Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Suara alarm bergema pelan di kamar tidur Damian, nada lembut tapi tegas seperti suara asisten pribadi yang terlalu sopan buat dibenci. Tapi Deon, yang tidur kayak batu ditempa mimpi sapi panggang dan kasur dewa, tetap bergeming. Sama sekali gak terusik.
Yang bikin dia kebangun justru bukan alarm. Tapi...
ZRRRRRTT
Tirai kamar perlahan terbuka otomatis, mempersilakan cahaya matahari pagi masuk dengan elegan. Cahaya hangat menyapu wajah Deon yang masih nyungsep di bantal, dan bersamaan dengan itu, terdengar desisan halus dari sudut ruangan.
Pssszzzzhh
Aroma terapi mulai menyebar. Wangi citrus lembut dengan sentuhan mint, wangi yang kayaknya diracik buat nyadarin orang dari tidur lima abad.
Deon menggeliat, pelan-pelan membuka mata. Awalnya dia ngira dia lagi di spa, atau mungkin di pesawat first class.
Tapi begitu matanya nangkep langit-langit kamar Damian yang minimalis elegan itu...
“GUE MASIH DI SINI?”
Dia langsung duduk tegak, rambut acak-acakan, muka bantal full print, tapi ekspresi kayak habis bangun di stasiun luar angkasa milik miliarder.
“Tirai otomatis? Alarm yang gak ganggu? AROMA TERAPI??”
Dia berdiri, masih sempoyongan, jalan pelan ke arah jendela besar tempat matahari masuk. Tirainya sekarang membuka penuh, memperlihatkan pemandangan kota dari lantai 23 yang bikin napasnya ketahan.
“Damian, lo tidur pake skenario kebangkitan surgawi tiap pagi?”
Tiba-tiba terdengar suara kecil dari speaker di sudut ruangan.
“Good morning, Mr. Damian. The weather is 23°C. You have three meetings today, starting at 9 AM.”
Deon menoleh cepat ke arah suara itu. Matanya membelalak.
“LO PAKE JARVIS VERSI LO SENDIRI?!”
Dia melongo, lalu tertawa kecil sambil tepuk jidat sendiri.
“Gue beneran hidup di tubuh manusia super. Ini sih bukan bangun tidur, ini dilahirkan ulang jadi versi upgrade total.”
Dia masih berdiri di depan jendela, tangan nyilang di dada, rambut acak-acakan diterpa sinar matahari.
“Oke Damian hari baru, hidup baru. Tapi boleh gak sarapan dulu sebelum gue ngejalanin hidup yang lebih elite dari isi kartu kredit gue?”
Deon melangkah keluar dari kamar tidur Damian dengan langkah perlahan namun penuh rasa tak percaya, seperti anak kos masuk ke penthouse artis Hollywood.
Kakinya menyentuh lantai marmer hangat yang entah gimana caranya bisa nggak dingin meski pagi-pagi.
Begitu pintu kamar terbuka, pandangannya langsung disambut oleh dapur minimalis ultra-modern serba hitam matte, dengan pencahayaan LED elegan yang nyala otomatis saat dia lewat.
“Hah?! Meja dapur aja kayak setting film fiksi ilmiah. Ini sih bukan apartment, ini markas Batman kalo pensiun dan buka usaha kopi spesialti,” gumam Deon, setengah takjub setengah panik karena belum ngopi.
Tiba-tiba, salah satu laci terbuka sendiri, dan keluar segelas kopi panas dengan buih latte art bentuk daun. Mesinnya nyala sendiri, gak ada tombol dipencet, gak ada manusia sentuh.
Deon melongo. “LOH?”
Lalu terdengar suara AI tadi, tenang dan kalem. “Your usual morning blend, Mr. Damian. Enjoy.”
Deon ambil cangkirnya dengan kedua tangan kayak mau megang bayi baru lahir.
“Astaga Damian, lo siapa sih SEBENARNYA?! Lo bukan manusia biasa kan?! LO TRANSFORMER?!”
Dia seruput pelan, dan matanya langsung melebar.
“KOPI NYA ENAK GILA. Ini bukan kopi, ini pelukan hangat dari semesta.”
Deon bersandar di meja dapur sambil menyeruput kopi, lalu pandangannya menelusuri ruangan TV OLED super lebar, speaker tersembunyi di langit-langit, sofa kulit yang empuknya kayak pelukan ibu kandung.
“Gila, Damian hidup di atas langit. Gue gak tau ini berkah atau jebakan. Tapi satu hal yang pasti.”
Dia angkat cangkirnya ke udara.
“Selama ada kopi seenak ini dan tempat secanggih ini, gue akan jadi Damian SEBAIK DAN SEBERGAYA MUNGKIN!”
Deon duduk di meja makan Damian yang lebih mirip ruang presentasi startup masa depan daripada tempat makan. Di depannya, sarapan otomatis sudah tersaji rapi.
Omelet lembut isi keju truffle, roti sourdough hangat, dan buah-buahan segar yang dipotong dengan bentuk geometris sempurna. Minuman? Jus jeruk dingin tanpa es, tapi segar kayak baru diperas dari pohon pribadi.
Deon mulai makan sambil melongo. Satu suap. Dua suap. Lalu tiba-tiba alisnya berkerut.
"Bentar, ini tahun berapa sih sebenernya?" gumamnya sambil ngunyah perlahan.
Matanya melirik ke arah jam digital di dinding. “2014.”
Suapannya berhenti.
“Kok teknologi di apartemen ini udah kayak versi beta dari masa depan?”
Tatapannya beralih ke sekeliling ruangan. Tirai otomatis, AI asisten pribadi, mesin kopi yang bisa baca pikiran, dan sistem alarm yang lebih lembut dari pelukan pacar hayalan.
“Fasilitas kayak gini tuh belum eksis di tahun ini. Bahkan 2020 aja belum segila ini. Tapi Damian atau lebih tepatnya, hidup Damian udah make semua ini kayak hal biasa?”
Dia duduk bersandar, sendok masih di tangan, matanya nyalang kayak detektif habis nemu petunjuk besar.
“Ini bukan cuma soal gaya hidup mewah. Ini udah kayak bocoran teknologi masa depan. Jangan-jangan…”
Ia menyipitkan mata, napasnya mulai pelan.
“Damian bukan sekadar manajer tapi orang dalam, atau... bagian dari skema besar yang ngubah masa depan?”
Deon meletakkan sendok, bersandar ke kursi sambil menatap langit-langit.
“Atau guenya yang salah tempat. Jangan-jangan gue nyasar ke semesta paralel di mana tahun 2014 sebenernya udah kayak 2025?”
Dia mendadak nyengir miring, setengah kagum, setengah stres.
“Damian, lo bukan manusia biasa. Lo kayak Tony Stark versi kantor, dan sekarang gue numpang di tubuh lo.”
Tapi sebelum bisa mikir lebih jauh, asisten virtual Damian kembali menyala:
“Reminder: Meeting at 09:00 AM with Mr. Yudha from Polaris Tech.”
Deon melongo.
"Polaris Tech?! Itu kan perusahaan yang bahkan baru mulai dikenal 5 tahun lagi!"
Pelan-pelan, senyum di wajahnya menghilang.
“Gue gak cuma nyasar ke masa lalu. Gue nyasar ke masa lalu yang udah keduluan masa depan.”
Dia berdiri, napas sedikit berat, lalu menatap cermin di dinding, memandangi wajah Damian.
"Oke Damian! Gue emang gak tau siapa lo, tapi kita harus ngobrol. Segera!" Deon terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu. "Tapi caranya gimana anjir?! Tubuhnya aja kerasukan gue."
Deon berdengus. "Somplak banget!"
__
Deon masih berdiri depan cermin, ngeratain rambut sambil cekikikan sendiri. Bukan karena dia nemu ide brilian tapi karena dia baru sadar. "Gila, ini tubuh paling ganteng yang pernah gue tempatin!"
Rambut Damian selalu rapi kayak habis ditata stylist pribadi, kulit bersih tanpa pori, senyum ganteng effortless. Bahkan alisnya aja kayak dilukis pake pensil presiden dewan estetika.
"Gila ya, bangun tidur di tempat super nyaman, sarapan mewah, muka ganteng, kerjaan mapan. Siapa yang masih pengen kerja?!"
Dia langsung balik ke meja makan, nambahin potongan roti dan ngidupin TV layar datar segede tembok.
Nyetel channel random, nemu siaran balap kuda yang bahkan dia gak ngerti aturannya tapi ditonton juga karena “Kenapa enggak?”
"Damian gue gak ngerti lo siapa, tapi kayaknya Tuhan ngasih gue hadiah atas hidup gue yang kacau. Ini pasti kompensasi karena gue pernah jadi Agra dan makan mi instan expired!"
Asisten virtual bersuara lagi. “Peringatan! Anda memiliki rapat dalam 45 menit.”
Deon melirik jam, terus ngelirik bantal sofa super empuk yang kayak bisikan malaikat buat tidur siang.
"Rapat? Hari ini? No thanks. Gue mau honeymoon sama apartemen ini dulu."
Dia langsung rebahan, narik selimut tipis, dan pelan-pelan tersenyum bahagia.
"Kerja bisa nunggu. Tapi momen jadi ganteng, kaya, dan punya coffee machine yang bisa nyanyiin lagu jazz? Ini gak bisa dilewatin."
TV masih nyala, AC set ke suhu surgawi, dan aroma terapi ngasih vibe kayak spa mahal. Sambil peluk bantal, Deon menggumam pelan.
"Damian, lo jangan marah ya tapi gue akan nikmatin hidup lo kayak ini Netflix trial satu bulan."
Dan begitu dia merem, rapat pun lewat tanpa pamit.