, Zaldo dan Althaf mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Alena. Alena kembali merasakan rasa pusing dan sakit di kepalanya. Dokter menduga jika itu ada hubungannya akibat dari amnesia yang dialami oleh Alena.
“Dokter, apa tidak ada cara agar istri saya bisa kembali mengingat semuanya dengan cepat,” tanya Althaf menggebu-gebu. Dokter hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Saya akan bayar berapapun yang penting ingatan istri saya bisa cepat kembali normal Dokter!!” Althaf masih bersikeras.
“Maaf tuan Althaf tidak akan ada cara apapun yang bisa dengan cepat mengembalikan ingatan istri anda. Semuanya–”
Braaakkk
“Dasar tidak berguna!!” Althaf menggebrak meja kerja dokter dengan cukup kuat.
“Al, tolong tenang. Jika tidak bisa tenang lebih baik kamu keluar!!” seru Zaldo angkat suara.
Althaf hanya bisa berdiam diri sambil menahan emosinya yang meluap-luap. Jika bukan karena demi kesembuhan Alena, Althaf pasti sudah meratakan rumah sakit dengan tanah.
“Mohon maaf Dokter atas ketidaknyamanannya. Apa tidak ada cara lain atau saran agar ingatan Alena bisa kembali pulih?” tanya Zaldo dengan kalimat yang berbeda namun tujuan yang sama.
“Jika berhubungan dengan memori atau ingatan itu sangat sensitif dengan kondisi pasien. Jadi semuanya tergantung dari Nyonya Alena sendiri dan dukungan orang-orang terdekat. Tolong kurangi hal-hal yang dapat memberikan tekanan yang memicu rasa sakit di kepala karena dikhawatirkan akan berakibat fatal dan justru berpotensi menghilangkan seluruh ingatan yang masih ada.”
“Lakukan hal-hal yang disukai nyonya atau aktivitas yang selalu Nyonya Alena lakukan setiap hari. Sedikit demi sedikit ingatan tersebut bisa kembali namun untuk waktunya tidak bisa ditentukan,” terang dokter dengan lugas dan jelas.
Tapi Altaf hanya bisa mencebikkan bibirnya seolah menganggap remeh semua perkataan dokter. Baginya apa yang dikatakan oleh dokter itu semuanya hanya omong kosong.
“Lalu bagaimana dengan kakinya, Dok!” tanya Zaldo sekali lagi.
“Untuk kelumpuhan kaki, berdasarkan hasil skrining tidak ada cedera atau kerusakan pada saraf tulang belakang. Jadi kelumpuhan kaki yang Nyonya Alena alami tidak bersifat permanen. Bisa dilakukan terapi atau istirahat yang cukup maka kondisi kakinya akan segera membaik. Yang terpenting jaga psikis Nyonya Alena, itu akan membantu sangat banyak dalam proses kesembuhannya,” ucap dokter memberikan jawaban.
Setelah mendengarkan segala penjelasan dokter, Zaldo terpaksa menyeret tubuh Althaf yang enggan beranjak dari ruangan kerja dokter. Althaf yang sombong dan angkuh tentu tidak mendengarkan dan menerima apa yang disarankan oleh dokter. Jika tidak melihat status Althaf sebagai donator terbesar di rumah sakit, mungkin sejak hari pertama Alena masuk rumah sakit, Althaf diseret keluar karena tingkahnya yang arogan dan mengganggu kenyamanan dokter dan pasien.
“Sebaiknya kamu pulang Al, jika ingin Alena cepat sembuh,” seloroh Zaldo sebelum masuk ke ruangan perawatan Alena.
“Cari mati kamu hah!!! Kamu ingin membawa istri saya!!!” hardik Althaf kesal.
“Heeeii…. Alena takut sama kamu Al. Setiap Alena melihat kamu, dia pasti berteriak ketakutan. Kamu hanya bisa bikin Alena sakit Al,” tegas Zaldo.
Deg
Deg
Deg
‘Alena takut sama kamu.’
‘Alena takut sama kamu.’
‘Alena takut sama kamu.’
Kalimat itu terus berputar di kepala Althaf, jantungnya seakan tertekan saat mengingat Alena yang histeris ketika Althaf mengatakan jika dia adalah suaminya.
“Cekkk, payah.” Zaldo meninggalkan Althaf yang mematung di ambang pintu.
Dengan langkah gontai, Althaf telah kembali ke rumahnya yang telah lama tak disinggahi. Begitu mendengar kabar jika sang tuan rumah akan pulang, para pelayan sibuk menyiapkan makanan dan membersihkan kamar pribadinya. Begitu pula dengan kedua istri Althaf, Diyah dan Ruby mempersiapkan diri dengan penampilan yang maksimal.
Tak lupa dandanan cantik dan baju terbaik mereka kenakan untuk menyambut kepulangan Althaf. Hal itu mereka lakukan untuk mendapatkan perhatian dan simpati dari suami mereka. Tentunya selagi tidak adanya kehadiran Alena, kedua istri tersebut saling berebut untuk mendapatkan perhatian.
“Selamat datang, Tuan Althaf,” ucap seluruh pelayan serempak.
Althaf hanya berjalan dengan rasa malas memasuki rumahnya. Hatinya merasa hampa, tak ada kehadiran Alena yang menyambutnya. Dengan berat hati, Althaf harus pulang setelah Alena kembali mengusirnya.
Bukan tanpa alasan Althaf pulang, dia ingin beristirahat dengan baik dan mengembalikan tenaganya yang terkuras selama beberapa hari menjaga Alena di rumah sakit. Bahkan untuk urusan pekerjaan, Althaf percayakan kepada Gilbert dan tangan kanan lainnya.
“Al, akhirnya kamu pulang juga. Kemarin kamu ingkar janji ingin mengantarkanku untuk kontrol ke rumah sakit,” sambut Diyah sambil melingkarkan tangannya pada lengan Althaf.
Wanita itu bersemu merah setelah Althaf tak menolaknya, biasanya hanya bersentuhan kulit saja dia pasti marah. Ruby mantap miris, saat Diyah mampu menggiring Althaf menuju meja makan. Meskipun luka-luka di wajahnya sudah kering, tetap saja meninggalkan bekas. Apalagi masih ada luka yang belum kering di bagian lengan dan kakinya.
Tentu hal tersebut akan menjadi pemandangan menjijikan jika Althaf sampai melihatnya. Sementara waktu, Ruby sedikit menjaga jarak apalagi tatapan Althaf yang tak sengaja melihat ke arahnya begitu menusuk. Seolah ingin mencekik dirinya saat itu juga.
Dengan telaten, Diyah mengambilkan makanan untuk Althaf. Tugas yang biasanya hanya dilakukan oleh Alena seorang. Diyah sangat memanfaatkan moment yang dia dapatkan hari ini. Tak lupa Diyah membuatkan kopi spesial untuk sang suami. Sudah menjadi kebiasaan harus tersedia kopi saat makan malam.
“Pergi dari sini!!” ucap Althaf tiba-tiba.
Mendengar hal itu, Diyah segera memberi kode agar pelayan yang berada di ruang makan untuk pergi.
“Cepat pergi dari sini!!!” pekik Althaf dengan suara yang jauh lebih menantang.
Diyah dan Ruby menegang, siapakah yang Althaf maksud untuk pergi mereka tidak paham. Namun tak berselang lama Althaf mengangkat salah satu tangannya dan menunjuk ke salah satu istrinya.
“Kamu, pergi!!” Althaf menunjuk ke arah Ruby.
Ruby pun terkejut bukan main, ternyata itu ditujukan kepadanya. Segera Ruby berdiri dan bergegas meninggalkan meja makan dengan hati yang dongkol. Dia tentu tidak terima diperlakukan seperti itu dihadapan Diyah. Untuk saat ini Ruby jelas tak bisa melakukan apapun karena takut jika Althaf akan menghukumnya kembali.
Senyum tersungging teruji jelas di wajah Diyah, merasa mendapatkan kemenangan atas pengusiran Ruby. Kini tak ada seorangpun yang bisa mengganggu kebersamaannya dengan Althaf.
Althaf pun mulai menyantap makan malamnya dengan tenang. Sengaja dia mengusir istri ketiganya karena masih mual saat melihat wajah wanita yang telah mencelakai Alena. Tak ada adegan suap-suapan seperti saat ada Alena. Althaf bahkan menolak saat Diyah hendak menawarkan untuk menyuapinya.
“Al, silahkan ini kopinya. Aku buat segala spesial dengan penuh cinta, yang pasti rasa manis dan pahitnya pas.”
Diyah menawarkan kopi yang sudah dia buat sebelumnya.
Tanpa rasa ragu Althaf meminum kopinya hingga hampir habis setengah. Melihat Althaf tidak menolak dan meminumnya, Diyah tersenyum dengan penuh kemenangan. Rencana yang telah dia susun sejak lama berhasil tanpa halangan apapun. Rasanya Diyah sudah tidak sabar untuk melewati malam panjang nan indah bersama suaminya. Malam yang telah lama dinantikan dan dirindukan setiap saat.