Zira terjebak dalam tawaran Duda saat dimalam pertama bekerja sebagai suster. Yang mana Duda itu menawarkan untuk menjadi sugar baby dan sekaligus menjaga putrinya.
Zira yang memang sangat membutuhkan uang untuk biaya kuliah dan juga biaya pengobatan bibinya terpaksa menerima tawaran gila itu.
"Menjadi suster anakku maka konsekuensinya juga mengurus aku!" Ucap Aldan dengan penuh ketegasan.
Bagaimana cara Zira bertahan disela ancaman dan kewajiban untuk mendapatkan uang itu?
follow ig:authorhaasaanaa
ada visual disana.. ini Season Dua dari Pernikahan Dadakan Anak SMA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haasaanaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
00010
Akibat dari Zira menolak keinginan Aldan yang sangat menggebu tadi, kini Zira harus menuruti kemauan Aldan. Seperti sudah hampir pagi tapi Aldan tidak juga tertidur, tapi terus menganggu Zira yang tertidur disofa. Aldan sudah berulang kali menempel pada Zira, tapi lagi dan lagi Zira selalu mendorong tubuh Aldan untuk menjauh.
“Zira..” Panggil Aldan dengan sedikit berbisik, ia sangat tidak bisa tidur karena gairah ini. Tapi, lihat.. Zira malah tertidur pulas tanpa merasa bersalah sedikitpun kepada Aldan.
Zira membuka mata karna merasakan kakinya yang dielus, pertama kali yang ia lihat adalah Aldan yang menatapnya penuh gairah. “Ada apa si, Tuan?” Zira kesal tidurnya terganggu.
Aldan mengecup tangan Zira, tubuh pria itu terus naik hingga kini saling tatap dengan Zira. “Aku sangat ingin, Zira..” ucapnya, tatapan mata itu seakan menjadi pertanda jika Aldan sedang tidak berbohong.
Mungkin karena sudah lama menduda hampir tujuh tahun membuat Aldan menjadi seperti ini. Sangat sangat bergairah, tapi tempat lagi tidak aman seperti ini. Dari cahaya yang remang-remang itu Zira menaikkan pakaian bagian atasnya.
“Nyusu aja deh ya, setidaknya kan ada yang dihisap. Oke?” Zira malah menawar kepada Aldan.
Aldan yang memang pada dasarnya memiliki gairah yang sangat tinggi hanya bisa menghela napas secara kasar saja. Mau bagaimana lagi Zira tidak akan mau berbuat gila itu disini.
“Oke deh, tapi sambil remas-remas ya?” Seakan sudah dikasih hati malah meminta jantung itulah Aldan sekarang.
Bahkan belum Zira menjawab, Aldan sudah menurunkan kacamata sebagai penutup keindahan gunung yang Zira miliki. “Sebaiknya jangan pakai benda ini lagi saat di Mansion terlebih lagi disaat ada aku,” ucap Aldan.
“Tidak bisa, aku risih kalau tidak pakai itu..” Zira sedikit menahan geli yang teramat karena Aldan mulai melumat inti dari bongkahan itu.
Karna pertama kali bagi Zira, ia sangat sensitif akan setiap sentuhan yang diberikan Aldan untuknya. Tapi, tidak mau membuat Aldan marah maka Zira hanya pasrah saja sekarang.
•Beberapa menit kemudian..
Zira tidak merasakan geli atau pergerakan lagi dari Aldan, ternyata pria itu sudah tertidur. Meskipun sangat sulit bagi Zira untuk melihat apa yang sedang dilakukan Aldan, tapi ia sadar jika Aldan memang sudah tidur dari herpaan napas yang teratur itu.
Posisi rebahan ini membuat Zira bisa mengelus terus kepala Aldan. Zira menjadi membayangkan jika Aldan seperti ini mungkin bersama dengan mendiang istrinya dulu. Sangat memalukan bagi Zira, tapi ia melakukan hal ini murni karna sang Bibi yang sudah dirawat intensif sekarang.
Mata Zira menuju kearah jendela yang mana masih gelap, ia ingin melepaskan dari Aldan. Tapi, disaat masih mau menjauhkan wajah Aldan eh malah pria itu terbangun. Aldan memeluk erat tubuh Zira, mengubah posisi dengan sangat mudahnya hingga kini Zira berada didalam pangkuan Aldan.
Zira dan Aldan saling tatap satu sama lain. “Ada Aila, Tuan.. Kalau dia lihat.. Emmm..” Zira tidak tahan lagi kala Aldan kembali melakukan kegiatan dibawah sana. Bahkan melumat kasar inti bongkahan indah Zira, benar-benar memabukkan kalau sudah begini.
“Emm.. Jangan digigit,” Zira kesakitan kala Aldan semakin kasar disana. Zira menjambak rambut Aldan karena sudah menyakiti inti miliknya. “Jangan digigit, sakit tau!”
Aldan tersenyum saja. “Bentuknya gemas, putih pink gitu. Kau pakai liptint ya di bongkahan itu?” tanya Aldan dengan kedua alis naik turun.
Zira yang polos menggelengkan kepala. “Memakai liptint di bibir aja jarang apa lagi di gunung milikku,” Sungguh polos Zira mengatakan itu di hadapan Aldan yang tertawa kecil.
“Zira, Zira.. Aku semakin ingin lihat seperti apa dibawah ini,” Tangan Aldan mengelus bagian bawah Zira.
Zira seakan mau melengkung karna sentuhan itu, ia menatap Aldan tajam dan berusaha bangkit takut kalau Aldan tidak terkendali nanti.
“Aku mau pipis dulu,” Zira mencari alasan tepat yang mana membuat Aldan tidak bisa menghentikan kepergiannya.
Cepat-cepat Zira masuk kedalam toilet, ia menutup pintu tidak lupa mengunci agar Aldan tidak bisa masuk. Zira memukul kepalanya sendiri, semenjak berbicara dengan Aldan.. Zira merasa sudah menjadi manusia yang penuh dengan hal berbau mesum sekarang.
“Duda tantrum plus mesum itu memang sembarangan kalau ngomong,” Zira terus mengumpat Aldan didalam toilet.
•
Pagi ini Zira sedang mengantri beli bubur ayam hanya seorang diri saja. Aldan ia tugaskan untuk menjaga Aila selama dirinya membeli bubur ayam. Zira duduk termenung menatap orang-orang yang lewat masuk kedalam Rumah sakit.
“Zira..” Suara itu mengejutkan Zira, ia melihat Rania yang datang kearahnya. Temannya itu seperti habis berobat saja, karna membawa plastik yang berisi saleb dan obat-obatan.
“Rania, kenapa kau di sini?” tanya Zira, ia melihat kearah Rania yang duduk disampingnya.
“Biasa, daddy aku kalau main tanpa henti tau. Akibatnya milik aku sedikit lecet, tapi sudah beli obat,” jawaban Rania tidak membuat Zira terkejut sama sekali.
Karena dari dulu ia selalu tahu seperti apa pekerjaan sahabatnya itu. Yaitu menjadi simpanan dari para gadun kaya raya yang sangat haus akan ranjang.
“Kau sedang apa disini? Apa gadunmu sakit, astaga, Zira! Kenapa kau mencari gadun yang sudah tuir si?” Rania menyerang Zira dengan pertanyaan.
“Aku_”
“Setidaknya serahin perawanmu pada gadun yang sehat dan tidak tua seperti ini. Gadun penyakitan mah nggak enak tau,” Rania memotong pembicaraan Zira yang sebenarnya ingin menjelaskan.
Zira menggelengkan kepala saja melihat Rania yang terus berbicara tentang gadun yang berkualitas tinggi. “Kalau gadun kita sehat pasti gerakannya juga mantap, kita bisa mendesah..” Omongan Rania terhenti karena melihat sosok pria tampan yang berjalan kearah Zira.
“Kenapa kau lama sekali?” tanya Aldan yang kini sudah berdiri di hadapan Zira. Bahkan Zira harus mendongak untuk melihat Aldan, tidak mau berbohong sejujurnya ia sadar jika Aldan memang tampan.
“Itu gadunmu?” tanya Rania yang mana membuat Zira hampir saja tersedak ludahnya sendiri.
“Ah Rania, sepertinya kau sudah ditunggu.. Iyakan?” Zira menarik tangan Rania untuk bangkit. Terus menarik tangan Rania untuk menjauh dari Aldan yang menatapnya tajam.
“Zira, benar itu gadunmu?” tanya Rania lagi untuk memastikan. Zira menjawab dengan anggukkan kepala sambil memberi kode agar Rania tidak bertanya hal lebih lagi.
“Mantap, kau pandai memilih.. Aku bangga padamu,” ucap Rania dengan senyuman bangganya.
Rania langsung berlari pergi meninggalkan Zira yang terus menatap kepergiannya. Setidaknya Zira lega satu biang masalah sudah pergi, sekarang tinggal menghadapi Aldan yang menatapnya terus menerus itu.
dah sakit aja baru