Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
“Dek,,,? Kenapa seperti ini?”
Wito menatap Nina tak percaya. Bibirnya kelu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Pandangannya beralih dari Nina ke ayah mertuanya, lalu ke Pak Lik Bayan, dan akhirnya pada kedua pamong desa yang duduk berdampingan di salah satu kursi panjang. Udara di rumah terasa begitu sesak, berat, seakan-akan menekan dadanya hingga sulit bernapas.
“Kita bisa membicarakan ini baik-baik, berdua saja. Kenapa harus dengan membawa orang lain dalam urusan rumah tangga kita?” Dia menatap Nina sendu. Sekaligus ada rasa tak percaya. Dia pikir Nina yang beberapa hari ini diam, karena wanita itu sudah bisa menerima keadaan. Siapa sangka ternyata istrinya malah sedang mempersiapkan rencana kejutan untuknya.
"Berbicara baik-baik seperti apa maksudnya, Mas?" suara Nina terdengar tegas. "Aku sudah pernah membicarakan ini denganmu. Aku sudah memberikan pilihan padamu, tapi kamu tak menggubrisnya. Lalu bicara baik-baik seperti apa yang kamu ingin? Aku menurut saja, dan membiarkan Kamu tetap berhubungan dengan Romlah, begitu maumu?” Nina menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan suaminya.
“Aku tidak bisa. Aku lelah. Dan mereka ini bukan orang lain. Mereka adalah orang tuaku. Memangnya pada siapa aku harus mengadu jika bukan pada mereka? Sedangkan sekarang kamu sudah tak bisa lagi kujadikan tempat bersandar." Nina menatap Wito datar. Sama sekali tak ada riak, membuat Wito merasakan sakit menghujam dadanya. Nina tidak berteriak, tidak marah dan memaki seperti beberapa hari sebelumnya. Tapi entah kenapa itu rasanya lebih sakit.
Ayah Nina, Pak Sukadi, menatap Wito dengan tatapan tajam. "Wito," suaranya berat, "Dulu, Aku menerima perjodohan yang diajukan oleh kakakmu. Aku pikir kamu bisa membahagiakan putriku. Tapi ternyata kamu malah menyakiti anakku. Kamu telah mengingkari janji suci pernikahanmu. Aku benar-benar kecewa padamu!”
Pak Lik Bayan menambahkan dengan suaranya tenang dan berwibawa, "Kita di sini bukan untuk ikut campur masalah kalian. Juga bukan untuk berdebat, Wito. Kita di sini untuk menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Nina telah memutuskan untuk bercerai, dan tentu saja kita akan membantu prosesnya." Ia kemudian menatap Wito tajam.
Pak Bayan Saleh, seorang pamong di desa Wito yang merupakan teman Pak Lik Bayan Parni menatap ke arah Wito. "Wito, jawab pertanyaan kami dengan jujur. Jangan ada yang kamu sembunyikan. Apa benar kau berselingkuh dengan Romlah?”
Dengan kepala tertunduk malu, Wito mengakui perbuatannya. Menyangkal pun juga tak guna. Karena istrinya pasti sudah membeberkan semuanya. "Benar, Pak Bayan. Saya salah..." Suaranya nyaris tak terdengar.
"Bagaimana kita bisa kecolongan seperti ini?" pak Saleh menatap ke arah pak Kartono, rekannya sesama bayan di desa itu.
"Iya, desa kita sudah tercemar, dan kita baru tahu setelah kondisi seperti ini," Pak Bayan Kartono menimpali seraya menghela nafas berat. "Kenapa Mbak Nina tidak melapor pada kami jika ada masalah seperti ini?"
"Maafkan Saya, Pak Bayan. Sebelumnya, Saya tidak ingin membuka aib suami Saya. Saya pikir suami saya bisa dinasehatin. Tapi ternyata sampai seperti berbusa mulut Saya, dia tetap tak bisa dibilangi. Karena itu lebih baik Saya yang mundur. Saya tidak mau makan hati."
"Dek...?" Wito menatap wajah Nina penuh rasa bersalah. Begitu tulus Nina mencintainya, tapi apa yang telah dia lakukan.
“Wahhh,,, jadi benar, yang dikatakan Nina waktu itu, kalau suaminya selingkuh sama Romlah?”
“Wahh, tidak aku sangka. Aku kira Wito itu hanya kerja biasa saja di pasar tempat jualannya Romlah.”
“Iya, aku juga baru tahu ternyata Wito kerja di kasur juga.“
“Aku menyesal, waktu itu tidak percaya sama Nina, dan malah ngata-ngatain dia.”
Bisikan-bisikan para tetangga yang kini memenuhi beranda rumah Nina. Kehadiran para pamong desa dan orang tua Nina telah menarik perhatian warga sekitar, dan rumah Nina kini dipenuhi oleh kerumunan orang yang penasaran.
Pak Bayan Saleh menyuruh seorang tetangga yang sedang berkerumun di beranda untuk memanggil Romlah. Permintaan itu menambah tegang suasana. Para tetangga berbisik-bisik, penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Suasana semakin panas.
Kang Damin, kakak ipar Nina, tiba-tiba muncul, wajahnya merah padam. Ia langsung mencak-mencak, menghampiri Nina. "Dasar perempuan tidak tahu diri Kamu itu, Nina! Wito itu hanya khilaf sedikit, kok kamu ribut-ribut! Ini kan masalah sepele? Ngapain sih dibesar-besarkan?!" Suaranya lantang, menggema di ruangan yang penuh sesak.
“Laki-laki cari jajan di luar itu kan wajar. Kamu lihat istriku si Sari itu, dia itu tidak pernah bertingkah macam-macam seperti Kamu!” Damin melontarkan kata-kata kasar dan hinaan pada Nina, menganggap masalah perselingkuhan Wito sebagai hal yang biasa dan tidak perlu dipermasalahkan.
Para pamong yang hadir menggelengkan kepala mendengar ucapan Damin. Begitupun dengan para tetangga yang berkerumun di depan.
“Wong edyan Damin kui. Nek aku yo emoh diselingkuhi!” Seorang ibu terdengar geram.
“Rumangsaku trah yo sak dulurane Wito kuwi, kabeh ora ono sing waras!” Timpal yang lain.
Nina menatap Kang Damin dengan tatapan tajam, suaranya terdengar tegas. "Karena aku bukan Mbak Sari. Aku tidak akan diam saja ketika suamiku berselingkuh. Aku punya harga diri, dan aku tidak akan membiarkan diriku diinjak-injak seperti kain lap!" Suaranya terdengar lantang. Bahkan Damin tak percaya, yang ada di hadapannya saat ini adalah Nina, adik iparnya yang biasanya lemah lembut dan penuh sopan santun.
“Dan kang Damin pikir aku tidak tahu? Lihat saja Mbak Sari itu. Mbak Sari itu dulu cantik, pintar. Tapi sekarang berubah jadi ngah-ngoh gitu. Mbak Sari malih dadi goblok mergo kakean uyah! (Jadi bodoh karena terlalu banyak terkena jampi-jampi)”
Wajah Damin merah padam mendengar ucapan Nina yang menggebu-gebu. Dia merasa wajahnya sedang dikuliti. Sudah bukan rahasia, Damin adalah orang yang sedikit-sedikit pergi ke dukun. Jangankan sekedar membuat agar istrinya diam dan menurut, siapa pun yang berani bersinggungan dengan Damin pasti akan terkena lemparan garam (jampi-jampi) darinya.
Tak berapa lama, Romlah datang. Wajahnya terlihat tegang. Ia tampak terkejut melihat kerumunan orang di rumah Nina, dan tatapan tajam dari Pak Bayan Saleh dan para pamong desa. Kehadirannya semakin memperjelas situasi, membenarkan semua kecurigaan yang baru saja beredar di sana.
Pak Lik Bayan segera membahas tuntutan yang diajukan oleh Nina, terkait dengan perceraian.
“Jadi Kamu minta cerai? Ya baguslah. Setelah ini Wito biar sama aku saja!” Romlah yang tadinya pucat tiba-tiba bersuara. Wanita itu merasa menang karena Nina memilih mundur.
Semua orang merasa tak percaya dengan Romlah yang selama ini mereka anggap baik. Mereka bahkan sempat mengacungi jempol pada Romlah dulu, saat dengan baik hati menerima Wito yang notabenenya sudah tak bisa kerja keras untuk kerja di tempatnya. Tapi ternyata ada udang di balik rempeyek. Dan itu membuat pandangan mereka tentang Romlah berubah seketika.
“Ambil saja, Mbak. Aku tidak akan menahannya. Sampah memang harusnya dibuang di tempat sampah, kan?” Nina berkata sinis. Wito menggelengkan kepala tak percaya. Begitu mudahnya Nina melepaskan dirinya. Apakah Nina sudah tak lagi mencintainya.
“Tapi ingat Mbak. Hanya badannya saja. Karena apa yang pernah kami milik bersama, akan menjadi milikku!” lanjut Nina.
“Apa maksudmu, Dek?” Wito bertanya tak mengerti.
Pak Lik Bayan pun kemudian menyampaikan semua yang menjadi tuntutan Nina jika mereka berdua jadi bercerai. Terkait rumah dan tanah yang saat ini mereka miliki. Juga tentang hak asuh Agus.
“Bagaimana bisa seperti itu?” Bukan Wito. Tapi Damin yang berteriak tidak terima. “Itu namanya Nina mau menang sendiri!!”
“Kenapa tidak bisa?” Pak Sukadi ikut berteriak membalas Damin. “Seluruh orang di kampung ini bisa jadi saksi. Rumah ini adalah rumah pemberianku untuk Nina, jadi rumah ini akan kembali utuh pada Nina. Adikmu itu sama sekali tidak punya hak.”
bukan parno?
buat makan aja susah, /Curse/
ternyata imun dan iman Wito tak selemah lututnya 🤭🤗
wahhhh....bagaimana kalau.....?????
nanti bisa bisa Nina cuma dikasih segitu lagi 🤔🤭
. ayo nina demi kewarasan lawan aja mereka😂