Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Berbeda dengan sore kemarin saat Alana merasa galau dan tidak percaya diri setelah melihat pertemuan Zidan dan Zahra, hari ini ia sudah kembali ceria seperti biasanya. Ia pergi ke sekolah dan menjalani rutinitasnya sebagai siswa.
Alana keluar kelas bersama Zayn menuju kantin. Suasana sekolah agak sepi karena kebanyakan siswa masih berada di kelas. Saat itu mereka sedang dalam jam olahraga, dan Pak Bakri, guru mereka, Tidak masuk, sehingga mereka bebas melakukan apa pun.
Sesampainya di kantin, Alana langsung menuju kulkas minuman dingin dan memilih Milo coklat kaleng yang sudah diidam-idamkannya sejak tadi untuk melepas dahaga akibat terik matahari.
"Za, kamu nggak mau pilih minuman? Emang nggak haus?" tanya Alana.
"Nggak, kamu aja yang minum. Aku nggak haus," balas Zayn santai.
"Ya udah, aku bayar dulu, ya. Abis itu baru kita ganti baju," kata Alana sambil berjalan menuju kasir kantin.
"Milonya 10.000, Mbak," ujar penjaga kantin.
Alana merogoh kantong seragamnya dan mengeluarkan uang yang ada. Namun dengan segera wajahnya tampak kecewa.
"Kenapa La?" Tanya zayn.
"Uangku kurang lima ribu." Lirih Lana.
" Udah nggk usah loyo gitu ambil uang dari dompetku aja," sahut Zayn santai.
Alana yang lesu seketika langsung bersemangat, dengan segera membuka tas Zayn. Saat tangannya mencari uang, jari-jarinya menyentuh dompet tebal di dalam tas itu.
"Gile... Duitmu banyak juga ya Za?" serunya takjub.
Zayn tiba-tiba panik, wajahnya berubah tegang, cepat-cepat mencekal tangan Alana yang masih memegang dompetnya.
"Tunggu dulu! Biar aku aja yang ambil," katanya dengan nada tergesa, seolah ada hal yang disembunyikannya.
Alana menatapnya bingung, tapi rasa heran itu segera hilang setelah Zayn memberikan uang lima ribuan padanya. Alana langsung tersenyum senang.
"Thank you very much, Zayn, kamu yang terbaik haha."
Setelah membayar minumannya dengan tambahan uang dari Zayn, mereka berjalan meninggalkan kantin.
"Za, mulai hari ini tolong ajarin aku bahasa Inggris, dong, please ya? Aku bakal bayar kamu 10.000 per jam deh, ya?" pinta Alana dengan antusias.
Zayn melirik Alana yang terlihat antusias, ia tersenyum miring. "Kalau gitu, aku bertaruh seratus ribu. Aku jamin kamu nggak bakal tahan belajar lebih dari satu jam."
Alana memonyongkan bibirnya. " dasar cowok jahat hmph!"
Zayn mengangkat satu alisnya menanggapi Alana, lalu tertawa kecil melihat sikap Alana yang kadang random dan lucu. dia selalu menemukan cara unik untuk menghidupkan suasana, meskipun terkadang sikapnya bisa terkesan aneh.
Saking asiknya mengobrol nggak terasa mereka sudah sampai di depan pintu toilet, mereka berdua segera berpisah untuk berganti pakaian olahraga. Zayn memasuki toilet pria, sementara Alana menuju toilet wanita.
Saat hendak pergi, dua lembar kertas terjatuh dari tas Zayn yang masih terbuka. Tanpa sadar, Zayn melangkah ke toilet pria dan tak memperhatikannya. Dari kejauhan, Airin yang juga hendak mengganti baju melihat kertas yang di jatuhkan zayn tergeletak di lantai. Dia memungutnya, tetapi saat ingin mengembalikannya, Zayn sudah pergi. Akhirnya, Airin memasukkan kertas itu ke dalam kantong rok hitamnya.
Setelah selesai mengganti baju, Airin segera menyusul Alana untuk menyelesaikan pengecatan tembok sekolah. Hanya tersisa sedikit bagian yang belum selesai, jadi mungkin pekerjaan itu akan cepat selesai.
Setelah 20 menit berkutat dengan pekerjaan menyebalkan yang di berikan guru BK itu. Pekerjaan itu pun selesai. Alana melompat kegirangan. Pekerjaan mengecat yang menyita waktunya sejak beberapa hari lalu akhirnya berakhir dengan hasil yang memuaskan.
Ia menoleh ke arah Airin dengan wajah riang. "Rin, kamu punya bakat gambar, ya? Kamu benar-benar menyelamatkan hasilnya. Kalau aku mah cuma bisa ngerusak aja," ujarnya sambil menghela napas panjang.
"Rin, kamu suka komik ya?" tanya Alana lagi saat teringat gambaran Airin yang bagus. Namun, Airin hanya diam mendengarkan tanpa memberi respon apa pun.
“Oh iya, kamu tahu film kartun Inside Out yang lagi tayang nggak? Aku pengen banget nonton itu,” kata Alana.
Ia menoleh ke Airin dengan tatapan memohon. Mata bulatnya berkedip-kedip menunjukan seberapa besar ia ingin menonton film tersebut.
Airin melirik, "Kalau mau nonton ya tinggal nonton aja ngapain kamu liatin aku kayak gitu." ujarnya.
“Aku pengen nonton sih… tapi… Aku nggak punya teman, heung..." ucap Alana lesu.
Alana lalu mendekatkan wajahnya, matanya berbinar-binar menatap Airin penuh harap.
“Aku nggak suka nonton sendirian, Rin... Aku butuh teman buat nonton bareng!” serunya dengan semangat menggebu, seolah mata dan nada suaranya berseru, Ayo, temenin aku nonton, Airin!
Airin menghela nafas, merasa risih, ia menahan kepala Alana agar tidak semakin mendekat.
"Oke… Oke, aku ngerti, jadi tolong jangan terlalu dekat-dekat denganku," sahutnya, memundurkan kepalanya sedikit.
"Oh yeah! Berarti kamu mau nonton bareng aku, kan?!" seru Alana berseri-seri.
"Kamu ganggu banget sih!" serunya.
Ia menyibakkan poninya ke belakang, merasa salah tingkah. Sebenarnya, ini pertama kalinya dia merasa ada orang yang benar-benar ingin dekat dengannya.
"Wah, matamu cantik banget, loh! Kenapa kamu selalu menutupinya?" kata Alana terpana saat melihat mata Airin yang jernih.
Airin mengangkat alis, menatap Alana dengan ekspresi skeptis. "Apa sih?!"
"Coba naikin ponimu sedikit, pasti banyak anak cewek di kelas kita yang suka, deh!" jelas Alana.
"Alana, kamu tuh aneh banget!" ujarnya, walau sedikit ketus tapi sudut bibirnya sedikit terangkat, menahan senyum kecil.
"Iya, banyak yang bilang gitu sih, haha," balas Alana, terkikik tanpa merasa tersinggung sedikit pun.
Setelah mengganti baju Zayn berjalan perlahan sambil memikirkan beberapa hal, hingga suara beberapa siswa yang sedang bermain bola di lapangan menarik perhatiannya.
"Pak Zidan!" Salah satu siswa memanggil guru Bahasa Inggris yang baru saja melintas.
"Mau main bola satu babak nggak pak? anggota tim kami kurang satu nih!" ucap salah satu siswa berbicara pada Zidan.
Zidan tersenyum santai. "Lain kali saja, ya. Bapak mau mengajar sekarang."
Mendengar itu, Zayn berhenti sejenak, matanya tertuju pada pak Zidan yang melangkah menjauh. Akhir-akhir ini, Zayn tak bisa menyangkal, ada perasaan aneh setiap melihat guru itu. Bukan karena alasan akademis atau kedisiplinan, tetapi karena... Alana. Bagaimanapun, Pak Zidan adalah guru yang Alana sukai, dan Zayn merasa tersaingi dalam mendapatkan perhatian gadis itu.
"Kenapa harus dia, sih?" gumamnya, merasa kesal sendiri.
Di sisi lain, dia sendiri tidak mengerti kenapa Alana begitu bersemangat saat membicarakan pak Zidan.
Satu hal lagi yang membuat pikirannya terganggu. Kemarin sore, tanpa sengaja, saat Zayn kembali dari mini market ia melihat seorang wanita cantik berambut pendek keluar dari rumah Pak Zidan. Mereka tampak berbincang akrab di depan pintu, dan ada sesuatu dalam cara wanita itu menatap Pak Zidan, yang membuat Zayn merasa ada sesuatu diantara mereka. Hal itu lah yang membuatnya semakin kesal, wanita yang di cintainya malah menyukai lelaki yang tidak jelas seperti itu.
Zayn akhirnya menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. "Sudahlah, bukan urusanku," gumamnya. Lalu ia pun melanjutkan langkahnya menuju kelas.
Di saat yang sama, Airin duduk di kelas setelah selesai mengecat. Berkali-kali ia mengendus tangannya; bau cat masih sangat menyengat.
"Sepertinya aku harus mencucinya lagi dengan sabun," gumamnya. Ia merogoh kantongnya, mencari tisu untuk mengeringkan tangan setelah mencuci nanti. Namun, yang ia temukan bukanlah tisu, melainkan dua lembar kertas bertuliskan 'Inside Out'—kertas yang dijatuhkan Zayn tadi.
"Oh iya, aku lupa mengembalikan ini... Eh, tunggu, ini tiket film 'Inside Out'? Bukankah itu film yang sangat ingin ditonton Alana?" gumam Airin.
Airin kembali memasukkan dua lembar tiket itu ke dalam kantongnya. Ia masih menunduk sambil berjalan, sehingga tanpa sengaja menabrak Zayn yang sedang hendak memasuki kelas.
“Bugh... Aww...” pekik Airin, memegangi tangannya yang terasa nyut-nyutan akibat tabrakan itu.
“Maaf! Kamu nggak apa-apa?” tanya Zayn khawatir.
“Iya, aku nggak apa-apa,” jawab Airin sambil tersenyum menahan rasa sakit. “Oh ya, tadi kamu menjatuhkan ini di depan toilet.” Airin menyerahkan dua lembar tiket itu kepada Zayn.
Zayn terdiam sejenak, memperhatikan tiket itu, lalu segera teringat dan merogoh kantongnya yang kosong. Kapan aku menjatuhkannya? batinnya. Lalu ia menerima tiket yang diberikan Airin. "Terima kasih," ujarnya.
Namun, saat Zayn hendak memasukkan tiket itu ke dalam kantong, ia merasakan tatapan tajam yang menusuk dari belakang.
“Ini tiket film Inside Out, kan?” seru Alana, langsung menyambar tiket yang dipegang Zayn, membuatnya terlonjak.
“Astaga!” Zayn terkejut, namun belum sempat berkata apa-apa, Alana sudah berseru lagi.
“Wah, kamu juga mau nonton ini, Za?! Kalau nggak ada teman nonton, nonton bareng aku ya?” ajaknya dengan semangat, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang antusias ingin menonton film favoritnya.
“Oke…” jawab Zayn dengan wajah bersemu merah.
Sebenarnya, tiket itu memang ia beli agar bisa menonton bersama Alana, tapi ia terlalu malu untuk mengajaknya langsung. Makanya tadi saat Alana hampir menggeledah tasnya mencari dompet, Zayn berusaha mencegahnya. Namun, ternyata takdir berpihak padanya, karena justru Alana sendiri yang mengajaknya.
“Wah, serius, Za?!” Alana bertanya dengan wajah berseri.
“Iya,” jawab Zayn, wajahnya semakin memerah. Ia mulai membayangkan ajakan menonton ini sebagai kencan.
Di sisi lain, Airin yang sedari tadi berdiri menyaksikan interaksi mereka merasa seperti ‘nyamuk’ di antara kedua orang itu.
hemm… sangat menarik ya, gumamnya dalam hati, melihat bagaimana Zayn menatap Alana dengan penuh perasaan namun tampaknya Alana tak menyadari itu.
Tak ingin terlalu lama menjadi nyamuk, Airin pun bermaksud pergi saja. Namun, begitu ia berbalik, Alana tiba-tiba menahannya.
“Rin, kamu juga harus ikut nonton!” seru Alana penuh semangat, membuat Airin terkejut.
“Hah? Aku?” balas Airin, masih bingung. Sudah ada Zayn, buat apa lagi aku ikut? pikirnya. Tak ingin merusak rencana mereka, ia mencoba menolak dengan halus.
“Ah, nggak usah, deh,” ucap Airin sambil melirik Zayn sejenak. Ia merasa enggan untuk menjadi pengganggu, apalagi Zayn bukan tipe orang yang selalu terbuka atau ramah. Membayangkan kebersamaan mereka berdua, Airin merasa sebaiknya ia memberi ruang bagi Alana dan Zayn.
Zayn yang menyadari kekhawatiran Airin hanya menatapnya sekilas, lalu berkata tanpa basa-basi, “Nggak apa-apa kok, kita bisa pergi bertiga. Nontonnya Sabtu ini, ya?”
“Yeey, kita pergi~!” seru Alana sambil melompat kecil penuh semangat, wajahnya berbinar-binar. Ia sama sekali tak menyadari bagaimana Zayn dan Airin bereaksi di sebelahnya.
“Tumben banget, kamu yang biasanya sibuk belajar pas weekend kok malah mau nonton, Za?” lanjut Alana, masih dengan tawa lepasnya, seolah hal ini biasa saja.
Zayn hanya tersenyum kaku, menahan perasaannya agar tetap tenang. Sebenarnya, ia sengaja membeli tiket itu supaya bisa menghabiskan waktu bersama Alana.
Meskipun ada rasa kecewa, Zayn tidak ingin memperlihatkannya. Baginya, membuat Alana bahagia adalah prioritas utama, bahkan jika itu berarti ia harus mengabaikan perasaannya sendiri. Selama Alana bisa tersenyum lepas seperti itu, ia rela mengesampingkan keinginannya untuk lebih dekat.
Sementara itu, Airin hanya bisa menghela nafas kasar, melihat Alana yang masih excited.
Haaah... Alana yang nggak peka, malah menyeretku masuk kedalam situasi canggung ini, gumamnya dalam hati.
Rasanya terlihat jelas Zayn ingin punya momen khusus dengan Alana, tapi Alana sama sekali tidak menangkap isyarat itu.
Namun, melihat Alana yang tak pernah berhenti tersenyum, Airin hanya bisa ikut tersenyum tipis. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga jarak saat mereka menonton nanti, supaya tidak terlalu mengganggu.