Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Zidan melanjutkan merokoknya, pikirannya melayang kembali. "Waktu itu dia juga kayak gitu," ia ingat ketika Alana menangis di tangga. " Terus beberapa waktu lalu juga begitu..." Ia teringat saat Alana tampak tidak nyaman saat berbincang dengan Bu Sari saat makan malam. "Padahal, dia terlihat lebih cantik saat tersenyum," pikir Zidan, menghembuskan asap rokoknya dan menatap langit yang membiru.
Dia masih SMA... Tapi kayak udah banyak bebannya. SMA Memang masa yang sulit. Oh iya, waktu aku SMA dulu sudah berapa tahun ya? Dua, empat, enam, delapan... gumamnya sambil menghitung jari.
Setelah selesai merokok Zidan kembali ke kamarnya
Sementara Lana merebahkan tubuhnya di kasur tipisnya, entah sejak kapan ia mulai terlelap.
Lana...
“Apa kamu bahagia?”
“Iya ayah!”
“Lana, kamu pasti bisa hidup dengan kuat walau ayah tidak ada, kan?”
“Ayah mau ke mana?”
“Ayah akan pergi dulu bersama ibu,” jawabnya, mengelus kepala Alana dengan lembut. “Ayah minta maaf ya, karena meninggalkan Lana duluan... Ayah nggak bisa nepatin janji ayah buat nemenin Lana ulang tahun. Ayah minta maaf...nggak bisa jagain Lana sampai besar dan menikah. Semoga Lana selalu bahagia ya. Jaga diri baik-baik, jangan lupa makan dan jaga kesehatan. Ayah sayang Lana. Ayah pamit ya."
Alana merasakan air mata menggenang di matanya. Suara ayah yang lembut dan penuh kasih itu membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit di dadanya.
“Ayah...?”
“Ayah...!”
“Jangan pergi!” Alana menjerit, melihat bayangan ayahnya mulai menghilang tertelan kegelapan.
“Hiks...hiks...
“Ja... jangan pergi...”
Alana terbangun dari mimpi tentang ayahnya dengan air mata mengalir di pipinya.
“Lanaa!”
“Lana! Kamu sudah bangun?” panggil Bu Sari dari bawah.
“Iya! Iya... Aku turun,” jawab Lana, berusaha membalas dengan semangat.
drap... drap... duak!
“Auwhhh...!” jerit Lana saat kakinya tersandung tiang tangga, membuatnya terpincang-pincang. Dia berusaha menahan rasa sakit sambil berpegangan pada pegangan tangga, wajahnya meringis menahan rasa sakit.
Bu Sari melirik Alana dengan sinis. “Ini kan akhir pekan, bisa-bisanya kamu berisik! nanti kalo Zayn bangun gimana?! Crocos Bu sari.
“Ah... maaf,” jawab Alana, merasa sedikit canggung.
“Lana, daripada ngangur coba kamu angkat selimut di atap?” pinta Bu Sari. “Sekalian, tolong jemurkan pakaian yang sudah ku cuci ya.”
"Ah, iya bu!"
Alana membawa seember besar pakain ke atap. Langkahnya tertatih karena tadi habis kesandung. Owhh..berat juga ya? Perasaan tangganya kayak bertambah tinggi dah? Apa perasaan aku aja ya hehe."
Lana tiba di pintu atap mansion, mendorong pintu itu dengan kakinya.
Krieeet...!
Dengan langkah terhuyung-huyung, ia membawa ember besar berisi pakaian ke arah meja. Setibanya di meja, Lana meletakkan ember itu dengan sedikit bergetar. Setelah itu, ia melangkah menuju jemuran selimut yang akan diangkatnya.
Wushhh...
Angin berhembus lembut, menggoyangkan lembaran selimut yang menguarkan harum lembut dari pewangi pakaian. "Wah, selimutnya udah kering dan lembut!" Namun, tiba-tiba ia dikejutkan oleh siluet tangan seseorang yang memakai kemeja kotak-kotak di balik jemuran.
"Hmm? Siapa ya itu?
Lana menyingkap sedikit selimut, mengintip perlahan, membuka selimut lebih lebar hingga tampak jelas—Zidan, berdiri santai di atap, memandang jauh ke horizon pagi.
"Sreek... Astaga! Kenapa pake bunyi sih selimutnya?!" gerutunya pelan, membuat Zidan menoleh penasaran ke arah Alana.
"Semoga aja nggak ke sini... semoga nggak ke sini..." doanya dalam hati, berusaha tenang dan bersembunyi di balik selimut.
"Loh, ada Lana! Selamat pagi~!" sapa Zidan dengan senyuman cerah, melangkah mendekati Alana.
Saat Zidan sudah dekat, Alana mundur dengan perlahan. "Jangan mendekat! Aku nggak pakai riasan! Mataku juga bengkak!" teriaknya, sambil menutup wajahnya dengan helai rambut panjangnya yang di genggam pakai tangan, sehingga mukanya tertutup seluruhnya." aku juga baru bangun tidur..." lanjutnya.
“Terus kenapa? Kamu lucu kok,” ucap Zidan tersenyum menggoda sambil terus menatap Alana.
Perlahan, Alana mulai meyingkap rambutnya, tetapi masih menggenggamnya erat, hanya menampilkan mata dan hidungnya yang terlihat. Mulutnya masih tertutup oleh helai rambut panjangnya. Ia menatap Zidan ragu-ragu, mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan bahwa Zidan tidak berbohong.
"Kamu mau angkat selimut ya? Sini, biar aku bantuin. Kan kamu pendek,” ucap Zidan tersenyum mengejek Alana yang tingginya cuma sebahunya.
"Aku nggak pendek-pendek amat kok!" jawab Alana mengerucutkan bibirnya kesal. "Oh iya kenapa pagi-pagi anda sudah ke atap?"
“Memangnya nggak boleh?” Zidan bertanya sambil mengangkat alis, pura-pura bingung. Sebenarnya, ia ingin ngerokok, diatap, tapi nggk jadi karena takut selimutnya jadi bau.
"Ya...bukannya nggak boleh sih cuma heran aja." Tanya Alana sambil melipat selimut yang tebal itu.
“Oh ya, kamu kelas berapa Lana?” tanya Zidan basa-basi. Yah walaupun memang ia juga agak penasaran sih.
" Kelas 11"
Kelas 11... Hmm...kamu udah umur segitu ya...
“Oh ya, om sekarang kerja apa?” tanya Alana penasaran. “Aku pikir om itu pengangguran, tapi waktu itu om bilang habis wawancara.”
'Om?! Hei, aku tuh masih 20-an, tau!" seru Zidan kaget, matanya membelalak seakan benar-benar tersinggung. "Masa sih aku keliatan setua itu ya buat kamu?"
Alana mengamati penampilan Zidan dari atas ke bawah, lalu dengan ekspresi datar berkata, "Iya nggak sih, tapi aku nggak mau manggil om dengan sebutan kakak."
“Si...siapa juga yang nyuruh kamu manggil ka...kak?!" celetuk Zidan sebal, apalagi Alana terus menatapnya seakan berkata, 'terus, panggil apa?' Membuat Zidan akhirnya menghela napas dan menjawab sendiri, "Ya... nggak ada yang pantas sih, sebenarnya..."
"Pfft...! Kita sangat sulit untuk dekat ya...!" seloroh Alana sambil tertawa. Membuat Zidan agak terkejut, dan menatap Alana dengan tatapan serius "kamu ingin dekat denganku Alana?"
"Ah... bukan itu maksudnya..." ucap Alana, salah tingkah, wajahnya memerah, merasa canggung setelah menyadari bahwa kata-katanya tadi terdengar ambigu.
"Kalau kita dekat, nanti kamu bakal kesulitan, loh," ujar Zidan. Tatapannya kali ini lebih dalam, seolah ingin memastikan perasaan Alana.
Alana merasa bingung dengan ucapan Zidan. "Dia ngomong apa sih...?" batinnya, mencoba mencerna maksudnya. Sementara itu, Zidan hanya tersenyum penuh arti, seakan sengaja membiarkannya alana menebak-nebak.
Zidan yang melihat Alana kebingungan, tersenyum lembut sambil mengelus pucuk kepalanya. "Aku masuk duluan ya," ucapnya, lalu melangkah pergi.
Alana hanya bisa bengong, kaget bercampur heran, namun hatinya mulai memunculkan gelombang aneh. "Apa ini? Kenapa jantungku berdebar?" gumamnya dalam hati, sementara matanya mengikuti Zidan yang sudah jauh di depan, melambaikan tangan sambil tersenyum.
"Oh iya, kamu kan sudah punya adik yang bisa diandalkan. Pasti kamu akan baik-baik saja. Siapa namanya? Zayn..?" gumam Zidan sangat pelan sehingga Alana tak mendengar.
Setelah kepergian Zidan, Alana berbalik, menatap bentangan awan putih di langit, dengan angin lembut yang menerpa wajahnya. Suasana pagi itu terasa begitu hangat dan damai.
"Entah kenapa, aku tidak ingin berjalan selangkah pun dari sini," batin Alana sambil menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar. "Aku tidak tahu kalau udara pagi di sini... ternyata sehangat ini," pikirnya, merasa tenang dan nyaman dalam sekejap momen itu.
sementara Zidan terus melangkah dengan cepat menuruni tangga "Duh, aku laper, apa aku ke minimarket aja ya?" Langkahnya terhenti ketika mendengar suara pintu terbuka, dan tampaklah Bu Sari yang celingukan dengan ekspresi gusar.
"Kenapa Lana belum balik ke sini sih! Kalau aku suruh ngapa-ngapain selalu aja lambat, kalau begini caranya, mana bisa aku senang?" gerutu Bu Sari dengan wajah kesal. Saat hendak menaiki tangga, ia langsung tersentak kaget melihat Zidan berdiri di sana. Wajahnya berubah seketika, merasa malu karena ketahuan mengeluh.
"Ya ampun...! Zidan... apa kabar?" ucap Bu Sari cepat, mencoba terlihat santai dan menyembunyikan kekagetannya.
"Selamat pagi, Bu," jawab Zidan sopan, meski ia melihat Bu Sari buru-buru masuk ke dalam sambil bergumam, "Apa cuciannya banyak...?" Padahal, dia sendiri yang mencuci tadi, mungkin karena ia merasa canggung setelah ketahuan mengeluh soal Lana.
"Hmm? Kenapa ekspresinya begitu? Kenapa perlakuannya berbeda dengan kedua anaknya? Apa dia membenci Lana? Tapi kenapa?" Zidan bergumam dalam hati, merasa aneh dengan sikap Bu Sari yang terlihat dingin terhadap Lana, namun tampak begitu hangat dengan zayn.
Ah, sudahlah. Bukan urusanku," pikir Zidan lagi sambil menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan kecurigaan itu. "Lebih baik aku cari makan dulu," Zidan memutuskan, kemudian melanjutkan langkahnya untuk keluar mencari makanan.