Kembali lagi mommy berkarya, Semoga kalian suka ya.
Mahreen Shafana Almahyra adalah seorang ibu dari 3 anak. Setiap hari, Mahreeen harus bekerja membanting tulang, karena suaminya sangat pemalas.
Suatu hari, musibah datang ketika anak bungsu Mahreen mengalami kecelakaan hingga mengharuskannya menjalani operasi.
"Berapa biayanya, Dok?" tanya Mahreen, sebelum dia menandatangani surat persetujuan operasi.
"500 juta, Bu. Dan itu harus dibayar dengan uang muka terlebih dahulu, baru kami bisa tindak lanjuti," terang Dokter.
Mahreen kebingungan, darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Hingga akhirnya, pertolongan datang tepat waktu, di mana CEO tempat Mahreen bekerja tiba-tiba menawarkan sesuatu yang tak pernah Mahreen duga sebelumnya.
"Bercerailah dengan suamimu, lalu menikahlah denganku. Aku akan membantumu melunasi biaya operasi, Hanin," ucap Manaf, sang CEO.
Haruskah Mahreen menerima tawaran itu demi Hanin?
Atau, merelakan Hanin meninggal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Perhatian Manaf
Mahreeen tertegun saat Manaf berkata dengan suara tenang.
“Nanti kamu akan terbiasa Mahreeen, semua milikku nanti juga milikmu.”
Kalimat itu menggema di pikirannya, menimbulkan seribu pertanyaan. Apa maksudnya? Kenapa Manaf berkata seperti itu? Sebelum dia bisa merespons, Manaf dengan cepat mengalihkan pembicaraan.
“Sudahlah, jangan pikirkan itu sekarang. Fokus saja pada Hanin, dia butuh dukungan kita.” ucap Manaf tersenyum tipis dan melanjutkan, “Aku di sini untukmu, Mahreeen. Jangan ragu untuk mengandalkanku.”
Mahreeen hanya mengangguk pelan, masih berusaha mencerna kata kata Manaf. Dia tahu Manaf adalah bosnya, seorang pria berpengaruh, tapi perhatian yang dia tunjukkan sekarang terasa sangat pribadi. Apakah ini hanya karena rasa kasihan? Atau ada sesuatu yang lebih?
Tidak mungkinkan jika dia... Mencintaiku? Tiba tiba begitu saja, datang saat aku membutuhkan bantuan. Bagaikan seorang pahlawan yang datang khusus menolongnya. Batin Mahreeen.
Di dalam mobil menuju bandara, Mahreeen berdiam diri, tapi perasaan canggung menguasainya. Manaf sepertinya merasakan kecanggungan itu. Dia menoleh dan bertanya,
“Apa kau takut terbang, Mahreeen?” tanya Manaf.
“Iya, ini pertama kalinya aku naik pesawat.” jawab Mahreeen sedikit terkejut, tapi mengangguk perlahan.
“Tidak apa apa. Pesawatku aman, kamu akan baik baik saja,” ucap Manaf sambil menatap Mahreeen dengan tatapan menenangkan.
“Aku hanya khawatir...,” lirih Mahreeen.
“Hanin... bagaimana kalau sesuatu terjadi lagi?” lanjutnya mengalihkan pembicaraannya tentang kegugupan untuk naik pesawat.
Manaf segera meraih tangan Mahreeen, mencengkeramnya erat tapi lembut.
“Tidak akan ada yang terjadi. Percayalah, aku sudah memastikan Hanin mendapatkan perawatan terbaik. Kita hanya perlu tetap kuat untuknya.” yakinkan Manaf.
Mahreeen tersentuh dengan ketulusan Manaf. Dia belum pernah melihat sisi Manaf yang seperti ini, begitu perhatian dan penuh dukungan.
“Terima kasih, Pak Manaf. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa Anda.” ucap Mahreeen yang tersenyum tulus.
“Jangan panggil aku ‘Pak Manaf’. Panggil saja Manaf. Kita tidak di kantor sekarang,” jawab Manaf sambil tersenyum.
Mahreeen tersenyum kecil, meskipun masih terasa kikuk. “Baik... Manaf.” Nama itu terasa asing di bibirnya, tapi juga membuatnya merasa lebih dekat dengan pria yang sekarang duduk di sebelahnya.
Ketika mereka tiba di bandara, Manaf dengan sigap menggandeng tangan Mahreeen, membimbingnya menuju pesawat pribadinya. Jalur khusus yang mereka lalui memberi mereka privasi total. Mahreeen merasa sedikit canggung dengan perhatian yang diberikan Manaf, tapi dia tidak bisa menyangkal bahwa kehadiran Manaf membuatnya merasa lebih tenang.
Di dalam pesawat, Mahreeen duduk di samping Manaf, masih merasakan kecemasan dari pengalaman terbang pertama kalinya.
“Apakah kita akan lama di sini?” tanya Mahreeen, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa takutnya.
“Tidak terlalu lama, sekitar beberapa jam,” jawab Manaf. “Kamu bisa tidur kalau mau. Aku akan memastikan kamu tetap aman.” lanjut Manaf.
“Aku tidak bisa tidur... terlalu banyak yang dipikirkan.” jawab Mahreeen menggelengkan kepala.
“Aku mengerti. Tapi cobalah untuk bersantai. Hanin sudah di tangan yang tepat.” ucap Manaf.
Dia lalu mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, suaranya lembut namun penuh keyakinan.
“Aku janji, semuanya akan baik baik saja, Mahreeen. Kamu hanya perlu percaya padaku.” bisiknya.
Mahreeen menatapnya sejenak, lalu berkata dengan suara pelan.
“Kenapa Anda begitu peduli pada saya? Maksudku... kita hanya karyawan, bukan?” tanya Mahreeen.
Manaf tersenyum lagi, senyum yang samar namun menenangkan. “Mungkin kita lebih dari itu sekarang, Mahreeen. Kamu bukan hanya karyawanku. Kamu wanita yang kuat, dan aku menghormati itu. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak merasa sendirian. Dan tidak akan lama lagi kita akan menikah," jawab Manaf seolah mengingatkan tentang perjanjian yang sudah di sepakati.
Mahreeen terdiam mendengar jawaban itu. Kata kata Manaf membuat hatinya terasa hangat, tapi juga membingungkan. Apa maksud Manaf sebenarnya? Satu hal yang pasti dia tidak akan melepaskan apa yang sudah di ambil langkahnya sejauh ini. Jika memang menjadi istri keduanya, harus rela.
Ketika pesawat mulai bergerak, Mahreeen secara refleks mencengkeram lengan Manaf dengan kuat, matanya terpejam erat. Dia sangat tegang, tidak bisa menahan rasa takut yang melingkupinya.
Manaf menyadari itu dan dengan tenang menarik Mahreeen dalam pelukan.
“Tenang, Mahreeen. Aku di sini. Pegang aku saja kalau kau merasa takut.” bisik Manaf.
“Maaf... aku benar-benar takut.” ucap Mahreeen membuka matanya sedikit, dan melihat Manaf yang begitu tenang.
“Tidak perlu minta maaf. Ini wajar. Aku di sini untuk menjaga kamu dan Hanin, ingat?” jawab Manaf sambil tersenyum lembut.
Perjalanan itu terasa lebih lama dari biasanya bagi Mahreeen, tapi kehadiran Manaf di sampingnya membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ketika perutnya mulai terasa lapar, Manaf menyadari itu dan segera meminta pramugari untuk menyajikan makanan.
“Kamu harus makan, Mahreeen. Jangan biarkan dirimu lemah, Hanin butuh kamu tetap kuat,” ucap Manaf sambil menyodorkan piring makanan kepadanya.
Mahreeen mengangguk, meskipun masih merasa canggung. Mereka makan bersama, dan dalam diam, Mahreeen merasa aneh. Makan di pesawat pribadi, dengan seorang pria yang bukan suaminya, terasa sangat berbeda dari hidupnya yang sederhana.
Seberuntung itukah aku sekarang ini? Batin Mahreeen.
“Manaf...,” tiba tiba Mahreeen berbicara, mencoba mencari kata kata.
“Aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu. Semua ini... terasa seperti mimpi.” lanjutnya.
“Kamu tidak perlu membalas apa pun, Mahreeen. Aku melakukan ini karena aku ingin. Karena... aku peduli.” ucap Manaf tersenyum kecil yang belum bisa menjawabnya dengan gamblang.
Mahreeen terdiam lagi. Ada sesuatu dalam cara Manaf berbicara yang membuat hatinya berdetak lebih cepat. Tapi sebelum dia bisa mengatakan sesuatu, Manaf melanjutkan,
“Kamu hanya perlu fokus pada Hanin. Jangan pikirkan yang lain.” lanjut Manaf.
Perjalanan mereka akhirnya sampai di tujuan. Di bandara, mereka dijemput oleh orang orang kepercayaan Manaf dan langsung dibawa ke rumah sakit. Ketakutan Mahreeen kembali muncul ketika mereka mendekati rumah sakit. Tangannya mulai gemetar, dan tanpa dia sadari, Manaf menggenggam tangannya lagi.
“Kamu tidak sendirian, Mahreeen. Aku akan selalu di sampingmu,” ucap Manaf dengan suara rendah, namun penuh keyakinan.
Setibanya di rumah sakit, Mahreeen langsung menuju ruang perawatan Hanin. Olaf, asisten Manaf, segera memberikan kabar baik.
“Operasi Hanin berjalan lancar. Kondisinya sekarang jauh lebih baik.” lapor Olaf.
Mahreeen merasa tubuhnya lemas seketika. Air mata mengalir di pipinya saat dia mengucap syukur, “Alhamdulillah... terima kasih, ya Allah.”
“Aku sudah bilang, semuanya akan baik baik saja.” ucap Manaf yang berdiri di sampingnya tersenyum lega.
“Terima kasih... terima kasih atas semuanya.” lirih Mahreeen menatap Manaf dengan mata basah.
“Tidak perlu terima kasih, Mahreeen. Kamu dan Hanin adalah yang terpenting sekarang. Itu sudah cukup bagiku.” ucap Manaf hanya menggeleng pelan.
***
Malam itu, Mahreeen tidur dengan perasaan lebih tenang. Tapi di dalam hatinya, perasaan tentang Manaf mulai berubah. Apa yang sebenarnya dirasakan pria itu terhadapnya? Dan mengapa perhatian Manaf begitu tulus, seolah olah dia adalah orang paling penting dalam hidupnya? Pertanyaan pertanyaan itu terus berputar di benak Mahreeen, meninggalkannya dengan kebingungan yang semakin dalam.
Manaf... Apakah Allah memberiku kesempatan untuk bahagia?
...****************...
Hi semuanya!!! Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya.
bentar lagi up ya di tunggu
Yang suka boleh lanjut dan kasih bintang ⭐⭐⭐⭐⭐
Dan yang ga suka boleh skip aja ya.
Terima kasih para raiders ku.