Oleh orang tuaku, aku di jadikan sebagai pelunas utang dan menikahkan ku dengan seorang pria kaya. Tidak ada cinta di antara kami. Suatu malam, tanpa sengaja, aku melakukan one night stand dengan bos ku hingga aku harus mengakhiri rumah tangga ku yang masih berumur jagung.
Ternyata, kejadian malam itu adalah jebakan. Jebakan balas dendam yang membuatku terluka dan trauma.
Lima tahun berlalu, aku bertemu lagi dengannya, bertemu dengan pria yang malam itu membuatku tak berdaya karena sentuhannya. Pria yang sangat aku benci dan ingin aku lupakan.
Tapi pertemuan itu kembali membuatku terseret oleh pesonanya.
Mampukah aku tetap membenci atau justru aku malah jatuh cinta padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10 : Tak bisa menghindari
Emilia POV
Satu bulan kemudian.
Sejak kejadian malam itu, aku jarang sekali bertemu dengan Gerrard, padahal kami bekerja di ruangan yang sama. Dan sejak hari itu juga, tidak ada pekerjaan apapun yang di berikan Gerrard padaku.
Aneh? Tentu saja. Aku merasa jika dia sedang menghindari ku.
Tapi sebenarnya itu lebih baik. Tidak bertemu dengannya sedikit banyak membuatku melupakan kejadian kelam dalam sejarah hidupku.
Aku bekerja seperti biasa, performa ku kembali. Aku tidak lagi terlalu memikirkan masalah itu. Yang sekarang menjadi prioritas ku adalah, bekerja sebaik mungkin demi memburu target kerjaku tahun ini. Salary yang berlebih di akhir tahun bisa membuatku jalan jalan keluar negeri, apalagi launching mobil baru perusaahan ku mendapat feedback yang sangat baik di hampir seluruh wilayah eropa. Dengan pencapaian itu, tentu bonus akan mengalir seperti air terjun yang sangat deras masuk ke dalam rekening ku.
Tiba waktu makan siang, aku mengajak Heidi ke kantin yang berada di basement. Aku lagi malas jalan keluar mencari jajanan. Lagian kantin di sini juga menjual makanan yang lumayan enak.
" Mau makan apa?" Tanyaku pada Heidi.
" Ravioli."
Aku pun memesan makanan yang sama. Pikirku, jika menunya berbeda, biasanya kami akan menunggu agak lama. Dan pilihan Heidi menurutku tidak terlalu buruk untuk hidangan makan siang kami.
Benar dugaanku, kami hanya perlu menunggu lima belas menit hingga pesanan kami datang, andai aku pesan menu berbeda, bisa bisa cacing ku lebih dulu bertemu dengan malaikat maut karena kematian mendadaknya akibat kelaparan.
Aku dan Heidi mulai menikmati ravioli hangat yang baru saja di antarkan ke meja kami. Terlihat sangat lezat sekali, aku mulai memasukkan sesendok penuh ke dalam mulutku, dan ternyata penampilannya sama persis seperti rasanya. Aku kembali memasukkan sesendok untuk yang ke dua kali, namun aku mulai bingung dengan rasanya.
" Kenapa rasanya jadi lain?" Pikirku.
Heidi telah menghabiskan setengah, tapi di piringku masih banyak. Heidi memperhatikan caraku menikmati ravioli tersebut.
" Tidak enak?" Tanyanya dengan mulut penuh.
" Entah, tadi enak, tapi tiba tiba rasanya jadi absurd."
Kening Heidi mengernyit. " Absurd?" Heidi mengambil punyaku, memasukkan ke dalam mulutnya untuk merasai seaneh apa ravioli punyaku.
" Apa kau terkena ageusia?" Tanyanya menatap tajam padaku. Di cap ageusia, membuatku langsung protes.
" Kau pikir aku mengidap covid sehingga tidak bisa merasakan rasa makanan?" Tanyaku sinis.
Namun dengan entengnya, ia menganggukkan kepala pertanda mengakui jika aku memang sedang berada dalam kondisi itu, dan aku yakin di otaknya sekarang menginginkan ku segera pergi dari hadapannya. Itu terbukti ketika perlahan ia menarik kursinya sedikit menjauh dariku.
Aku menggelengkan kepala dengan sikapnya, padahal jika di runut ke belakang, dialah yang menulari ku penyakit pandemi mematikan itu beberapa tahun lalu sepulangnya dari Singapura dalam rangka berlibur.
" Jangan mempedulikan ku, habiskan saja makanan mu." Aku menyerah, makanan selezat itu terlalu sulit menyapa lambungku untuk hari ini.
Heidi melanjutkan makannya, dan aku hanya duduk memandanginya yang begitu lahap sembari sesekali ku tatap ravioli di depanku yang masih banyak.
" Kamu masih mau?" Tanya ku pada Heidi.
" Boleh pesan satu lagi?"
" Ini, makan saja, dari pada di buang." Aku menyodorkan piringku.
Dia terlihat ragu. " Kau masih berpikir kalau aku sakit?" Tanyaku mengerti dengan keraguannya.
Heidi mengangguk pasti.
" Terserah kau saja." Aku jadi kesal dengan sikapnya yang menganggap ku penyakitan.
Namun tak urung, dia tetap mengambil piringku dan menghabiskannya.
*
*
Emilia POV
Keesokan harinya.
Aku terbangun di pagi hari dengan kepala yang begitu berat, padahal semalam aku tidur cepat, tidak ada acara begadang mengerjakan tugas kantor yang dulu sering di berikan pak Gerrard padaku.
Aku bergegas mandi dan segera ke dapur walau kepalaku terasa sakit sekali. Ku paksakan untuk membuat sarapan seperti yang biasa ku lakukan. Dua gelas susu beserta sandwich sudah siap di atas meja.
Tak berapa lama, Ludwig datang dan mendudukkan tubuhnya tepat di depanku.
Aku meminta maaf karena ini pertama kalinya aku membuatkan sarapan seadanya semenjak kami menikah. Tapi tampaknya Ludwig tidak terlalu mempermasalahkan apa yang aku siapkan, karena setiap aku memasak untuknya, selalu ia habiskan semua.
Hanya saja, pertanyaannya pagi ini sungguh di luar prediksi BMKG. " Kenapa wajahmu pucat? Kamu sakit?"
Aku menatapnya sesaat, benarkah yang barusan itu, dia mempertanyakan kesehatanku? Aneh sekali. Selama ini, jika duduk berdua di meja makan, terkadang tak ada sapaan untukku hingga ia akhirnya berangkat bekerja. Jadi wajar jika kali ini aku merasakan sikapnya yang tak biasa. Jujur aku tersentuh. Meski aku tak punya perasaan apapun padanya, tapi setidaknya aku merasa di perhatikan.
" Tidak juga, hanya kepalaku saja yang terasa sakit." Ucapku sembari mengangkat gelas dan meminum fresh milk kegemaran ku.
" Sebaiknya kau periksa ke rumah sakit." Katanya lagi yang semakin membuatku tercengang.
" Baiklah, aku akan mencoba meminum obat terlebih dahulu, jika tidak mempan, aku akan ke rumah sakit." Ucapku membuatnya menganggukkan kepala kemudian berlalu meninggalkanku yang masih tidak percaya dengan interaksi yang barusan kami lakukan.
Aku berangkat ke kantor setelah meminum obat pereda sakit kepala. Tapi tetap saja, meski rasa sakitnya sedikit berkurang, kepalaku masih juga terasa pusing.
" Kau sakit?" Heidi menghampiri ku.
" Mmm,, kepalaku." Ucapku memijat pelipis ku.
" Sudah minum obat?" Heidi terlihat khawatir.
Aku mengangguk.
" Tapi kenapa masih sakit?"
" Entahlah, mungkin sepulang kerja, aku harus ke rumah sakit."
" Ya sudah sebaiknya kamu istirahat dulu."
" Nanti saja, tanggung, sisa sedikit lagi." Kataku menarik senyum yang sedikit ku paksakan.
" Oiya, tadi pak Gerrard mencari mu."
Aku terdiam, mendengar nama itu, tiba tiba saja membuatku berdebar tidak karuan.
" Kau mendengar ku?"
" Iya." Jawabku setelah cukup lama tidak memperdulikan notice nya.
Aku kembali mengerjakan pekerjaan ku yang memang tersisa sedikit. Setelah semua selesai, aku masuk ke ruangan Gerrard setelah terlebih dahulu mengetuk pintu.
Aku di persilahkan duduk, tapi tidak di depan mejanya seperti biasa, dia mengarahkan ku ke sofa panjang berbahan oscar dengan warna yang cukup kalem, light brown.
" Ada yang bisa saya bantu pak?" Tanyaku mengurai kegugupan.
Gerrard duduk tepat di sampingku, mengikis jarak yang sedari tadi coba aku jaga.
" Kau menghindari ku Emilia?"
Aku tergagap.
" Aku perhatikan sebulan ini, kau selalu menghilang."
" Itu perasaan anda saja." Ujarku singkat.
Jujur, aku ingin sekali keluar dari ruangan ini, rasanya sangat tidak nyaman.
" Apa karena malam panas yang kita lewati berdua?" Tanyanya frontal.
" Hhmmm, saya keluar dulu pak, sepertinya tidak ada pembahasan tentang pekerjaan di sini. Permisi."
Aku melangkah keluar, tapi tangannya lebih dulu mencengkeram pergelangan tanganku.
" Kau mau ke mana?"
Aku tidak menjawab, hanya menatap tajam pada cengkeraman tangannya yang mulai terasa sakit.
" Aku belum selesai denganmu."
Aku mulai takut, tatapannya semakin berbeda. Aku mulai memohon agar dia melepas ku, tapi sepertinya percuma. Apa semua pria yang ku kenal memiliki sifat yang sama? Sama sama suka memaksakan kehendak.
" Kau tidak rindu padaku?"
" Kenapa aku harus punya perasaan itu pada anda?"
Kali ini, aku salah mengambil tindakan. Harusnya tidak usah aku jawab pertanyaannya itu. Karena saat ini, tubuhku sudah berada di bawah tubuhnya, dia melempar ku ke atas sofa dan menindih ku.
" A - Apa yang anda lakukan?"
" Seperti yang sedang kau pikirkan saat ini."
Dia kembali mencumbuku, sama persis seperti malam itu, malam yang masih selalu menghantui pikiran ku.
Tapi kali ini, aku merasakan hal aneh. Hal yang seharusnya tidak boleh menguasai seluruh jiwa dan ragaku.
Aku..... menikmati sentuhannya.
...****************...
Emmy dlm bahayaaaa
pura2nya sungkan Pd Emmy padahal hati bersorak Sorai 😂
🤓🤓🤓🤓
up nya rutin dong kak ,sama kyk cnta zara,nih cerita juga bagus 🙏🏻👍🫰🏻
btw, semangat nulisnya dan sehat selalu /Kiss//Kiss/
semoga Gerrad bisa terus melindungi Emilia dari bahaya..
maka dia benar-benar monster
mati! 😃😁
selama wyn blm di kasih syok terapi hidup Emy tidak akan tenang kayanya
kabar Ludwig gimana zaaa