Revenge Ends In Love
Emilia POV
Aku menatap nanar altar pernikahan yang berjarak beberapa meter di depanku. Di sana berdiri seorang pria dengan tuxedo berwarna hitam berpenampilan gagah. Tubuh tinggi atletis beserta senyumnya yang menawan tidak membuat hatiku bergetar. Bahkan rasanya air mataku ingin meloncat dari sarangnya karena tidak bisa menahan sedih yang ku rasakan.
Billie Smith, pria yang telah membuatku lahir ke dunia tersenyum sumringah. Dia menggandeng tangan ku melangkah mendekati altar, mengantarkan ku pada pria yang sejak tadi sudah menunggu kedatanganku. Kakiku terasa kaku, ingin rasanya aku berlari saja keluar dari ruangan mewah nan luas ini. Terus terang ini terlalu menyesakkan untukku.
Namun aku pasrah, apalagi yang bisa ku lakukan selain mengikuti kemauan kedua orang tuaku yang telah berutang budi pada calon mertuaku.
Akhirnya pernikahan yang tidak ku inginkan terjadi juga. Air mata yang sedari tadi ku tahan ternyata tak mampu tinggal lebih lama di tempatnya. Aku menangis dengan bibir mengulas senyum. Tentu tidak aku perlihatkan jika hatiku sedang berduka.
Masih ada rasa hormat untuk kedua orangtuaku, makanya aku tetap mengikuti kemauan mereka meski apa yang kurasakan di dalam hatiku tidak kontras dengan yang terlihat langsung oleh mata.
" Kau terlihat sangat bahagia sampai mengeluarkan air mata Emilia." Ucapnya dengan tersenyum smirk.
" Ya benar." Itu yang aku katakan, singkat, tak lupa tetap memasang senyum palsuku di depan pria yang baru saja berubah status menjadi suamiku.
" Aku akan mencium bibirmu." Katanya lagi.
" Silahkan." Balasku tersenyum kaku.
Aku memberinya izin menyentuh benda lunak milikku yang tidak pernah di sentuh pria manapun, sebenarnya tidak rela, bahkan saat bibirnya menempel aku tidak merasakan apa apa. Ini ciuman pertamaku tapi rasanya hambar, tidak seperti kata teman temanku yang mengatakan jika rasanya sangat manis dan memabukkan.
Acara berlangsung meriah, di lanjut dengan resepsi di malam hari, di mana aku mengenakan gaun empire warna sage green tanpa tali memperlihatkan pesona bahu dan tulang belikatku yang sangat menawan.
Aku tidak memuji, tapi semua orang mengatakan demikian, tinggi ku yang mencapai seratus tujuh puluh dua centi meter dengan berat badan ideal di tambah kulit putih dan wajah cantik menambah daya tarik tersendiri untukku.
Aku hanya mengundang beberapa teman dari kantor tempat ku bekerja. Dan itu termasuk sahabat baikku.
Menjelang tengah malam, acara selesai, kami kembali ke kamar hotel. Pesta pernikahan memang di laksanakan di salah satu ballroom hotel termewah di kota Munich.
Aku memasuki suite room, kamar yang di pesan oleh pria yang berdiri tidak jauh dariku.
" Ganti bajumu, ada yang ingin aku katakan." Ucapnya serius.
Tanpa banyak bicara aku menuruti keinginannya.
Tidak berselang lama, aku selesai dan mendudukkan tubuhku di depannya.
" Aku sangat menghargai kau mau menikah denganku."
Aku mendengar dengan hati hati semua perkataan yang meluncur dari mulutnya. Aku tau kalau pembicaraan ini bukanlah sesuatu yang baik untukku sekarang, atau mungkin ke depannya.
Ia menghela nafas berat.
" Aku menderita azoospermia."
Jleb...
Aku kaget, tapi tidak terlalu memperlihatkan di depannya.
" Kamu kecewa?"
" Sedikit." Ucapku santai sembari mengangkat salah satu pahaku dan menumpuknya di atas paha yang lain.
" Orang tuaku tau tentang penyakitku, tapi tidak dengan keluargamu. Orang tuamu kemungkinan akan kecewa, tapi pernikahan ini tidak bisa di batalkan, Billie Smith berhutang banyak pada ayahku. Kau paham maksud ku kan?" Kali ini, ucapannya terdengar ketus, berbeda saat mengakui jika ia menderita infertilitas.
Aku menatapnya tak berkedip, bagiku, ia adalah sosok pria yang sangat sombong. Ingin aku mengumpat seperti yang biasa ku lakukan jika sedang marah, tapi ku usahakan untuk menahannya. Ini hari pertama kebersamaan kami. Tentu tidak akan aku tunjukkan bagaimana keras kepalanya diriku.
” Biarkan saja dulu." itulah bujukan untuk hatiku yang sedang memanas. Aku cukup tau diri, utang ayahku setelah perusahaan kecilnya hampir bangkrut mendapat banyak suntikan dana dari Tuan Weber, ayah mertuaku, hingga membuatku tak bisa berkutik.
Aku cukup paham dengan keadaan saat ini, aku di jual demi menopang perusahaan ayahku agar bisa beroperasi kembali.
" Pembicaraan kita berakhir. Kau boleh keluar, ini kamarku, kamarmu tepat di depan kamar ini." Ucapannya sedikit kasar menurut ku.
" Baiklah." Tanpa menunggu lama, aku beranjak dari dudukku, lalu mengambil cardlock yang ia letakkan di atas meja, ah..bukan di letakkan, aku melihat dengan mata kepalaku jika ia melempar cardlock itu dengan kasar setalah menyuruhku keluar.
Kini aku berada di kamar tepat di depan kamarnya. Kedua tangan dan kakiku aku rentangkan selebar mungkin di atas tempat tidur king size yang baru saja menerima keadaan tubuhku yang aku jatuhkan dengan sedikit kasar. Aku lelah, lelah fisik dan batin.
Aku tertawa, mengejek diri ku sendiri di mana malam pertama pernikahan aku di campakkan. Tawa itu mewakili perasaan ku yang lega karena tidak harus tidur dengan pria yang tidak aku sukai meski dia sudah berstatus suamiku, dan harapanku ke depannya akan tetap sama, ia tidak akan pernah menyentuhku.
*
*
Namaku Emilia Clara Smith, umurku dua puluh dua tahun ketika ayahku menikahkan ku dengan Ludwig Weber, ya tidak ada lain pernikahan itu di laksanakan sebagai pelunas utang, tidak lebih dari itu.
Aku wanita bebas layaknya wanita pada umumnya yang tinggal di salah satu kota besar di Jerman. Walau bebas tapi aku termasuk wanita yang menjunjung tinggi yang namanya kesucian.
Aku tidak pernah berpacaran seumur hidupku, hingga Ludwig datang dan tiba tiba menjadi suami ku.
Setelah menikah seminggu yang lalu, aku tinggal bersama pria arogan tersebut, tinggal seatap tapi jarang melihat wajahnya.
Ya, kami tidur terpisah, sama persis di malam pertama pernikahanku. Tidak ada yang berubah, bahkan lebih parah.
Aku masih melakukan tugasku sebagai istri, seperti memasak makanan untuknya. Nasib baik ia menghargai semua makanan yang aku siapkan. Namun hanya sebatas itu, aku ibarat penyewa yang tinggal bersama pemilik rumah tapi jarang saling menyapa.
Seperti pagi ini, aku tetap membuat sarapan seperti biasa, namun kali ini aku membuatnya lebih pagi, karena setelah seminggu cuti, hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja.
Aku bekerja di salah satu perusahaan bonafit yang terletak di kota Munich, kota besar ketiga di Jerman setelah Berlin dan Hamburg. Setahun lalu aku bergabung menjadi staf senior di divisi finance dan accounting di sebuah perusahaan otomotif yang sangat terkenal di dunia.
Aku tergesa gesa, hampir saja aku terlambat di hari pertamaku setelah istirahat panjang selama seminggu. Beruntung, aku tiba tepat waktu.
" Hampir saja kau telat." Kata sahabatku yang memiliki tempat duduk tepat di sebelahku.
" Iya,,aku terlalu nyaman tinggal di rumah dan sampai lupa jika aku harus bekerja." Ujarku memasang senyum manis.
" Kau itu...Eh, aku punya info penting." Ujarnya sembari menggeser kursinya mendekat padaku.
" Apa?" Tanyaku tentu saja penasaran.
" Seminggu lalu tepat di hari kau mengambil cuti pernikahanmu, kita kedatangan finance manager baru."
" Oh ya. Lalu info pentingnya apa?" Tanyaku mengernyit, aku rasa tidak ada yang istimewa jika finance manager kami di ganti, toh selama bekerja di sini, finance managerku sudah beberapa kali berganti.
" Ck..ck...ck.." Heidi berdecak kesal." Apa kau tau Emi?" Ujarnya berbinar binar." Dia sangat tampan." Lanjutnya sumringah.
Aku memutar bola mataku malas, info penting menurutnya itu tidaklah begitu penting menurutku.
" Kembali ke mejamu! kau hanya mengulur waktuku saja." Ucapku kesal.
" Astaga, kau belum liat saja. Coba kau perhatikan gadis gadis kita, apa kau pernah melihat mereka berdandan secantik ini? Tidak kan? Itu karena finance manager kita yang baru Emi." Katanya menggebu gebu sembari menatap pintu masuk seperti menunggu seseorang muncul dari sana.
Aku berdecih, lalu kembali melanjutkan pekerjaanku dan tidak lagi menggubris kalimat hiperbola yang di lontarkan Heidi.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka.
Semua menoleh, tapi tidak denganku. Aku hanya fokus mengerjakan pekerjaan ku yang tertunda selama seminggu ini.
Heidi tiba tiba memegangi lengan dan menggoyangnya cukup keras.
" Jangan menggangguku Heidi! Kerjakan saja pekerjaanmu."
" Emi..." Panggilnya dengan suara sepelan mungkin.
Aku menoleh.
Namun sejurus kemudian, pandanganku beralih pada pria tinggi yang sedang berdiri di samping Heidi.
" Ikut ke ruanganku."
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Evitha Junaedy
bagus ni ceritanya...
2024-08-17
1
sherly
akhirnya ada novel baru,... semangat Thor...
2024-07-03
1
SasSya
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
menarik
2024-07-02
2