Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Cinta yang Tumbuh di Pesantren
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama keluarga besar di pesantren, kehidupan Zidan dan Zahra semakin terasa penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan. Setiap langkah yang mereka ambil bersama terasa semakin mantap, meskipun tak jarang muncul tantangan kecil yang menguji keteguhan cinta mereka.
Pada suatu pagi yang cerah, Zidan duduk di ruang tamu pesantren sambil memandangi buku catatannya. Matanya melayang ke arah Zahra yang sedang duduk di dekat jendela, memandangi Zafran yang sedang tidur dengan nyenyak. Zidan merasa hatinya semakin penuh dengan rasa syukur, karena ia merasa diberkati oleh kehadiran Zahra dan anak mereka yang kecil.
Zahra, yang merasa sedikit mengantuk karena semalaman begadang menemani Zafran yang rewel, mengerutkan kening saat melihat Zidan sedang sibuk menulis. Ia tahu betul betapa Zidan sering meluangkan waktu untuk belajar dan membaca di sela-sela kesibukannya.
“Aduh, Gus,” kata Zahra sambil mendekati Zidan. “Pasti capek banget, ya, belajar terus. Kita kan sudah punya Zafran, kamu juga sudah kerja keras di pesantren. Jangan terlalu dipaksain.”
Zidan tersenyum dan meletakkan buku catatannya di meja. “Tidak, Sayang. Belajar itu juga bagian dari ibadah. Lagipula, mas merasa nyaman bisa ada di sini bersamamu dan Zafran. Kamu dan anak kita adalah motivasiku untuk terus berjuang.”
Zahra merasa tersentuh dengan perkataan Zidan. “Aku juga merasa bahagia, mas. Kehidupan kita sekarang terasa berbeda, tapi penuh berkah.”
Zidan meraih tangan Zahra dan memegangnya dengan lembut. “Mas bersyukur bisa berbagi hidup denganmu. Kita akan terus bersama dalam suka dan duka, mengarungi hidup ini berdua, bersama Zafran.”
Zahra memandang Zidan dengan penuh cinta. “Kamu benar, mas. Kita akan selalu bersama. Dan aku percaya, kita bisa memberikan yang terbaik untuk Zafran.”
Hari itu, Zidan mengajak Zahra dan Zafran untuk berjalan-jalan di sekitar pesantren. Mereka menikmati udara segar di pagi hari, sambil berbincang-bincang tentang masa depan mereka. Saat mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang, Zahra mendekatkan wajahnya ke wajah Zidan.
“Gus, aku sering berpikir, setelah Zafran besar nanti, kita akan jadi orang tua seperti apa, ya? Kita harus memberikan yang terbaik untuk dia, seperti yang orang tua kita lakukan untuk kita.”
Zidan menatap Zahra dengan penuh perhatian. “Kita akan jadi orang tua yang penuh kasih sayang, sabar, dan selalu mengarahkan Zafran ke jalan yang benar. Kita akan saling mendukung dan mengajarkan nilai-nilai yang baik kepadanya.”
Zahra mengangguk, merasa tenang dengan keyakinan Zidan. “Aku percaya pada kamu, mas. Aku yakin kita bisa memberikan yang terbaik untuk Zafran.”
Mereka terus berjalan dengan riang, menikmati kebersamaan. Zafran yang masih kecil tertidur pulas di gendongan ibunya, tampak begitu damai. Zahra dan Zidan merasa beruntung memiliki anak yang sehat dan ceria, serta satu sama lain untuk berbagi kebahagiaan.
Namun, beberapa hari kemudian, Zahra kembali menunjukkan kebiasaannya yang manja. Ia meminta Zidan untuk menemaninya pergi ke pasar untuk membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga. Ia juga sudah merasa pulih seutuhnya. Walaupun Zidan sudah menyarankan agar Zahra beristirahat, Zahra tetap ingin pergi.
“Ayo, mas. Aku nggak mau ketinggalan pasar. Kamu kan selalu bilang kita harus sering keluar dan melihat dunia luar,” kata Zahra dengan senyum manis.
Zidan yang awalnya enggan akhirnya menyerah. “Baiklah, Sayang. Tapi kamu harus hati-hati, ya. Jangan terlalu capek.”
Zahra memeluk Zidan dengan penuh rasa syukur. “Makasih, mas gusku. Kamu memang suami terbaik.”
Mereka pun berangkat menuju pasar yang terletak beberapa kilometer dari pesantren. Sepanjang perjalanan, Zahra terus berbicara dengan penuh semangat, membicarakan segala hal mulai dari kebutuhan rumah tangga hingga harapan-harapannya untuk masa depan. Zidan hanya tersenyum mendengarkan, merasa nyaman berada di samping istrinya yang begitu manja dan penuh kasih.
Setibanya di pasar, Zahra langsung menuju toko yang menjual peralatan rumah tangga. Ia memilih beberapa barang dengan penuh antusias. Zidan hanya mengikutinya dengan sabar, sambil sesekali menenangkan Zahra yang tampak sedikit lelah.
Tiba-tiba, Zahra berhenti di depan toko kue. “Sayang, aku pengen beli kue ini! Lihat, kuenya lucu banget!” seru Zahra sambil menunjuk kue berbentuk hati yang terletak di etalase toko.
Zidan menghela napas, merasa sedikit kelelahan, tetapi ia tahu bahwa ini adalah salah satu kebahagiaan kecil yang bisa ia berikan pada Zahra. “Oke, kalau kamu mau. Tapi kamu jangan lupa, nanti kita pulang cepat, ya.”
Zahra tersenyum bahagia dan segera membeli beberapa kue. Mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan hati senang, meski Zidan sedikit merasa lelah karena harus mengikuti keinginan Zahra.
Sesampainya di pesantren, Zidan membantu Zahra membawa barang-barang yang mereka beli. Ketika mereka masuk ke rumah, mereka disambut oleh Ummi Halimah yang sudah menunggu di depan pintu.
“Masya Allah, Zahra, Zidan, kamu berdua bawa banyak barang. Jangan terlalu capek-capek, nanti malah jatuh sakit,” ujar Ummi Halimah sambil tersenyum melihat anak muda itu.
Zahra tertawa ringan. “Iya, Ummi, kami hanya membeli beberapa barang. Mas Zidan memang baik banget, selalu sabar menemani aku belanja.”
Zidan hanya tersenyum dan meremas pelan tangan Zahra. “Aku hanya ingin melihat Zahra bahagia. Jadi, kalau itu membuatnya senang, aku akan terus melakukannya.”
Ummi Halimah tersenyum mendengar kata-kata Zidan. “Kalian memang pasangan yang luar biasa. Semoga Allah selalu memberkahi keluarga kecil kalian.”
Zahra dan Zidan saling berpandangan dengan penuh cinta. Mereka tahu bahwa mereka telah menemukan pasangan hidup yang tepat, yang akan selalu ada untuk mereka, baik dalam suka maupun duka. Kini, mereka hanya perlu menjaga cinta mereka agar selalu tumbuh dan berkembang, untuk masa depan yang penuh kebahagiaan bersama anak mereka, Zafran.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??