> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silent Word: Bagian 5
Bagian 5: Strategi Kecil Sosok Latar
Keesokan harinya, suasana kelas terasa sama seperti biasa: hiruk pikuk suara siswa, bunyi kursi bergeser, dan tawa keras dari sudut tempat geng Kagami biasa berkumpul. Aku duduk di tempatku, memandangi meja Aiko yang masih kosong.
Dia belum datang… pikirku sambil menghela napas.
Kemarin, percakapan kami di atap membuatku merasa sedikit lebih percaya diri. Aku mungkin bukan tokoh utama dalam dunia ini, tapi aku merasa sudah mengambil langkah kecil menuju sesuatu yang berarti. Namun, kesadaranku bahwa Kagami dan gengnya tidak akan berhenti begitu saja terus menghantuiku.
“AniGate,” bisikku pelan, memastikan tidak ada yang mendengar.
> “Ya, User Rei Jaavu?”
“Aku butuh bantuan,” kataku. “Aku harus menemukan cara untuk membuat Kagami berhenti mengganggu Aiko, tapi aku tidak bisa melawan mereka langsung.”
> “Itu keputusan bijak, User. Menghadapi musuh tanpa persiapan hanya akan memperburuk situasi Anda.”
Aku memutar mata. “Itu saran yang sangat tidak membantu.”
> “Cobalah menggunakan kecerdikan Anda. Langkah kecil bisa menciptakan dampak besar.”
“Aku tahu, aku tahu. Kau sudah bilang itu berkali-kali.”
Aku mencoba memikirkan ide, tapi kepalaku terasa kosong. Aku tahu bahwa melawan Kagami secara fisik bukan pilihan, tapi bagaimana caranya aku bisa membantu Aiko tanpa memperparah situasi?
...****************...
Waktu istirahat tiba.
Ketika Aiko akhirnya tiba di kelas, dia berjalan dengan langkah pelan seperti biasa. Aku memperhatikan bagaimana dia dengan hati-hati menghindari kontak mata dengan Kagami dan teman-temannya. Setelah dia duduk, aku mengambil buku catatan kecil yang kuberikan padanya kemarin dan berjalan ke mejanya.
“Shizuru-san,” panggilku pelan.
Dia mendongak, menatapku dengan senyum kecil.
Aku membuka halaman baru di buku itu dan menuliskan sesuatu.
> Kau mau makan di atap lagi hari ini?
Dia membaca tulisan itu, lalu mengangguk tanpa ragu. Aku merasa sedikit lega.
...****************...
Kami kembali ke atap sekolah, tempat di mana dunia terasa lebih damai. Aku membuka bekalku yang sederhana—nasi kepal dan telur gulung. Sementara Aiko membuka kotak bekalnya yang hampir sama sederhana. Kami makan dalam keheningan yang nyaman, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut.
Setelah beberapa saat, aku mengeluarkan buku catatan dan menuliskan sesuatu lagi.
> Aku ingin membantu. Tapi aku nggak tahu bagaimana caranya.
Aiko membaca tulisan itu dengan seksama, lalu menatapku dengan ekspresi lembut. Dia mengambil pena dan menuliskan jawabannya.
> Kau sudah membantu. Kau sudah ada di sini.
Aku merasa hatiku menghangat, tapi aku tahu itu belum cukup.
“Tapi aku ingin lebih dari itu,” kataku, meski tahu dia mungkin tidak mendengar.
Dia menatapku lagi, seolah meminta penjelasan. Aku mengambil buku itu kembali dan menuliskan sesuatu.
> Aku ingin memastikan mereka tidak mengganggumu lagi.
Dia berhenti sejenak, lalu menulis sesuatu dengan tangan yang sedikit gemetar.
> Itu tidak mungkin. Mereka akan selalu seperti itu.
Aku membaca kata-kata itu dengan perasaan campur aduk. Bagaimana bisa seseorang menerima perlakuan seperti itu sebagai sesuatu yang wajar?
Aku mengepalkan tangan. “Aku akan menemukan cara,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri.
...****************...
Sore itu, aku mulai menyusun rencana. Saat siswa lain mulai meninggalkan kelas, aku tetap tinggal, memperhatikan Kagami dan gengnya yang sedang bercanda di sudut ruangan. Aku tahu bahwa mendekati mereka secara langsung adalah ide yang buruk, tapi aku juga tahu bahwa aku butuh cara untuk membuat mereka berhenti.
Aku memperhatikan bagaimana mereka selalu duduk di meja yang sama, bagaimana mereka selalu membawa buku-buku pelajaran yang sama, dan bagaimana mereka sering berbicara tentang ujian yang akan datang.
Sebuah ide mulai terbersit di kepalaku.
“Kalau aku bisa membuat mereka sibuk dengan sesuatu yang lebih penting… mungkin mereka akan melupakan Aiko,” gumamku pelan.
Aku segera menuju ruang guru, tempat semua jadwal ujian dan informasi penting biasanya dipasang. Dengan sedikit keberuntungan, aku menemukan apa yang kucari: jadwal ujian bulanan yang akan berlangsung minggu depan.
...****************...
Keesokan harinya, rencana kecilku mulai berjalan.
Aku mulai menyebarkan rumor di kelas, mengatakan bahwa ujian kali ini akan lebih sulit dari biasanya, dan bahwa guru-guru telah meningkatkan standar soal untuk memastikan semua siswa benar-benar belajar.
“Apa kau dengar? Katanya nilai rata-rata ujian sebelumnya terlalu rendah, jadi mereka akan memperketat soal kali ini,” kataku kepada salah satu siswa di dekatku, memastikan suaraku cukup keras untuk didengar Kagami dan teman-temannya.
Tidak butuh waktu lama sebelum rumor itu mulai menyebar. Dalam hitungan jam, aku mendengar siswa-siswa di kelas mulai membicarakan soal ujian dengan nada khawatir.
Dan yang paling penting, aku memperhatikan bagaimana Kagami dan gengnya mulai menunjukkan tanda-tanda panik.
“Serius? Katanya soal matematika kali ini dua kali lebih sulit?” salah satu teman Kagami berkata dengan nada cemas.
“Aku bahkan belum belajar apa-apa!” Kagami mengeluh, wajahnya sedikit tegang.
Aku mencoba menahan senyum. Ini langkah kecil, tapi setidaknya itu berhasil mengalihkan perhatian mereka.
...****************...
Saat istirahat, aku kembali ke atap bersama Aiko.
Dia membuka buku catatan kami, menuliskan sesuatu sebelum menyerahkannya kepadaku.
> Apa yang kau lakukan? Mereka terlihat lebih sibuk hari ini.
Aku tersenyum kecil dan menuliskan jawabanku.
> Ada, deh. Kau tidak perlu tahu detailnya.
Dia membaca jawabanku, lalu tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti aku benar-benar melakukan sesuatu yang berarti.
Tapi di dalam hati, aku tahu bahwa ini hanyalah permulaan.
aku mampir ya 😁