Di kota kecil bernama Harapan Senja, beredar cerita tentang sosok misterius yang dikenal sebagai "Sang Brandal." Sosok ini menjadi legenda di kalangan warga kota karena selalu muncul di saat-saat genting, membantu mereka yang tertindas dengan cara-cara yang nyeleneh namun selalu berhasil. Siapa dia sebenarnya? Tidak ada yang tahu, tetapi dia berhasil memenangkan hati banyak orang dengan aksi-aksi gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Pintu besi besar itu berdiri kokoh di depan mereka, tampak kontras dengan sisa-sisa gedung tua di sekitarnya. Zed dan Kai berdiri terpaku di hadapannya, jantung mereka berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Pintu ini jelas bukan bagian asli dari bangunan lama—tampak jelas bahwa seseorang telah memasangnya baru-baru ini, mungkin untuk menyembunyikan sesuatu yang sangat penting di baliknya.
“Lo ngerasa nggak, Kai?” bisik Zed, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan yang mencekam. “Ini bukan sekadar gedung tua. Ada sesuatu yang lebih dari ini.”
Kai mengangguk pelan, matanya tetap terfokus pada pintu itu. “Gue setuju, Zed. Tapi pertanyaannya, apa yang mereka sembunyiin di sini? Dan lebih penting lagi, gimana kita masuk?”
Mereka mendekati pintu itu, memperhatikan setiap detailnya. Di bagian tengah pintu terdapat sebuah panel elektronik kecil, dengan layar yang menampilkan angka-angka dan tombol-tombol seperti keypad. Ini jelas merupakan sistem keamanan yang canggih, sesuatu yang tidak akan mudah ditembus tanpa akses yang tepat.
“Ini kelihatan kayak pintu bank atau brankas,” kata Kai sambil memeriksa panel tersebut. “Mungkin kita butuh kode untuk masuk.”
Zed menghela napas panjang. “Dan kita nggak punya kode itu. Jadi, kita punya dua pilihan: cari tahu kodenya, atau coba buka paksa pintu ini.”
Kai tersenyum tipis, sedikit humor di tengah ketegangan. “Gue nggak yakin kita bisa buka paksa pintu besi setebal ini, Zed. Kayaknya lebih baik kita coba cari kode itu dulu.”
Zed setuju dengan Kai. Mereka berdua mulai mencari di sekitar ruangan, berharap menemukan petunjuk yang mungkin tertinggal. Ruangan itu sendiri tampak kosong, kecuali beberapa kotak tua dan barang-barang berdebu yang tidak lagi berguna. Namun, semakin lama mereka mencari, semakin jelas bahwa tidak ada petunjuk yang mudah ditemukan.
Kai berhenti sejenak, merenung. “Gue rasa Kenshin nggak mungkin biarin sesuatu sepenting ini tanpa perlindungan yang lebih kuat. Mungkin ada cara lain untuk membuka pintu ini—sesuatu yang kita lewatkan.”
Zed berjalan kembali ke pintu dan memperhatikan panel itu dengan lebih teliti. Layar kecil di atas keypad menunjukkan sekumpulan angka yang tampak acak, tapi setelah beberapa saat, dia menyadari bahwa angka-angka itu bukan sekadar dekorasi. “Lihat ini, Kai,” katanya sambil menunjuk ke layar. “Ini bukan acak. Kayaknya ini pola.”
Kai melirik layar itu, mencoba menganalisisnya. “Maksud lo, ini semacam teka-teki?”
Zed mengangguk. “Mungkin. Lihat, angka-angka ini berubah setiap beberapa detik, tapi kalau lo perhatiin, ada pola tertentu. Angka-angka ini mungkin petunjuk buat kode yang kita butuhkan.”
Mereka berdua mulai mencoba memahami pola yang ditampilkan di layar. Setiap kali angka-angka itu berubah, mereka mencatat perbedaannya, mencoba mencari tahu bagaimana pola itu bekerja. Butuh beberapa menit, tapi akhirnya Kai menemukan sesuatu yang penting.
“Gue pikir gue dapet polanya,” katanya dengan nada antusias. “Kalau kita ikutin urutan ini, seharusnya kita bisa nebak kodenya.”
Zed menatap layar itu lagi, kemudian mencoba memasukkan urutan angka yang mereka perkirakan. Tangan mereka sedikit gemetar saat Zed menekan tombol terakhir di keypad, berharap bahwa usaha mereka berhasil. Sejenak, tidak ada yang terjadi—lalu tiba-tiba, terdengar bunyi klik pelan, dan pintu besi itu mulai terbuka perlahan.
“Kita berhasil!” seru Kai, tapi suaranya tetap rendah, menyadari bahwa mereka mungkin tidak sendirian di sini.
Mereka berdua menarik napas lega, tapi hanya sebentar. Di balik pintu itu, sebuah lorong panjang dan gelap terbentang di depan mereka, lebih dalam dari yang mereka bayangkan. Lorong itu terasa seperti mulut dari sebuah gua, mengundang mereka masuk ke dalam kegelapan yang lebih dalam lagi.
“Gue nggak suka ini, Zed,” kata Kai, nadanya penuh keraguan. “Tapi kita nggak bisa mundur sekarang, kan?”
Zed mengangguk. “Nggak, kita harus terus maju. Apa pun yang ada di ujung lorong ini, mungkin itu jawaban dari semua pertanyaan kita.”
Dengan senter di tangan, mereka melangkah ke dalam lorong itu. Dinding-dinding di sekitarnya tampak rapat dan dingin, terbuat dari beton yang kasar. Suara langkah kaki mereka menggema, menciptakan efek yang hampir membuat lorong itu terasa hidup—seolah-olah ada sesuatu yang mengikuti mereka di belakang.
Semakin dalam mereka masuk, semakin aneh suasananya. Udara di dalam lorong terasa lembab dan berat, membuat setiap napas terasa lebih sulit. Di sepanjang jalan, mereka mulai melihat tanda-tanda kehidupan yang pernah ada di tempat ini: bekas-bekas kaki di debu, kabel-kabel yang menjulur dari dinding, dan bahkan beberapa lampu neon kecil yang masih berkedip lemah.
“Kenshin pasti sering ke sini,” kata Zed, setengah berbisik. “Tapi kenapa? Apa yang dia cari di tempat kayak gini?”
Kai tidak menjawab, terlalu fokus untuk mencari petunjuk lebih lanjut. Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya tiba di ujung lorong. Di sana, mereka menemukan sesuatu yang sama sekali tidak mereka duga—sebuah ruangan besar dengan peralatan canggih, layar komputer besar, dan dokumen-dokumen yang tersebar di meja.
“Ini… markas rahasia?” gumam Kai, hampir tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Zed melangkah masuk ke dalam ruangan, mencoba memproses apa yang mereka temukan. Ruangan itu tampak seperti pusat kendali, penuh dengan teknologi yang jauh lebih maju daripada yang mereka bayangkan. Di salah satu sudut, sebuah layar besar menampilkan peta kota Fictio, dengan titik-titik merah kecil yang berkedip-kedip di berbagai lokasi.
“Gue rasa ini lebih dari sekadar markas rahasia,” kata Zed akhirnya, suaranya penuh kekaguman dan ketakutan sekaligus. “Ini kayak pusat operasi buat sesuatu yang besar… dan gue rasa Kenshin adalah salah satu yang ngejalaninnya.”
Kai melangkah ke meja yang penuh dengan dokumen, mencoba membaca beberapa di antaranya. “Zed, lo harus liat ini. Ada daftar nama-nama orang di sini… termasuk nama kita.”
Zed buru-buru mendekat, dan perasaan dingin menjalar di tubuhnya saat dia melihat namanya dan Kai tertulis di atas kertas itu, bersama dengan informasi pribadi mereka. Di samping nama mereka, ada catatan-catatan kecil—mungkin rencana atau strategi yang berkaitan dengan mereka.
“Kita ada di daftar target mereka,” bisik Kai, suaranya bergetar. “Tapi kenapa? Apa yang mereka mau dari kita?”
Sebelum Zed bisa menjawab, terdengar suara langkah kaki dari arah lorong. Seseorang mendekat dengan cepat. Mereka berdua langsung bersembunyi di balik salah satu meja, mematikan senter dan menahan napas. Detik-detik berlalu dengan lambat, dan akhirnya, pintu di ujung lorong itu terbuka.
Seorang pria bertubuh tegap dengan jaket kulit masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh dua orang lainnya. Mereka tampak seperti orang-orang yang tahu apa yang mereka lakukan—jelas bukan orang sembarangan. Pria yang pertama kali masuk itu berjalan langsung ke meja utama, mulai memeriksa layar dan dokumen-dokumen di sana.
“Kita harus segera keluar dari sini,” bisik Zed, matanya mencari jalan keluar alternatif.
Kai mengangguk pelan, tapi sebelum mereka bisa bergerak, pria itu berbicara. “Kita harus lebih cepat. Informasi dari Kenshin bilang bahwa ada pihak ketiga yang mulai mengendus apa yang kita lakukan. Kita nggak bisa nunggu lebih lama lagi.”
Zed dan Kai saling pandang, hati mereka berpacu dengan ketakutan. Mereka menyadari bahwa Kenshin tidak hanya terlibat dalam sesuatu yang gelap, tetapi dia mungkin juga telah menyerahkan mereka kepada kelompok ini. Apakah ini semua bagian dari rencana Kenshin, atau ada sesuatu yang lebih besar yang belum mereka pahami?
Apapun itu, Zed dan Kai tahu bahwa mereka harus keluar dari sana secepat mungkin, sebelum mereka ditemukan dan semuanya menjadi lebih buruk.
Namun, tepat saat mereka hendak bergerak, pria di meja itu berhenti dan mendongak. “Tunggu,” katanya, suaranya rendah tapi tegas. “Gue rasa ada yang nggak beres di sini.”
Jantung Zed berhenti sejenak, dan dalam kegelapan ruangan itu, dia bisa merasakan tatapan dingin pria itu menyapu tempat persembunyian mereka. Mereka tahu, dalam hitungan detik, semuanya bisa berakhir dengan buruk.