Seorang dokter muda yang idealis terjebak dalam dunia mafia setelah tanpa sadar menyelamatkan nyawa seorang bos mafia yang terluka parah.
Saat hubungan mereka semakin dekat, sang dokter harus memilih antara kewajibannya atau cinta yang mulai tumbuh dalam kehidupan sang bos mafia yang selalu membawanya ke dalam bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Liana, Rafael, dan Luca berlari melewati lorong-lorong sempit yang lembap, diterangi hanya oleh obor tua yang menggantung di dinding. Nafas mereka tersengal, tubuh mereka dipenuhi keringat dan debu dari reruntuhan akar hitam yang mulai bergemuruh akibat ledakan di permukaan. Elias, teman lama Victor, memimpin mereka menuju pintu rahasia yang tersembunyi di balik dinding batu besar.
"Cepat! Jalan ini akan membawamu ke luar sebelum Adrian dan anak buahnya mengejar kita!" seru Elias sambil menarik tuas besi yang berkarat. Perlahan, dinding di hadapan mereka bergeser, membuka jalur yang gelap dan tampak seperti terowongan bawah tanah yang jarang digunakan.
Liana menoleh ke arah Elias dengan ekspresi khawatir. "Bagaimana denganmu? Kau juga harus ikut bersama kami!"
Elias menggeleng, matanya penuh tekad. "Tidak, aku akan menahan Adrian di sini. Dia tidak boleh mendapatkan bukti yang sudah kalian peroleh. Pergilah! Aku akan memastikan kalian punya cukup waktu untuk melarikan diri."
"Tapi, Elias—!"
Tanpa membiarkan Liana menyelesaikan kalimatnya, Elias mendorongnya ke dalam terowongan dengan lembut. "Kau harus hidup, Liana. Ayahmu mengorbankan segalanya untuk memastikan kau bisa melawan Adrian. Sekarang giliranmu untuk melanjutkan perjuangan itu. Pergi!"
Rafael menggenggam pergelangan tangan Liana, menariknya untuk bergerak maju. "Kita harus pergi sekarang. Jika kita tetap di sini, pengorbanan Elias akan sia-sia."
Luca, yang sudah masuk lebih dulu, mengangguk dengan tegas. "Ayo cepat, sebelum Adrian menemukan jalan ini!"
Dengan berat hati, Liana mengikuti Rafael dan Luca, meninggalkan Elias yang berdiri di depan pintu rahasia yang perlahan tertutup kembali.
...----------------...
Di permukaan, Adrian melangkah masuk ke dalam akar hitam dengan penuh kemarahan. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, mencari sosok yang sangat ingin ia hancurkan—Liana dan orang-orang yang bersamanya. Anak buahnya tersebar ke berbagai penjuru, meneliti setiap sudut.
Tiba-tiba, suara langkah berat menggema di lorong. Elias muncul dari bayangan, berdiri tegak dengan sebilah belati di tangannya. Wajahnya penuh keteguhan, siap menghadapi musuh yang jauh lebih banyak.
Adrian menyeringai sinis. "Elias, aku seharusnya tahu bahwa kau akan berkhianat. Aku sudah memperingatkanmu, jangan ikut campur dalam urusan ini."
Elias tersenyum tipis. "Dan aku sudah bilang padamu, Adrian. Aku lebih memilih mati daripada melihat iblis sepertimu terus berkuasa."
Tanpa peringatan, Elias melompat ke depan, menyerang Adrian dengan gerakan cepat. Belati di tangannya hampir mengenai leher Adrian, tetapi Adrian berhasil menangkis dengan pisaunya sendiri. Bunyi benturan logam memenuhi ruangan, disertai dengan percikan api saat bilah senjata mereka bertemu berkali-kali.
Adrian menggeram marah dan memberikan serangan balik, mencoba menusuk Elias di perut. Namun, Elias dengan gesit menghindar dan menyerang lagi. Darah mulai mengalir dari luka-luka kecil di tubuh mereka berdua, tetapi Elias tidak mundur sedikit pun.
"Kau selalu terlalu percaya diri, Elias," ucap Adrian, suaranya penuh ejekan. "Kau tidak bisa menang melawanku."
Elias terkekeh, meskipun darah mengalir dari sudut bibirnya. "Aku tidak perlu menang. Aku hanya perlu cukup waktu untuk membuatmu sibuk."
Saat itulah Adrian menyadari sesuatu. Tidak ada tanda-tanda Liana, Rafael, atau Luca di sekitar mereka. Wajahnya berubah marah. "Kau menyuruh mereka pergi, bukan?!"
Elias hanya tersenyum. "Teruslah menebak, Adrian."
Dengan amarah yang meluap, Adrian menyerang dengan brutal. Elias menangkis serangan-serangan itu dengan sekuat tenaga, tetapi tubuhnya mulai melemah. Luka-luka di tubuhnya semakin banyak, darah mengalir membasahi lantai batu di bawahnya. Namun, ia tetap berdiri, tetap melawan, tetap menahan Adrian selama mungkin.
Akhirnya, Adrian berhasil menusukkan pisaunya ke perut Elias. Tubuh Elias tersentak, tetapi ia tetap menatap Adrian dengan sorot mata penuh kemenangan.
"Kau... sudah terlambat..." Elias berbisik, sebelum akhirnya jatuh berlutut. Nafasnya tersengal, tetapi ia tetap tersenyum.
Adrian mencabut pisaunya dengan kasar dan menggeram. "Bodoh. Kau mati sia-sia."
Namun, saat Adrian melihat ke sekeliling, tidak ada lagi jejak Liana, Rafael, atau Luca. Elias telah mengorbankan nyawanya untuk memastikan mereka bisa melarikan diri. Dengan amarah yang membakar dadanya, Adrian berteriak memerintahkan anak buahnya untuk mencari mereka.
Di sisi lain, Liana, Rafael, dan Luca akhirnya keluar dari terowongan rahasia, tiba di hutan lebat yang sunyi. Mereka tersandung ke luar, terengah-engah, tetapi masih hidup.
Liana berbalik, menatap pintu batu yang kini tertutup sepenuhnya. Matanya dipenuhi air mata. "Elias..."
Rafael menggenggam bahunya dengan lembut. "Dia membuat pilihan itu demi kita. Jangan biarkan pengorbanannya sia-sia."
Liana mengepalkan tangannya, air matanya jatuh di pipi. "Aku tidak akan membiarkan Adrian lolos. Aku akan menghancurkannya."
Luca menatap keduanya dengan serius. "Kita harus segera pergi. Adrian pasti akan mengirim lebih banyak orang untuk mencari kita."
Dengan hati yang berat, Liana mengangguk. Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan mereka ke dalam hutan, membawa serta kemarahan, kesedihan, dan tekad yang semakin kuat.
Apakah Rafael, Liana, dan Luca bisa benar-benar lolos, atau Adrian akan menemukan mereka lebih cepat dari yang mereka duga?